Teknologi telah menjadi kekuatan yang mendominasi dunia modern, tetapi ironisnya, ia juga memperdalam jurang ketimpangan. Internet, yang seharusnya menjadi alat untuk mendemokratisasi pengetahuan, malah menjadi simbol ketidakadilan baru.
Di daerah perkotaan, akses internet super cepat dan gadget canggih adalah hal yang biasa. Sementara itu, di pelosok negeri, banyak keluarga yang bahkan tidak memiliki smartphone, apalagi jaringan internet yang stabil. Dalam konteks pendidikan, siswa dari keluarga miskin sering kali kesulitan mengikuti pembelajaran daring, yang menjadi kebutuhan selama pandemi COVID-19.
Ketika seorang siswa di Jakarta dapat belajar coding atau bahasa asing melalui aplikasi daring, seorang anak di pelosok Papua mungkin tidak memiliki listrik yang memadai untuk menyalakan lampu belajar, apalagi perangkat digital. Hal ini menciptakan kesenjangan keterampilan yang akan terus membayangi mereka saat memasuki dunia kerja.
Dampak Sosial dan Psikologis
Ketimpangan ekonomi tidak hanya menciptakan jurang dalam hal kekayaan, tetapi juga dampak psikologis yang mendalam pada masyarakat. Mereka yang hidup dalam kemiskinan sering kali merasa tidak berdaya dan putus asa. Tekanan untuk bertahan hidup dari hari ke hari membuat mereka sulit berpikir jangka panjang, apalagi merancang masa depan.
Di sisi lain, mereka yang berada di puncak piramida sering kali tidak menyadari atau bahkan mengabaikan keberadaan orang-orang di bawah. Hidup dalam kemewahan yang terisolasi, mereka membangun tembok fisik dan sosial yang semakin memperlebar jarak dengan realitas masyarakat luas.
Media sosial memperparah situasi ini. Kehidupan mewah yang dipamerkan di Instagram dan TikTok menciptakan rasa iri dan frustrasi di kalangan mereka yang kurang beruntung. Banyak orang terjebak dalam lingkaran membandingkan diri mereka dengan standar yang tidak realistis, yang hanya memperburuk perasaan tidak puas dan tidak cukup baik.
Apakah Kebijakan Sudah Berpihak?
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mengurangi kemiskinan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Prakerja. Namun, efektivitas program-program ini masih menjadi perdebatan.
Salah satu masalah utamanya adalah distribusi bantuan yang sering kali tidak merata. Birokrasi yang rumit dan praktik korupsi membuat banyak bantuan sosial tidak sampai ke tangan mereka yang benar-benar membutuhkan. Selain itu, banyak program yang hanya berfokus pada bantuan jangka pendek tanpa menciptakan solusi berkelanjutan untuk memberdayakan masyarakat miskin.
Di sisi lain, kebijakan perpajakan yang ada sering kali lebih menguntungkan kelompok kaya. Insentif pajak untuk perusahaan besar, misalnya, sering kali tidak diiringi dengan kebijakan yang mendukung usaha kecil dan menengah, yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.