Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Presidential Threshold Dihapus, Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia?

4 Januari 2025   09:44 Diperbarui: 4 Januari 2025   09:44 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pilpres, pemilu (Kompas Cetak)

Isu penghapusan Presidential Threshold terus menjadi perbincangan hangat dalam wacana politik Indonesia. Presidential Threshold merujuk pada ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Berdasarkan aturan yang berlaku, partai politik harus memiliki minimal 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah secara nasional dalam pemilu legislatif sebelumnya untuk dapat mencalonkan pasangan kandidat.

Aturan ini bertujuan menjaga stabilitas politik dengan membatasi jumlah kandidat yang bersaing dalam pemilihan presiden. Namun, banyak pihak mengkritik bahwa Presidential Threshold justru menghambat demokrasi karena mengecilkan peluang partai kecil atau calon alternatif untuk ikut serta. Jika Presidential Threshold dihapuskan, konsekuensinya terhadap sistem politik dan demokrasi Indonesia akan sangat besar. Artikel ini membahas secara mendalam dampak potensial dari penghapusan Presidential Threshold , mulai dari peluang yang mungkin terbuka hingga risiko yang mengintai.

Presidential Threshold dan Permasalahan Demokrasi

Dalam praktiknya, Presidential Threshold sering dianggap sebagai instrumen untuk membatasi keragaman pilihan dalam pemilu presiden. Sistem ini mendukung partai-partai besar untuk mendominasi kontestasi politik, sedangkan partai kecil atau independen hampir tidak memiliki peluang. Kritik utama terhadap Presidential Threshold adalah ketimpangan akses terhadap pencalonan presiden.

Sejak diberlakukan pada Pemilu 2004, Presidential Threshold telah menghasilkan kompetisi politik yang cenderung didominasi oleh kandidat dari koalisi besar. Akibatnya, proses demokrasi dianggap tidak inklusif karena hanya memberikan kesempatan kepada partai politik dengan pengaruh signifikan. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, setiap entitas politik, baik besar maupun kecil, seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan pemimpin yang diharapkan oleh konstituennya.

Masalah lain yang sering diangkat adalah rendahnya fleksibilitas sistem politik akibat PT. Partai politik harus membentuk koalisi besar untuk mencapai ambang batas pencalonan, yang sering kali tidak didasarkan pada kesamaan visi atau ideologi, melainkan lebih pada pragmatisme semata. Hal ini mengarah pada koalisi yang rapuh dan sering kali tidak stabil, yang pada akhirnya dapat mempersulit pengambilan keputusan politik setelah pemilu.

Apa yang Akan Terjadi Jika Presidential Threshold Dihapus?

Jika Presidential Threshold dihapus, salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya jumlah kandidat dalam pemilihan presiden. Setiap partai, bahkan partai kecil sekalipun, akan memiliki kebebasan untuk mencalonkan kandidat tanpa harus bergantung pada koalisi dengan partai besar. Kondisi ini berpotensi memperluas spektrum pilihan bagi rakyat Indonesia.

Namun, peningkatan jumlah kandidat ini juga bisa menjadi pedang bermata dua. Dengan banyaknya calon yang bersaing, suara rakyat akan lebih terfragmentasi. Dalam sistem pemilu dua putaran seperti di Indonesia, fragmentasi suara dapat memperbesar kemungkinan terjadinya pemilu putaran kedua, yang membutuhkan biaya tambahan dan memperpanjang durasi proses pemilu.

Lebih jauh, tanpa Presidential Threshold , kemungkinan munculnya kandidat independen atau alternatif menjadi lebih besar. Hal ini dapat memberikan warna baru dalam politik Indonesia, terutama jika kandidat-kandidat tersebut berasal dari kalangan profesional, akademisi, atau tokoh masyarakat yang memiliki visi dan program kerja yang segar. Namun, kondisi ini juga membawa risiko bahwa kandidat tanpa dukungan politik yang kuat akan kesulitan menjalankan pemerintahan jika terpilih.

Stabilitas Pemerintahan dan Koalisi di Parlemen

Salah satu argumen utama ditetapkannya Presidential Threshold adalah untuk menjamin stabilitas pemerintahan. Dengan adanya Presidential Threshold, presiden yang terpilih diharapkan memiliki dukungan politik yang cukup di parlemen untuk menjalankan program-programnya. Tanpa Presidential Threshold, presiden yang terpilih kemungkinan besar akan menghadapi parlemen yang lebih terfragmentasi dan sulit diajak bekerja sama.

Misalnya, tanpa Presidential Threshold, seorang presiden bisa berasal dari partai kecil yang hanya memiliki sedikit kursi di DPR. Dalam situasi seperti ini, presiden harus melakukan negosiasi politik yang intens untuk mendapatkan dukungan parlemen. Hal ini dapat memperlambat proses legislasi dan menghambat pelaksanaan program-program pemerintah.

Contoh nyata dari tantangan ini dapat dilihat di negara-negara dengan sistem multipartai tanpa ambang batas pencalonan. Di beberapa negara Amerika Latin, misalnya, presiden sering kali menghadapi tantangan besar dalam membangun koalisi yang solid di parlemen. Akibatnya, konflik antara legislatif dan eksekutif menjadi hal yang biasa, yang pada akhirnya merugikan stabilitas politik dan pembangunan negara.

Peningkatan Kualitas Demokrasi atau Populisme?

Tanpa Presidential Threshold, salah satu potensi besar adalah meningkatnya keterwakilan demokrasi. Partai-partai kecil, yang selama ini hanya menjadi "penggembira" dalam pemilu, bisa ikut ambil bagian dalam pemilihan presiden. Ini memberikan peluang kepada kelompok-kelompok minoritas atau ideologis untuk menyuarakan aspirasinya.

Namun, kondisi ini juga membawa risiko munculnya kandidat populis yang lebih mengedepankan citra dan retorika daripada substansi program. Kandidat populis cenderung menggunakan isu-isu emosional untuk meraih simpati rakyat, tetapi sering kali tidak memiliki visi yang jelas untuk memimpin negara. Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat merusak kualitas demokrasi karena pemilu lebih berfokus pada popularitas daripada kompetensi.

Di sisi lain, dengan semakin banyaknya kandidat, persaingan akan semakin ketat, yang secara teori dapat mendorong peningkatan kualitas kandidat. Setiap kandidat harus menawarkan program dan visi yang lebih spesifik serta mampu meyakinkan publik bahwa mereka adalah pilihan terbaik. Dalam konteks ini, rakyat akan mendapatkan manfaat dari pilihan yang lebih beragam dan berkualitas.

Implikasi Logistik dan Anggaran

Dari segi teknis, penghapusan Presidential Threshold juga memiliki konsekuensi terhadap efisiensi pemilu. Bertambahnya jumlah kandidat berarti meningkatnya kebutuhan logistik, seperti pencetakan surat suara, waktu penghitungan, hingga persiapan debat kandidat. Pemilu putaran kedua, yang lebih mungkin terjadi tanpa Presidential Threshold, juga akan meningkatkan anggaran negara untuk pelaksanaan pemilu.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja lebih keras untuk memastikan proses pemilu berjalan lancar dan adil. Selain itu, pengawasan terhadap praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi tantangan yang lebih besar ketika jumlah kandidat meningkat.

Bukti Empiris dari Negara Lain

Pengalaman negara lain dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Di Prancis, misalnya, sistem pemilu presiden tanpa ambang batas memungkinkan siapa saja mencalonkan diri. Akibatnya, pemilu putaran pertama sering kali diikuti oleh puluhan kandidat, meskipun hanya sedikit yang benar-benar memiliki peluang menang.

Namun, Prancis memiliki sistem dua putaran yang efektif, di mana dua kandidat dengan suara terbanyak akan bersaing di putaran kedua. Sistem ini memastikan bahwa presiden yang terpilih memiliki legitimasi yang kuat. Di sisi lain, negara-negara seperti Brasil dan Filipina menunjukkan bahwa tanpa ambang batas, risiko munculnya presiden populis dan konflik legislatif-eksekutif menjadi lebih besar.

Kesimpulan

Di hapusnya Presidential Threshold adalah langkah yang akan membawa dampak besar bagi sistem politik Indonesia. Di satu sisi, penghapusan Presidential Threshold dapat memperluas spektrum demokrasi, memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat, dan membuka peluang bagi munculnya pemimpin alternatif. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga membawa risiko fragmentasi suara, meningkatnya populisme, dan tantangan stabilitas pemerintahan.

Debat mengenai penghapusan Presidential Threshold seharusnya tidak hanya berfokus pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga mempertimbangkan implikasi jangka panjang terhadap kualitas demokrasi, stabilitas politik, dan tata kelola pemerintahan. Keputusan ini membutuhkan kajian mendalam yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi politik, untuk memastikan bahwa reformasi yang dilakukan benar-benar membawa manfaat bagi kemajuan bangsa.

Dengan memahami kompleksitas masalah ini secara menyeluruh, kita dapat melihat bahwa menghapus Presidential Threshold bukan hanya soal membuka peluang bagi lebih banyak kandidat, tetapi juga tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara keterwakilan demokrasi dan stabilitas pemerintahan. Pada akhirnya, reformasi sistem politik harus diarahkan untuk menciptakan demokrasi yang lebih inklusif, adil, dan efektif bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun