Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kurangnya Kesadaran Perusahaan terhadap Kesehatan Mental Karyawan

30 Desember 2024   13:49 Diperbarui: 30 Desember 2024   13:49 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Karyawan Mengalami Burnout. Pexels.com/Mikhail Nilov 

Ketiga, perusahaan sering kali tidak memiliki kebijakan atau prosedur yang jelas terkait kesehatan mental. Misalnya, banyak organisasi yang tidak menyediakan layanan konseling bagi karyawan atau tidak memiliki mekanisme untuk menangani stres kerja. Kurangnya infrastruktur ini menunjukkan betapa minimnya perhatian terhadap kesejahteraan mental pekerja.

Dampak yang Terjadi Akibat Ketidakpedulian Perusahaan

Ketika kesehatan mental karyawan diabaikan, dampak negatifnya dapat dirasakan oleh semua pihak. Bagi karyawan, gangguan mental dapat menyebabkan berbagai masalah seperti penurunan konsentrasi, kelelahan yang berkepanjangan, hingga penyakit fisik akibat stres yang tidak terkendali. Sebuah studi yang diterbitkan di Journal of Occupational Health Psychology menemukan bahwa karyawan yang mengalami stres kronis memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular, diabetes, dan gangguan tidur.

Bagi perusahaan, dampaknya tidak kalah serius. Penurunan produktivitas adalah salah satu konsekuensi paling nyata. Karyawan yang merasa tidak sehat secara mental cenderung kurang fokus dan sulit mencapai target kerja. Selain itu, absensi akibat masalah kesehatan mental juga dapat meningkat, yang akhirnya membebani tim lain untuk mengambil alih tanggung jawab yang ditinggalkan.

Dalam jangka panjang, perusahaan yang tidak peduli pada kesehatan mental karyawan juga berisiko mengalami peningkatan tingkat keluar-masuk karyawan (turnover). Ketika karyawan merasa tidak dihargai atau tidak mendapat dukungan yang cukup, mereka akan mencari tempat kerja lain yang lebih memperhatikan kebutuhan mereka. Kondisi ini tentu saja merugikan perusahaan, karena biaya untuk merekrut dan melatih karyawan baru jauh lebih besar dibandingkan mempertahankan karyawan yang ada.

Langkah Menuju Perubahan

Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan perlu mengubah cara pandang mereka terhadap kesehatan mental. Pertama-tama, penting bagi perusahaan untuk memahami bahwa karyawan bukan sekadar alat produksi, melainkan individu yang memiliki kebutuhan emosional dan psikologis. Dengan kata lain, perusahaan harus mulai melihat karyawan sebagai aset manusiawi yang harus dijaga kesejahteraannya.

Pendidikan tentang kesehatan mental di tempat kerja adalah langkah awal yang krusial. Dengan memberikan pelatihan kepada manajer dan pimpinan tentang cara mengenali tanda-tanda gangguan mental, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan mendukung. Misalnya, seorang manajer yang peka dapat memberikan dukungan kepada karyawan yang tampak stres atau lelah secara emosional, sehingga masalah dapat diatasi sebelum menjadi lebih parah.

Selain itu, perusahaan perlu menyediakan akses ke layanan kesehatan mental, seperti konseling atau terapi. Layanan ini tidak hanya membantu karyawan yang sudah mengalami masalah, tetapi juga dapat mencegah gangguan mental dengan memberikan dukungan sejak dini. Menyediakan program kesejahteraan seperti yoga, meditasi, atau pelatihan pengelolaan stres juga bisa menjadi langkah positif untuk meningkatkan kesehatan mental secara keseluruhan.

Kebijakan kerja yang fleksibel juga memainkan peran penting dalam mendukung kesehatan mental karyawan. Misalnya, perusahaan dapat menerapkan sistem kerja hybrid, di mana karyawan dapat memilih untuk bekerja dari rumah pada hari-hari tertentu. Fleksibilitas semacam ini membantu karyawan menyeimbangkan kehidupan kerja dan pribadi mereka, yang pada akhirnya berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun