Stabilitas Pemerintahan dan Koalisi di Parlemen
Salah satu argumen utama ditetapkannya Presidential Threshold adalah untuk menjamin stabilitas pemerintahan. Dengan adanya Presidential Threshold, presiden yang terpilih diharapkan memiliki dukungan politik yang cukup di parlemen untuk menjalankan program-programnya. Tanpa Presidential Threshold, presiden yang terpilih kemungkinan besar akan menghadapi parlemen yang lebih terfragmentasi dan sulit diajak bekerja sama.
Misalnya, tanpa Presidential Threshold, seorang presiden bisa berasal dari partai kecil yang hanya memiliki sedikit kursi di DPR. Dalam situasi seperti ini, presiden harus melakukan negosiasi politik yang intens untuk mendapatkan dukungan parlemen. Hal ini dapat memperlambat proses legislasi dan menghambat pelaksanaan program-program pemerintah.
Contoh nyata dari tantangan ini dapat dilihat di negara-negara dengan sistem multipartai tanpa ambang batas pencalonan. Di beberapa negara Amerika Latin, misalnya, presiden sering kali menghadapi tantangan besar dalam membangun koalisi yang solid di parlemen. Akibatnya, konflik antara legislatif dan eksekutif menjadi hal yang biasa, yang pada akhirnya merugikan stabilitas politik dan pembangunan negara.
Peningkatan Kualitas Demokrasi atau Populisme?
Tanpa Presidential Threshold, salah satu potensi besar adalah meningkatnya keterwakilan demokrasi. Partai-partai kecil, yang selama ini hanya menjadi "penggembira" dalam pemilu, bisa ikut ambil bagian dalam pemilihan presiden. Ini memberikan peluang kepada kelompok-kelompok minoritas atau ideologis untuk menyuarakan aspirasinya.
Namun, kondisi ini juga membawa risiko munculnya kandidat populis yang lebih mengedepankan citra dan retorika daripada substansi program. Kandidat populis cenderung menggunakan isu-isu emosional untuk meraih simpati rakyat, tetapi sering kali tidak memiliki visi yang jelas untuk memimpin negara. Dalam jangka panjang, fenomena ini dapat merusak kualitas demokrasi karena pemilu lebih berfokus pada popularitas daripada kompetensi.
Di sisi lain, dengan semakin banyaknya kandidat, persaingan akan semakin ketat, yang secara teori dapat mendorong peningkatan kualitas kandidat. Setiap kandidat harus menawarkan program dan visi yang lebih spesifik serta mampu meyakinkan publik bahwa mereka adalah pilihan terbaik. Dalam konteks ini, rakyat akan mendapatkan manfaat dari pilihan yang lebih beragam dan berkualitas.
Implikasi Logistik dan Anggaran
Dari segi teknis, penghapusan Presidential Threshold juga memiliki konsekuensi terhadap efisiensi pemilu. Bertambahnya jumlah kandidat berarti meningkatnya kebutuhan logistik, seperti pencetakan surat suara, waktu penghitungan, hingga persiapan debat kandidat. Pemilu putaran kedua, yang lebih mungkin terjadi tanpa Presidential Threshold, juga akan meningkatkan anggaran negara untuk pelaksanaan pemilu.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja lebih keras untuk memastikan proses pemilu berjalan lancar dan adil. Selain itu, pengawasan terhadap praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan juga menjadi tantangan yang lebih besar ketika jumlah kandidat meningkat.