Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miris! Job Fair di Jadikan Sebagai Ladang Bisnis?

2 Desember 2024   09:49 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:22 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Job Fair. (KOMPAS.COM/P RADITYA MAHENDRA YASA)

Bulan lalu, Rina, seorang fresh graduate yang baru saja menyelesaikan pendidikan sarjananya, bersemangat menghadiri sebuah job fair di kota besar. Dengan CV terbaik yang telah ia persiapkan dan penuh optimisme, Rina berharap ini akan menjadi langkah awalnya menuju dunia kerja. Namun, harapan tersebut perlahan memudar setelah ia menyadari bahwa acara tersebut lebih menyerupai ajang komersial daripada wadah untuk membantu pencari kerja.

Kisah Rina hanyalah satu dari banyak cerita serupa. Fenomena job fair yang awalnya bertujuan mulia untuk membantu pencari kerja kini berubah menjadi ladang bisnis yang mengecewakan. Di artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam masalah ini, mulai dari akar penyebab hingga solusi yang bisa diambil untuk mengembalikan esensi job fair sebagai jembatan antara talenta dan peluang kerja.

Job Fair Awal yang Mulia, Akhir yang Buram

Job fair atau bursa kerja pertama kali muncul sebagai solusi praktis untuk mengatasi kesenjangan informasi antara pencari kerja dan perusahaan. Dalam satu hari atau beberapa hari saja, ratusan pencari kerja bisa bertemu langsung dengan puluhan perusahaan yang membuka lowongan. Konsep ini begitu diminati karena menghemat waktu dan tenaga dibandingkan melamar pekerjaan secara individu.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tujuan mulia ini mulai terdistorsi. Penyelenggara job fair, baik itu pihak swasta maupun komunitas tertentu, kerap memanfaatkan acara ini untuk meraup keuntungan besar tanpa memikirkan kualitas acara. Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan yang berdampak langsung pada pencari kerja.

Masalah yang Harus Kita Soroti

  1. Tingginya Biaya Pendaftaran
    Salah satu masalah paling mencolok dari job fair saat ini adalah biaya pendaftaran yang tinggi. Acara-acara besar sering mematok biaya masuk mulai dari Rp30.000 hingga Rp100.000. Untuk beberapa acara premium, biayanya bahkan bisa lebih dari itu.
    Bagi pencari kerja seperti Rina, yang belum memiliki penghasilan tetap, biaya ini adalah pengeluaran yang berat. Bahkan, banyak dari mereka yang harus meminjam uang demi bisa menghadiri acara seperti ini. Namun, apa yang mereka dapatkan? Tidak jarang, job fair hanya menawarkan lowongan dengan posisi yang tidak relevan atau bahkan terlalu generik, seperti sales dengan sistem komisi.

  2. Kurangnya Transparansi Informasi
    Penyelenggara sering kali menggembar-gemborkan janji-janji manis seperti "100 perusahaan ternama" atau "ribuan lowongan pekerjaan." Namun, kenyataannya sering jauh dari ekspektasi. Beberapa perusahaan yang hadir bukanlah perusahaan besar atau ternama, melainkan perusahaan kecil dengan reputasi yang kurang jelas.
    Selain itu, informasi detail tentang posisi yang ditawarkan juga sering tidak transparan. Banyak pencari kerja yang datang dengan harapan besar, namun akhirnya kecewa karena lowongan yang tersedia tidak sesuai dengan kualifikasi atau bidang mereka.

  3. Penjualan Produk dan Jasa Tambahan
    Job fair modern tidak lagi sekadar menyediakan lowongan pekerjaan. Banyak penyelenggara yang menawarkan berbagai layanan tambahan, seperti jasa cetak CV, foto profesional, hingga seminar pelatihan. Meski beberapa layanan ini bermanfaat, harganya sering kali tidak masuk akal. Akibatnya, pencari kerja merasa acara ini lebih diarahkan untuk menjual produk daripada membantu mereka mendapatkan pekerjaan.

  4. Minimnya Kualitas Perusahaan Peserta
    Tidak semua perusahaan yang hadir dalam job fair memiliki reputasi yang baik. Beberapa perusahaan hanya mencari tenaga kerja kontrak dengan sistem komisi, sementara perusahaan lain bahkan menawarkan pekerjaan dengan syarat yang merugikan, seperti gaji rendah atau jam kerja yang tidak manusiawi. Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara lebih fokus pada kuantitas peserta daripada kualitas perusahaan yang hadir.

Dampak pada Pencari Kerja

Dampak komersialisasi job fair tidak hanya dirasakan secara finansial, tetapi juga psikologis. Berikut adalah beberapa dampak yang sering dialami pencari kerja:

  • Rasa Kecewa dan Putus Asa
    Ketika harapan besar yang dibawa ke job fair tidak terpenuhi, banyak pencari kerja yang merasa kecewa. Kegagalan ini sering kali membuat mereka merasa putus asa dan kehilangan motivasi untuk terus mencari pekerjaan.

  • Kerugian Finansial
    Selain biaya pendaftaran, pencari kerja juga harus mengeluarkan uang untuk transportasi, konsumsi, hingga layanan tambahan seperti cetak CV. Jika mereka tidak mendapatkan pekerjaan, pengeluaran ini hanya menjadi beban tambahan.

  • Kekurangan Kepercayaan pada Job Fair
    Fenomena ini membuat banyak pencari kerja kehilangan kepercayaan pada job fair. Mereka merasa bahwa acara seperti ini tidak lagi menjadi solusi, melainkan jebakan yang mengeksploitasi kebutuhan mereka.

Pengalaman Nyata di Lapangan

Menurut data dari survei salah satu komunitas pencari kerja di Indonesia, sekitar 65% peserta job fair merasa tidak puas dengan acara yang mereka ikuti. Rata-rata mereka menyebutkan bahwa perusahaan yang hadir tidak sesuai dengan ekspektasi, dan hanya sedikit dari mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan melalui job fair.

Salah satu contoh nyata terjadi pada sebuah job fair besar di Jakarta. Dalam acara tersebut, penyelenggara menjanjikan kehadiran perusahaan-perusahaan multinasional. Namun, saat hari H, sebagian besar perusahaan yang hadir adalah perusahaan kecil yang menawarkan posisi sales door-to-door. Akibatnya, banyak peserta yang merasa tertipu dan meminta refund, meskipun tidak berhasil.

Solusi untuk Mengembalikan Esensi Job Fair

  1. Transparansi dari Penyelenggara
    Penyelenggara harus memberikan informasi yang jelas dan transparan tentang perusahaan peserta, jenis pekerjaan yang ditawarkan, serta jumlah lowongan yang tersedia. Hal ini penting agar pencari kerja memiliki gambaran yang realistis sebelum menghadiri acara tersebut.

  2. Pengawasan Ketat dari Pemerintah
    Pemerintah, melalui dinas tenaga kerja, perlu mengawasi dan mengatur pelaksanaan job fair. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah memberikan lisensi kepada penyelenggara job fair yang memenuhi standar kualitas tertentu. Dengan begitu, pencari kerja tidak lagi merasa dirugikan.

  3. Penghapusan Biaya Pendaftaran
    Jika memungkinkan, job fair sebaiknya tidak memungut biaya pendaftaran. Penyelenggara bisa mendapatkan dana dari sponsor atau dukungan pemerintah sehingga acara ini bisa diakses oleh semua kalangan tanpa terkecuali.

  4. Mendorong Partisipasi Perusahaan Berkualitas
    Penyelenggara perlu lebih selektif dalam mengundang perusahaan peserta. Hanya perusahaan dengan reputasi baik dan lowongan yang relevan yang seharusnya diundang untuk berpartisipasi.

  5. Pendidikan untuk Pencari Kerja
    Pencari kerja juga harus dibekali dengan pengetahuan tentang cara memilih job fair yang berkualitas. Mereka perlu lebih kritis dan tidak mudah tergiur oleh promosi yang bombastis.

Job Fair Digital

Seiring dengan berkembangnya teknologi, job fair digital kini menjadi alternatif yang semakin populer. Platform seperti LinkedIn, Kalibrr, dan JobStreet memungkinkan pencari kerja untuk melamar pekerjaan tanpa harus datang ke tempat fisik. Selain lebih praktis, job fair digital juga sering kali gratis dan memberikan informasi yang lebih transparan.

Harapan untuk Masa Depan

Job fair adalah salah satu cara untuk membantu mengurangi pengangguran, terutama di negara dengan jumlah tenaga kerja yang besar seperti Indonesia. Namun, agar acara ini benar-benar memberikan manfaat, semua pihak harus berperan aktif. Penyelenggara harus lebih bertanggung jawab, pemerintah harus lebih tegas dalam mengawasi, dan pencari kerja harus lebih bijak dalam memilih acara yang diikuti.

Dengan langkah-langkah ini, kita bisa mengembalikan esensi job fair sebagai jembatan antara talenta dan peluang kerja. Semoga di masa depan, tidak ada lagi pencari kerja yang merasa kecewa seperti Rina, dan job fair bisa kembali menjadi sumber harapan yang nyata.

Mari bersama menciptakan perubahan positif di dunia kerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun