Pertama, anak yang sering ditakut-takuti cenderung tumbuh dengan tingkat kecemasan yang tinggi. Ketakutan yang dirasakan anak tidak akan berhenti saat ancaman berakhir.Â
Pikiran tentang "hantu", "monster", atau "penculik" bisa terus menghantui mereka, terutama ketika berada di lingkungan yang dianggap menyeramkan, seperti dalam kegelapan atau saat sendirian.Â
Dalam beberapa kasus, anak mengalami kesulitan tidur, sering terbangun di malam hari, atau takut melakukan aktivitas sehari-hari, seperti pergi ke kamar mandi sendirian.
Dampak ini sejalan dengan penelitian psikologi perkembangan yang menunjukkan bahwa anak dengan tingkat kecemasan tinggi akan sulit fokus, mudah merasa lelah, dan memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan mental di kemudian hari. Ketakutan yang berulang bisa menimbulkan trauma dan menghambat perkembangan psikologis anak.
Selain itu, kebiasaan menakuti anak juga dapat merusak kepercayaan mereka terhadap orang tua. Bayangkan seorang anak yang melihat sosok ayah atau ibu sebagai sumber rasa takut, bukan sebagai pelindung. Alih-alih merasa aman dan nyaman, anak justru merasa terancam.Â
Akibatnya, kelekatan emosional antara orang tua dan anak menjadi renggang, dan komunikasi menjadi sulit. Anak akan belajar untuk menyembunyikan perasaan atau perbuatannya karena takut dimarahi atau ditakut-takuti.
Efek Jangka Panjang
Jika kebiasaan menakuti anak terus berlanjut, efeknya bisa terbawa hingga dewasa. Anak yang tumbuh dengan rasa takut cenderung menjadi pribadi yang penuh keraguan dan tidak percaya diri. Mereka selalu merasa ada konsekuensi buruk di balik setiap tindakan, sehingga takut mengambil inisiatif atau bertanggung jawab.
Seorang anak yang sering ditakut-takuti tentang kegelapan, misalnya, akan membawa rasa takut itu hingga dewasa. Mereka bisa mengalami nyctophobia atau ketakutan berlebihan terhadap gelap. Ini bukan hanya memengaruhi kenyamanan hidup mereka, tetapi juga menimbulkan perasaan tidak aman dalam situasi tertentu.
Dari sisi akademis, anak yang tumbuh dengan ancaman dan ketakutan cenderung sulit berpikir kritis atau kreatif. Mereka lebih fokus pada bagaimana "menghindari hukuman" dibandingkan memahami pelajaran atau mengembangkan ide. Pola pikir ini akhirnya membentuk pribadi yang cenderung pasif dan takut gagal.
Menurut para psikolog anak, rasa aman adalah fondasi utama dalam tumbuh kembang anak. Ketika anak merasa aman, mereka akan berani mengeksplorasi lingkungan, belajar hal baru, dan mengembangkan potensi diri. Namun, jika yang dirasakan justru ketakutan, anak akan lebih banyak menarik diri dan membatasi langkahnya.