Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemerintah Bungkam dengan Penolakan PPN 12%

26 Desember 2024   08:48 Diperbarui: 26 Desember 2024   08:48 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi 2025 untuk menanggapi barang dan jasa kena PPN 12 persen per 1 Januari 2025(KOMPAS.com/RULLY RAMLI)

Wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% memunculkan gelombang kritik yang meluas di kalangan masyarakat Indonesia. Kebijakan ini dianggap sebagai langkah yang kurang tepat, terutama karena kondisi ekonomi saat ini masih dalam masa pemulihan pasca pandemi COVID-19. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah respons pemerintah yang terlihat abai terhadap gelombang penolakan ini. Kebungkaman pemerintah dalam menghadapi kritik mengundang pertanyaan besar tentang transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kebijakan fiskal yang mereka terapkan.

Mengapa PPN 12% Menjadi Isu Kontra?

Sebagai pajak konsumsi, PPN adalah salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan. Namun, kenaikan PPN bukanlah kebijakan yang berdampak netral. Ketika tarif PPN dinaikkan, beban tersebut secara langsung akan dialihkan kepada konsumen. Artinya, setiap pembelian barang atau jasa yang dikenakan PPN otomatis akan lebih mahal.

Dalam konteks Indonesia, langkah menaikkan PPN justru dilakukan di tengah situasi yang tidak ideal. Tingkat inflasi yang sedang naik, biaya hidup yang kian tinggi, dan pemulihan ekonomi yang belum stabil membuat masyarakat terutama golongan menengah ke bawah sulit menyesuaikan diri. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), daya beli masyarakat Indonesia pada 2023 belum kembali ke tingkat pra-pandemi. Banyak rumah tangga masih berjuang dengan kebutuhan dasar, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

Kenaikan PPN menjadi 12% juga diperkirakan akan berdampak signifikan terhadap harga kebutuhan pokok. Dalam sebuah laporan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dijelaskan bahwa kebijakan ini berpotensi menaikkan harga barang kebutuhan pokok hingga 5%. Akibatnya, masyarakat kecil yang paling rentan terhadap kenaikan harga akan semakin tertekan.

Minimnya Dialog dan Transparansi Pemerintah

Hal yang paling mengundang kritik dalam isu ini adalah kurangnya transparansi pemerintah dalam merumuskan kebijakan kenaikan PPN. Sebuah kebijakan yang memiliki dampak luas seperti ini seharusnya dibangun berdasarkan dialog dan konsultasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Namun, sejauh ini, respons pemerintah terhadap kritik masyarakat terkesan datar dan tidak memadai.

Sikap pemerintah yang cenderung bungkam mengesankan adanya jarak yang semakin lebar antara pengambil kebijakan dan rakyat. Padahal, kebijakan fiskal seperti ini seharusnya didasarkan pada prinsip keadilan sosial. Dalam hal ini, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak memperburuk kesenjangan ekonomi yang sudah ada.

Ketertutupan pemerintah semakin terlihat ketika isu ini menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Beberapa kelompok masyarakat dan akademisi telah meminta agar pemerintah menyediakan kajian yang jelas terkait proyeksi dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, permintaan ini tidak direspons secara terbuka. Tanpa penjelasan yang memadai, wajar jika masyarakat mempertanyakan motif dan dasar kebijakan ini.

Dampak Ekonomi dan Sosial Kenaikan PPN

Kenaikan PPN menjadi 12% tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UKM). UKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, akan menghadapi tantangan besar karena kenaikan PPN akan meningkatkan biaya operasional mereka. Biaya produksi yang lebih tinggi berarti margin keuntungan yang lebih kecil atau harga jual yang lebih mahal. Akibatnya, daya saing produk UKM di pasar bisa melemah.

Menurut laporan Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai lebih dari 60%. Namun, banyak pelaku UKM yang masih berada dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi. Menambah beban pajak di saat mereka belum sepenuhnya pulih bisa berujung pada stagnasi bahkan kebangkrutan di beberapa sektor.

Dari sisi sosial, dampak kenaikan PPN juga tidak kalah serius. Ketika harga barang kebutuhan pokok naik, masyarakat dengan penghasilan rendah akan mengalami tekanan ekonomi yang lebih berat. Misalnya, kenaikan harga bahan pangan dapat menyebabkan penurunan konsumsi gizi keluarga, yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada kualitas kesehatan dan pendidikan generasi mendatang.

Mengapa Pemerintah Harus Mendengar?

Dalam sistem demokrasi, aspirasi rakyat adalah elemen utama yang harus diperhatikan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Sayangnya, respons pemerintah yang bungkam terhadap kritik publik terkait PPN 12% mencerminkan kegagalan dalam memahami pentingnya komunikasi yang baik antara pemerintah dan rakyat.

Tidak adanya dialog yang memadai tentang kebijakan ini juga menimbulkan potensi ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Kepercayaan masyarakat adalah modal penting dalam pelaksanaan kebijakan fiskal. Ketika masyarakat merasa kebijakan tidak berpihak kepada mereka, resistensi sosial dapat muncul, baik dalam bentuk protes maupun ketidakpatuhan pajak.

Salah satu contoh yang relevan adalah kasus reformasi pajak di India pada 2017. Saat itu, pemerintah India memperkenalkan kebijakan pajak barang dan jasa (GST) tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat. Hasilnya, banyak sektor usaha mengalami kesulitan adaptasi, sementara masyarakat umum merasa dirugikan oleh kenaikan harga barang. Resistensi publik terhadap kebijakan tersebut berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi negara.

Solusi dan Jalan Keluar

Menyelesaikan polemik ini memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan transparan. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil. Dialog ini penting untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan kenaikan PPN, sekaligus mendengarkan masukan dan kekhawatiran dari masyarakat.

Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini didukung oleh data yang kuat dan kajian dampak yang mendalam. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan akan membantu masyarakat memahami mengapa kebijakan tersebut diperlukan dan bagaimana dampaknya akan diminimalkan.

Sebagai alternatif, pemerintah juga dapat mengeksplorasi langkah-langkah lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa memberatkan masyarakat kecil. Misalnya, memperluas basis pajak dengan mengoptimalkan pajak dari sektor-sektor yang selama ini belum terjangkau, seperti ekonomi digital atau aktivitas informal yang memiliki potensi besar.

Kesimpulan

Isu kenaikan PPN menjadi 12% telah memunculkan ketegangan yang signifikan antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, pemerintah memiliki kewajiban untuk meningkatkan pendapatan negara demi mendukung pembangunan. Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat dan prinsip keadilan sosial.

Sikap bungkam pemerintah dalam menghadapi kritik terhadap kebijakan ini mencerminkan kurangnya komunikasi yang baik dan transparansi dalam pengambilan keputusan. Jika dibiarkan, hal ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah proaktif, mulai dari membuka ruang dialog hingga mengevaluasi kembali kebijakan secara menyeluruh. Dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis bukti, pemerintah dapat menciptakan kebijakan yang tidak hanya efektif, tetapi juga adil dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun