Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Jurang Ketimpangan Kaya dan Miskin Makin Melebar

10 Desember 2024   13:17 Diperbarui: 10 Desember 2024   13:17 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ketimpangan Sosial.(ChatGPT.com)

Teknologi telah menjadi kekuatan yang mendominasi dunia modern, tetapi ironisnya, ia juga memperdalam jurang ketimpangan. Internet, yang seharusnya menjadi alat untuk mendemokratisasi pengetahuan, malah menjadi simbol ketidakadilan baru.

Di daerah perkotaan, akses internet super cepat dan gadget canggih adalah hal yang biasa. Sementara itu, di pelosok negeri, banyak keluarga yang bahkan tidak memiliki smartphone, apalagi jaringan internet yang stabil. Dalam konteks pendidikan, siswa dari keluarga miskin sering kali kesulitan mengikuti pembelajaran daring, yang menjadi kebutuhan selama pandemi COVID-19.

Ketika seorang siswa di Jakarta dapat belajar coding atau bahasa asing melalui aplikasi daring, seorang anak di pelosok Papua mungkin tidak memiliki listrik yang memadai untuk menyalakan lampu belajar, apalagi perangkat digital. Hal ini menciptakan kesenjangan keterampilan yang akan terus membayangi mereka saat memasuki dunia kerja.

Dampak Sosial dan Psikologis

Ketimpangan ekonomi tidak hanya menciptakan jurang dalam hal kekayaan, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam pada masyarakat. Mereka yang hidup dalam kemiskinan sering kali merasa tidak berdaya dan putus asa. Tekanan untuk bertahan hidup dari hari ke hari membuat mereka sulit berpikir jangka panjang, apalagi merancang masa depan.

Di sisi lain, mereka yang berada di puncak piramida sering kali tidak menyadari atau bahkan mengabaikan keberadaan orang-orang di bawah. Hidup dalam kemewahan yang terisolasi, mereka membangun tembok fisik dan sosial yang semakin memperlebar jarak dengan realitas masyarakat luas.

Media sosial memperparah situasi ini. Kehidupan mewah yang dipamerkan di Instagram dan TikTok menciptakan rasa iri dan frustrasi di kalangan mereka yang kurang beruntung. Banyak orang terjebak dalam lingkaran membandingkan diri mereka dengan standar yang tidak realistis, yang hanya memperburuk perasaan tidak puas dan tidak cukup baik.

Apakah Kebijakan Sudah Berpihak?

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengurangi kemiskinan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Prakerja. Namun, efektivitas program-program ini masih menjadi perdebatan.

Salah satu masalah utamanya adalah distribusi bantuan yang sering kali tidak merata. Birokrasi yang rumit dan praktik korupsi membuat banyak bantuan sosial tidak sampai ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Selain itu, banyak program yang hanya berfokus pada bantuan jangka pendek tanpa menciptakan solusi berkelanjutan untuk memberdayakan masyarakat miskin.

Di sisi lain, kebijakan perpajakan yang ada sering kali lebih menguntungkan kelompok kaya. Insentif pajak untuk perusahaan besar, misalnya, sering kali tidak diiringi dengan kebijakan yang mendukung usaha kecil dan menengah, yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun