Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Jurang Ketimpangan Kaya dan Miskin Makin Melebar

10 Desember 2024   13:17 Diperbarui: 10 Desember 2024   13:17 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketimpangan Sosial.(ChatGPT.com)

Di sudut metropolitan yang berkilauan, seorang anak laki-laki duduk di emperan toko, memandang lapar ke arah etalase berisi makanan mewah. Di sisi lain kota yang sama, sebuah keluarga sedang menikmati hidangan mahal di restoran bintang lima, tertawa tanpa menyadari realitas di luar jendela. Gambaran ini, meskipun menyakitkan, mencerminkan jurang lebar antara si kaya dan si miskin yang semakin mencolok di negeri ini.

Ketimpangan ekonomi bukan hanya tentang perbedaan angka di rekening bank, tetapi juga realitas hidup yang bertolak belakang. Ini adalah kisah tentang akses, kesempatan, dan bagaimana sistem sosial ekonomi telah memisahkan masyarakat menjadi dua dunia yang nyaris tidak bersinggungan.

Mengapa Jurang Ini Terus Melebar?

Indonesia, sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, memiliki cerita sukses dalam pertumbuhan ekonomi. Namun, di balik angka-angka yang menggembirakan, ada ketidakadilan struktural yang sulit disangkal. Menurut laporan Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia, yang diukur melalui koefisien Gini, telah meningkat dari 30 pada awal tahun 2000-an menjadi sekitar 38 dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun ada sedikit perbaikan, angka ini tetap menunjukkan bahwa kekayaan masih terpusat di tangan segelintir orang.

Salah satu alasan utama adalah pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Pembangunan sering kali terkonsentrasi di wilayah perkotaan, meninggalkan daerah pedesaan dalam ketertinggalan. Jika kamu berjalan-jalan di desa-desa terpencil di Indonesia, kamu akan menemukan fakta yang menyayat hati: infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih masih menjadi barang mewah bagi banyak orang. Sementara itu, di kota-kota besar, gedung pencakar langit dan kawasan elit terus bermunculan.

Ketimpangan dalam Pendidikan

Pendidikan adalah salah satu pilar utama untuk mengangkat seseorang dari kemiskinan, tetapi di Indonesia, akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi barang mahal. Sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali kekurangan fasilitas, tenaga pengajar yang memadai, bahkan buku pelajaran dasar.

Sebaliknya, anak-anak dari keluarga kaya memiliki akses ke sekolah internasional dengan kurikulum yang unggul, ruang kelas ber-AC, dan teknologi canggih. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan perbedaan dalam pengetahuan, tetapi juga dalam kepercayaan diri dan peluang masa depan.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi sekolah anak dari kelompok miskin jauh lebih rendah dibandingkan kelompok kaya. Bahkan jika mereka berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, mereka sering terhenti di tingkat menengah karena biaya yang semakin mahal. Ironisnya, di sisi lain spektrum, keluarga kaya mampu menyekolahkan anak-anak mereka ke universitas ternama di luar negeri, memperkuat siklus ketimpangan yang sulit dipatahkan.

Ketimpangan Akses Teknologi

Teknologi telah menjadi kekuatan yang mendominasi dunia modern, tetapi ironisnya, ia juga memperdalam jurang ketimpangan. Internet, yang seharusnya menjadi alat untuk mendemokratisasi pengetahuan, malah menjadi simbol ketidakadilan baru.

Di daerah perkotaan, akses internet super cepat dan gadget canggih adalah hal yang biasa. Sementara itu, di pelosok negeri, banyak keluarga yang bahkan tidak memiliki smartphone, apalagi jaringan internet yang stabil. Dalam konteks pendidikan, siswa dari keluarga miskin sering kali kesulitan mengikuti pembelajaran daring, yang menjadi kebutuhan selama pandemi COVID-19.

Ketika seorang siswa di Jakarta dapat belajar coding atau bahasa asing melalui aplikasi daring, seorang anak di pelosok Papua mungkin tidak memiliki listrik yang memadai untuk menyalakan lampu belajar, apalagi perangkat digital. Hal ini menciptakan kesenjangan keterampilan yang akan terus membayangi mereka saat memasuki dunia kerja.

Dampak Sosial dan Psikologis

Ketimpangan ekonomi tidak hanya menciptakan jurang dalam hal kekayaan, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam pada masyarakat. Mereka yang hidup dalam kemiskinan sering kali merasa tidak berdaya dan putus asa. Tekanan untuk bertahan hidup dari hari ke hari membuat mereka sulit berpikir jangka panjang, apalagi merancang masa depan.

Di sisi lain, mereka yang berada di puncak piramida sering kali tidak menyadari atau bahkan mengabaikan keberadaan orang-orang di bawah. Hidup dalam kemewahan yang terisolasi, mereka membangun tembok fisik dan sosial yang semakin memperlebar jarak dengan realitas masyarakat luas.

Media sosial memperparah situasi ini. Kehidupan mewah yang dipamerkan di Instagram dan TikTok menciptakan rasa iri dan frustrasi di kalangan mereka yang kurang beruntung. Banyak orang terjebak dalam lingkaran membandingkan diri mereka dengan standar yang tidak realistis, yang hanya memperburuk perasaan tidak puas dan tidak cukup baik.

Apakah Kebijakan Sudah Berpihak?

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengurangi kemiskinan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Prakerja. Namun, efektivitas program-program ini masih menjadi perdebatan.

Salah satu masalah utamanya adalah distribusi bantuan yang sering kali tidak merata. Birokrasi yang rumit dan praktik korupsi membuat banyak bantuan sosial tidak sampai ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Selain itu, banyak program yang hanya berfokus pada bantuan jangka pendek tanpa menciptakan solusi berkelanjutan untuk memberdayakan masyarakat miskin.

Di sisi lain, kebijakan perpajakan yang ada sering kali lebih menguntungkan kelompok kaya. Insentif pajak untuk perusahaan besar, misalnya, sering kali tidak diiringi dengan kebijakan yang mendukung usaha kecil dan menengah, yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

Cerita di Balik Angka

Untuk memahami dampak ketimpangan ini, mari kita lihat kehidupan seorang ibu tunggal bernama Siti di sebuah desa di Jawa Timur. Siti adalah seorang petani kecil yang bekerja dari pagi hingga malam untuk menghidupi tiga anaknya. Dengan penghasilan kurang dari Rp1 juta per bulan, dia harus memilih antara membayar biaya sekolah atau membeli makanan untuk keluarganya.

Sementara itu, di Jakarta, seorang pengusaha bernama Adrian menghabiskan Rp5 juta hanya untuk makan malam di restoran mewah. Adrian tidak pernah memikirkan tentang kebutuhan dasar karena semua sudah terpenuhi. Dia menikmati liburan mewah ke luar negeri setiap beberapa bulan sekali.

Kehidupan Siti dan Adrian mungkin terlihat seperti cerita dari dua dunia yang berbeda, tetapi keduanya hidup di negara yang sama, di bawah sistem yang sama. Ini adalah realitas pahit dari ketimpangan ekonomi yang harus kita hadapi.

Harapan di Tengah Ketimpangan

Meskipun tantangan ini tampak besar, bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ada harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif jika kita semua, sebagai bangsa, bersatu untuk mengatasi ketimpangan ini.

Perubahan harus dimulai dari kesadaran kolektif bahwa kemajuan sejati sebuah negara tidak diukur dari jumlah miliarder yang dimilikinya, tetapi dari bagaimana ia memperlakukan mereka yang paling lemah. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan kebijakan dan program yang benar-benar menyentuh akar masalah.

Dalam jangka panjang, investasi dalam pendidikan, infrastruktur, dan teknologi yang merata akan menjadi kunci untuk menutup jurang ini. Selain itu, perlu ada upaya untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan transparan, di mana mereka yang mampu membayar lebih banyak dapat berkontribusi untuk kesejahteraan masyarakat luas.

Kamu, sebagai bagian dari masyarakat, juga bisa berperan. Dengan mendukung usaha lokal, berkontribusi pada kegiatan sosial, atau bahkan hanya menyadari keberadaan ketimpangan ini, kamu sudah menjadi bagian dari solusi.

Ketimpangan ekonomi adalah kisah yang mengoyak jiwa, tetapi dengan tekad bersama, kita bisa menulis babak baru yang lebih adil. Sebab, di balik angka-angka dan statistik, ada manusia dengan mimpi, harapan, dan potensi yang sama besarnya untuk berkontribusi pada dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun