Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Boros Mengakar dalam Masyarakat Kita

30 November 2024   07:41 Diperbarui: 30 November 2024   07:41 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu malam di sebuah pusat perbelanjaan, Ayu terlihat sibuk memilih sepatu yang ingin dibelinya. Di rak sebelah, Rani, sahabatnya, berkomentar, "Bukannya kamu sudah punya tiga pasang sepatu mirip ini, Yu?" Ayu tersenyum, lalu berkata, "Iya, tapi diskonnya besar. Sayang jika dilewatkan." Cerita seperti ini mungkin terdengar sederhana, tapi kenyataannya mencerminkan pola perilaku konsumtif yang makin melekat kuat dalam kehidupan masarakat kita.

Masyarakat kita telah lama terjebak dalam budaya boros yang sering kali dianggap lumrah. Berbagai faktor mendorong hal ini, mulai dari pengaruh iklan, media sosial, hingga gaya hidup modern yang mengedepankan penampilan dan kesenangan instan. Namun, budaya boros bukanlah sekadar masalah individu. Kebiasaan ini membawa dampak serius bagi keuangan pribadi, kesenjangan sosial, hingga keberlanjutan lingkungan.

Fenomena Konsumtif Budaya yang Melekat dalam Masyarakat

Budaya boros sebenarnya bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Dalam beberapa dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi menciptakan kondisi yang memudahkan masyarakat untuk mengakses berbagai produk dan layanan.

Salah satu faktor terbesar adalah pengaruh media. Kamu pasti pernah melihat iklan yang menawarkan produk dengan slogan menggoda seperti "Diskon hingga 70% hanya hari ini!" atau "Jangan ketinggalan tren terbaru." Pesan-pesan semacam ini mendorong rasa takut akan kehilangan kesempatan (fear of missing out atau FOMO). Akibatnya, banyak orang membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

Selain itu, media sosial memainkan peran besar dalam membentuk pola konsumsi. Platform seperti Instagram dan TikTok sering kali menjadi tempat pamer gaya hidup. Banyak orang merasa perlu menunjukkan bahwa mereka mampu mengikuti tren, bahkan jika itu berarti berutang atau mengorbankan kebutuhan utama.

Mengapa Budaya Boros Terus Berlanjut?

Budaya boros bertahan karena berbagai alasan yang saling terkait. Berikut adalah beberapa penyebab utamanya:

  1. Kurangnya Pemahaman tentang Kebutuhan dan Keinginan
    Banyak orang tidak dapat membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Misalnya, memiliki ponsel yang bisa digunakan untuk berkomunikasi adalah kebutuhan, tetapi membeli ponsel terbaru setiap tahun karena tergoda fitur baru adalah keinginan.

  2. Pengaruh Hedonisme
    Hedonisme, yang mengutamakan kebahagiaan melalui kesenangan, mendorong masyarakat untuk terus membeli barang atau layanan demi memenuhi gaya hidup. Pola ini sering kali diperparah oleh keinginan untuk menunjukkan status sosial.

  3. Kemudahan Akses Belanja Online
    Dengan hadirnya e-commerce dan layanan keuangan digital, belanja menjadi semakin mudah. Dalam beberapa klik, seseorang bisa membeli barang dan membayarnya nanti dengan skema cicilan.

  4. Minimnya Edukasi Finansial
    Banyak orang tidak diajarkan tentang pentingnya perencanaan keuangan sejak dini. Akibatnya, mereka cenderung menghabiskan uang tanpa mempertimbangkan tabungan atau investasi untuk masa depan.

Bukti Budaya Boros

Beberapa data dan fakta menunjukkan bahwa budaya boros benar-benar ada di tengah masyarakat:

  1. Statistik Utang Konsumtif
    Di Indonesia, data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa banyak masyarakat terjebak dalam utang konsumtif, seperti kartu kredit dan pinjaman online. Utang ini sering kali digunakan untuk membeli barang-barang yang tidak mendesak.

  2. Lonjakan Penjualan Saat Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas)
    Setiap tahun, Harbolnas mencatat peningkatan transaksi yang signifikan. Pada 2022, transaksi e-commerce di Indonesia mencapai Rp13,4 triliun hanya dalam satu hari. Sebagian besar barang yang dibeli adalah produk fesyen, elektronik, dan kosmetik---kategori yang sering kali bukan kebutuhan mendasar.

  3. Limbah Konsumtif
    Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan 66 juta ton sampah pada 2021, dengan sebagian besar berasal dari limbah rumah tangga. Barang-barang seperti pakaian cepat saji (fast fashion) dan peralatan elektronik menjadi penyumbang utama limbah ini.

Dampak Budaya Boros bagi Kehidupan dan Lingkungan

Kebiasaan boros tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga membawa dampak yang lebih luas:

  1. Masalah Keuangan Pribadi
    Mereka yang terbiasa hidup boros sering kali mengalami kesulitan keuangan. Gaji habis sebelum akhir bulan, tabungan minim, dan utang menumpuk adalah beberapa gejalanya. Situasi ini menciptakan stres dan menurunkan kualitas hidup.

  2. Kesenjangan Sosial
    Kebiasaan memamerkan kekayaan atau barang mewah di media sosial bisa memperbesar kesenjangan sosial. Orang-orang dari kelompok ekonomi menengah ke bawah mungkin merasa tertekan untuk ikut-ikutan, meski kemampuan finansial mereka tidak mencukupi.

  3. Dampak Lingkungan
    Produksi barang yang meningkat untuk memenuhi permintaan konsumtif menyebabkan eksploitasi sumber daya alam. Selain itu, limbah dari barang-barang sekali pakai atau yang cepat usang memperburuk polusi dan kerusakan lingkungan.

Solusi untuk Mengatasi Budaya Boros

Untuk keluar dari jebakan budaya boros, kamu perlu mengubah pola pikir dan kebiasaan konsumsi. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan:

  1. Memahami Prioritas Kebutuhan
    Buatlah daftar kebutuhan utama dan pastikan kamu mengutamakan hal-hal yang benar-benar penting. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada dirimu sendiri, "Apakah ini kebutuhan atau hanya keinginan?"

  2. Meningkatkan Literasi Keuangan
    Pelajari cara mengelola uang, seperti membuat anggaran, menabung, dan berinvestasi. Banyak sumber gratis di internet yang bisa membantumu memahami hal ini.

  3. Mengadopsi Gaya Hidup Minimalis
    Gaya hidup minimalis tidak berarti kamu harus menghilangkan semua kemewahan, tetapi lebih kepada memiliki barang-barang yang benar-benar berguna dan bermakna. Dengan begitu, kamu bisa lebih menghargai apa yang sudah dimiliki.

  4. Mendukung Produk Berkelanjutan
    Pilihlah barang yang ramah lingkungan dan tahan lama. Hindari produk yang hanya digunakan sekali atau memiliki umur pakai pendek.

  5. Mengurangi Paparan Media yang Tidak Sehat
    Batasi waktu yang kamu habiskan di media sosial, terutama jika platform tersebut memengaruhimu untuk membeli barang-barang yang tidak diperlukan.

Ketika Kesederhanaan Membawa Kebahagiaan

Budi, seorang pekerja kantoran, pernah terjebak dalam budaya boros. Setiap bulan, gajinya habis untuk membeli barang-barang terbaru. Suatu hari, ia mulai merasakan tekanan finansial ketika tidak bisa membayar cicilan tepat waktu.

Budi kemudian memutuskan untuk mengubah gaya hidupnya. Ia mulai dengan membuat anggaran bulanan dan hanya membeli barang yang benar-benar diperlukan. Kini, Budi tidak hanya bebas utang, tetapi juga berhasil menabung untuk membeli rumah. "Hidup sederhana membuat saya jauh lebih tenang," katanya.

Kesimpulan

Budaya boros mungkin terlihat seperti hal kecil, tetapi dampaknya sangat besar. Jika tidak segera diatasi, kebiasaan ini bisa merusak keuangan pribadi, memperbesar kesenjangan sosial, dan merusak lingkungan.

Namun, semua itu bisa diubah dengan langkah-langkah sederhana. Kamu tidak perlu menjadi ahli keuangan atau aktivis lingkungan untuk membuat perbedaan. Mulailah dari hal kecil, seperti memprioritaskan kebutuhan, mengelola pengeluaran, dan mendukung produk yang berkelanjutan.

Dengan demikian, kamu tidak hanya membantu dirimu sendiri, tetapi juga berkontribusi pada masyarakat yang lebih bijak dan masa depan yang lebih baik. Ingatlah, hidup bukan tentang memiliki segalanya, tetapi tentang cukup dan bahagia dengan apa yang dimiliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun