Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemerintah Bungkam dengan Penolakan PPN 12%

26 Desember 2024   08:48 Diperbarui: 26 Desember 2024   08:48 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintah mengumumkan Paket Kebijakan Ekonomi 2025 untuk menanggapi barang dan jasa kena PPN 12 persen per 1 Januari 2025(KOMPAS.com/RULLY RAMLI)

Kenaikan PPN menjadi 12% tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada sektor usaha, terutama usaha kecil dan menengah (UKM). UKM, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian nasional, akan menghadapi tantangan besar karena kenaikan PPN akan meningkatkan biaya operasional mereka. Biaya produksi yang lebih tinggi berarti margin keuntungan yang lebih kecil atau harga jual yang lebih mahal. Akibatnya, daya saing produk UKM di pasar bisa melemah.

Menurut laporan Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UKM terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai lebih dari 60%. Namun, banyak pelaku UKM yang masih berada dalam tahap pemulihan dari dampak pandemi. Menambah beban pajak di saat mereka belum sepenuhnya pulih bisa berujung pada stagnasi bahkan kebangkrutan di beberapa sektor.

Dari sisi sosial, dampak kenaikan PPN juga tidak kalah serius. Ketika harga barang kebutuhan pokok naik, masyarakat dengan penghasilan rendah akan mengalami tekanan ekonomi yang lebih berat. Misalnya, kenaikan harga bahan pangan dapat menyebabkan penurunan konsumsi gizi keluarga, yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada kualitas kesehatan dan pendidikan generasi mendatang.

Mengapa Pemerintah Harus Mendengar?

Dalam sistem demokrasi, aspirasi rakyat adalah elemen utama yang harus diperhatikan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Sayangnya, respons pemerintah yang bungkam terhadap kritik publik terkait PPN 12% mencerminkan kegagalan dalam memahami pentingnya komunikasi yang baik antara pemerintah dan rakyat.

Tidak adanya dialog yang memadai tentang kebijakan ini juga menimbulkan potensi ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Kepercayaan masyarakat adalah modal penting dalam pelaksanaan kebijakan fiskal. Ketika masyarakat merasa kebijakan tidak berpihak kepada mereka, resistensi sosial dapat muncul, baik dalam bentuk protes maupun ketidakpatuhan pajak.

Salah satu contoh yang relevan adalah kasus reformasi pajak di India pada 2017. Saat itu, pemerintah India memperkenalkan kebijakan pajak barang dan jasa (GST) tanpa konsultasi yang memadai dengan masyarakat. Hasilnya, banyak sektor usaha mengalami kesulitan adaptasi, sementara masyarakat umum merasa dirugikan oleh kenaikan harga barang. Resistensi publik terhadap kebijakan tersebut berdampak pada stabilitas sosial dan ekonomi negara.

Solusi dan Jalan Keluar

Menyelesaikan polemik ini memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan transparan. Pemerintah harus membuka ruang dialog yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan organisasi masyarakat sipil. Dialog ini penting untuk menjelaskan alasan di balik kebijakan kenaikan PPN, sekaligus mendengarkan masukan dan kekhawatiran dari masyarakat.

Selain itu, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan ini didukung oleh data yang kuat dan kajian dampak yang mendalam. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan akan membantu masyarakat memahami mengapa kebijakan tersebut diperlukan dan bagaimana dampaknya akan diminimalkan.

Sebagai alternatif, pemerintah juga dapat mengeksplorasi langkah-langkah lain untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa memberatkan masyarakat kecil. Misalnya, memperluas basis pajak dengan mengoptimalkan pajak dari sektor-sektor yang selama ini belum terjangkau, seperti ekonomi digital atau aktivitas informal yang memiliki potensi besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun