Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Jangan Terbiasa Menakuti Anak

17 Desember 2024   16:58 Diperbarui: 18 Desember 2024   13:49 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Anak Takut. | Pixabay/ambermb

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang tua, kakek-nenek, atau bahkan pengasuh yang tidak sadar sering menggunakan ketakutan sebagai "alat" mendidik anak. 

Perkataan seperti "Kalau kamu nakal, nanti monster datang!" atau "Jangan keluar malam, nanti diculik!" dianggap lumrah dan sepele. Hal ini sering muncul sebagai reaksi spontan untuk membuat anak patuh, cepat diam, atau berhenti menangis. Namun, apakah cara ini benar-benar efektif dan aman?

Di balik kepatuhan anak yang tampak instan, ada banyak dampak negatif yang sering tidak dipahami oleh orang tua. Kebiasaan ini memang mengakar dalam budaya masyarakat, tetapi sudah waktunya untuk diubah. Menakuti anak bukan sekadar "gertakan" biasa, tetapi bisa berdampak serius pada perkembangan mental, emosional, hingga kepercayaan diri anak di masa depan.

Tulisan ini bertujuan mengulas secara mendalam bahaya kebiasaan menakuti anak, bagaimana cara kerja ketakutan itu dalam pikiran mereka, serta solusi yang lebih efektif dan bijak dalam mendidik anak.

Kebiasaan Menakuti Anak

Kebiasaan menakuti anak sering kali terjadi karena beberapa faktor, seperti minimnya pemahaman tentang pola asuh yang baik, pengaruh budaya turun-temurun, atau rasa frustrasi orang tua dalam menghadapi perilaku anak. Orang tua yang merasa kehabisan kesabaran sering mengambil "jalan pintas" dengan ancaman atau cerita menakutkan agar anak menuruti perkataannya.

Hal ini kerap dianggap solusi praktis karena hasilnya terlihat cepat. Anak segera patuh, berhenti menangis, atau melakukan apa yang diminta. Namun, ada perbedaan besar antara patuh karena memahami alasan di balik sebuah aturan dengan patuh karena rasa takut. Kepatuhan yang didasarkan pada rasa takut bersifat semu, tidak berdampak jangka panjang, dan justru menciptakan masalah baru dalam perkembangan anak.

Perlu dipahami bahwa anak-anak, terutama pada usia dini, memiliki kemampuan imajinasi yang sangat kuat tetapi belum mampu memilah antara kenyataan dan fantasi. Ketika mereka ditakuti dengan sosok menyeramkan atau ancaman yang berlebihan, hal itu terekam dalam pikiran mereka sebagai sesuatu yang nyata. Bukan hanya itu, ketakutan ini bisa menanamkan rasa cemas, keraguan, dan bahkan trauma berkepanjangan.

Dampak Psikologis yang Serius Akibat Menakuti Anak

Menakuti anak bukan sekadar perbuatan kecil tanpa konsekuensi. Hal ini bisa berdampak signifikan pada psikologi dan tumbuh kembang anak. Ada beberapa fakta yang perlu diketahui tentang bagaimana ketakutan yang ditanamkan secara konsisten dapat memengaruhi seorang anak.

Pertama, anak yang sering ditakut-takuti cenderung tumbuh dengan tingkat kecemasan yang tinggi. Ketakutan yang dirasakan anak tidak akan berhenti saat ancaman berakhir. 

Pikiran tentang "hantu", "monster", atau "penculik" bisa terus menghantui mereka, terutama ketika berada di lingkungan yang dianggap menyeramkan, seperti dalam kegelapan atau saat sendirian. 

Dalam beberapa kasus, anak mengalami kesulitan tidur, sering terbangun di malam hari, atau takut melakukan aktivitas sehari-hari, seperti pergi ke kamar mandi sendirian.

Dampak ini sejalan dengan penelitian psikologi perkembangan yang menunjukkan bahwa anak dengan tingkat kecemasan tinggi akan sulit fokus, mudah merasa lelah, dan memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan mental di kemudian hari. Ketakutan yang berulang bisa menimbulkan trauma dan menghambat perkembangan psikologis anak.

Selain itu, kebiasaan menakuti anak juga dapat merusak kepercayaan mereka terhadap orang tua. Bayangkan seorang anak yang melihat sosok ayah atau ibu sebagai sumber rasa takut, bukan sebagai pelindung. Alih-alih merasa aman dan nyaman, anak justru merasa terancam. 

Akibatnya, kelekatan emosional antara orang tua dan anak menjadi renggang, dan komunikasi menjadi sulit. Anak akan belajar untuk menyembunyikan perasaan atau perbuatannya karena takut dimarahi atau ditakut-takuti.

Efek Jangka Panjang

Jika kebiasaan menakuti anak terus berlanjut, efeknya bisa terbawa hingga dewasa. Anak yang tumbuh dengan rasa takut cenderung menjadi pribadi yang penuh keraguan dan tidak percaya diri. Mereka selalu merasa ada konsekuensi buruk di balik setiap tindakan, sehingga takut mengambil inisiatif atau bertanggung jawab.

Seorang anak yang sering ditakut-takuti tentang kegelapan, misalnya, akan membawa rasa takut itu hingga dewasa. Mereka bisa mengalami nyctophobia atau ketakutan berlebihan terhadap gelap. Ini bukan hanya memengaruhi kenyamanan hidup mereka, tetapi juga menimbulkan perasaan tidak aman dalam situasi tertentu.

Dari sisi akademis, anak yang tumbuh dengan ancaman dan ketakutan cenderung sulit berpikir kritis atau kreatif. Mereka lebih fokus pada bagaimana "menghindari hukuman" dibandingkan memahami pelajaran atau mengembangkan ide. Pola pikir ini akhirnya membentuk pribadi yang cenderung pasif dan takut gagal.

Menurut para psikolog anak, rasa aman adalah fondasi utama dalam tumbuh kembang anak. Ketika anak merasa aman, mereka akan berani mengeksplorasi lingkungan, belajar hal baru, dan mengembangkan potensi diri. Namun, jika yang dirasakan justru ketakutan, anak akan lebih banyak menarik diri dan membatasi langkahnya.

Pendekatan Positif dalam Pola Asuh

Menghentikan kebiasaan menakuti anak memang memerlukan kesadaran dan usaha dari para orang tua. Perubahan pola asuh tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi langkah kecil bisa dimulai dengan memahami kebutuhan anak dan cara komunikasi yang tepat.

Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa anak adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu tinggi dan naluri untuk belajar. Mereka sering kali bertindak berdasarkan eksplorasi dan bukan karena niat untuk melawan. Jika anak sulit diatur atau melakukan hal yang dianggap "nakal", orang tua seharusnya memberikan penjelasan yang logis dan sederhana.

Misalnya, ketika anak tidak mau tidur malam, daripada menakut-nakuti dengan cerita hantu, jelaskan dengan cara yang positif. Katakan bahwa tidur malam yang cukup akan membuat tubuh sehat dan segar. Anak perlu memahami sebab-akibat dari tindakannya, bukan ditakuti dengan sesuatu yang tidak nyata.

Selain itu, penting bagi orang tua untuk membangun komunikasi terbuka dengan anak. Komunikasi yang baik akan membuat anak merasa aman dan nyaman untuk berbicara tentang perasaan atau masalah yang dihadapinya. Anak yang merasa dipahami akan lebih mudah bekerja sama dibandingkan anak yang merasa dipaksa.

Pendekatan positif juga melibatkan pemberian contoh yang baik dari orang tua. Anak adalah peniru ulung, sehingga mereka akan meniru perilaku yang mereka lihat sehari-hari. Jika orang tua menunjukkan sikap tenang, sabar, dan bijaksana dalam menghadapi masalah, anak akan belajar melakukan hal yang sama.

Pendidikan Tanpa Rasa Takut Lebih Efektif

Beberapa penelitian membuktikan bahwa pola asuh positif jauh lebih efektif dalam membentuk karakter anak dibandingkan menggunakan ketakutan sebagai alat disiplin. 

Studi yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa anak yang dibesarkan dengan pendekatan positif memiliki kemampuan sosial yang lebih baik, tingkat kepercayaan diri yang tinggi, dan lebih mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif.

Di sisi lain, anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh ketakutan cenderung mengalami gangguan emosional, kesulitan beradaptasi, dan memiliki hubungan yang buruk dengan orang tua. Oleh karena itu, pendekatan disiplin yang positif, seperti memberikan penjelasan, apresiasi, dan konsekuensi logis, jauh lebih bermanfaat dalam jangka panjang.

Penutup

Kamu mungkin tidak sadar bahwa kalimat sederhana seperti, "Nanti kamu diculik kalau nakal!" bisa meninggalkan luka yang dalam di hati dan pikiran seorang anak. Kebiasaan ini mungkin tampak efektif untuk sementara waktu, tetapi dalam jangka panjang, menakuti anak hanya merusak kepercayaan, rasa aman, dan perkembangan mental mereka.

Sudah saatnya kamu mengganti pola asuh lama ini dengan pendekatan yang lebih positif, penuh kasih sayang, dan edukatif. Anak-anak adalah anugerah yang perlu dibimbing dengan kesabaran, bukan ditakuti dengan ancaman. Dengan menciptakan lingkungan yang aman dan penuh pengertian, kamu tidak hanya membentuk anak yang patuh, tetapi juga anak yang percaya diri, berani, dan siap menghadapi masa depan dengan penuh optimisme.

Ingatlah bahwa anak tidak belajar dari rasa takut. Mereka belajar dari penjelasan, contoh nyata, dan kasih sayang yang tulus. Ubah kebiasaanmu hari ini demi masa depan anak yang lebih baik. Karena setiap anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh cinta dan tanpa rasa takut.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun