Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z, adalah kelompok individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Sebagai generasi yang tumbuh di tengah era digital, Gen Z memiliki ciri khas yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka dikenal sangat adaptif terhadap teknologi, terbuka terhadap perubahan, dan penuh kreativitas. Namun, di balik kelebihan tersebut, Gen Z justru menghadapi tantangan kesehatan mental yang semakin nyata, termasuk tingginya tingkat depresi.
Mengapa generasi yang terlihat "melek teknologi" dan serba bisa ini justru rentan mengalami depresi? Artikel ini akan mengulas secara mendalam penyebab, dampak, serta cara untuk mengatasi fenomena ini.
1. Media Sosial Teman atau Ancaman?
Citra media sosial sebagai sarana hiburan dan koneksi sosial sering kali menutupi sisi gelapnya. Bagi Gen Z, media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Twitter bukan sekadar alat komunikasi, melainkan ruang eksistensi diri. Namun, apa yang terjadi ketika eksistensi ini dipenuhi tekanan?
Budaya Pencitraan dan Standar Tidak Realistis
Bayangkan seorang remaja bernama Nia, siswa SMA berusia 17 tahun. Nia sering menghabiskan waktu di Instagram, melihat foto teman-temannya yang berlibur ke destinasi impian, makan di restoran mahal, atau menggunakan pakaian bermerek. Meski awalnya ia hanya ingin "scroll" untuk hiburan, Nia mulai merasa hidupnya tidak cukup menarik. Ia membandingkan kesehariannya yang sederhana dengan kehidupan glamor yang tampak di layar ponselnya.
Fenomena ini dikenal sebagai perbandingan sosial, dan penelitian menunjukkan bahwa perbandingan semacam ini dapat memicu perasaan rendah diri, kecemasan, hingga depresi. Sebuah studi dari Journal of Adolescence pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa individu yang menghabiskan lebih dari tiga jam per hari di media sosial memiliki risiko depresi lebih tinggi dibandingkan mereka yang lebih jarang mengaksesnya.
2. Perubahan Sosial yang Membingungkan
Generasi Z hidup di tengah era perubahan yang sangat cepat. Mulai dari isu global seperti perubahan iklim hingga ketidakstabilan politik, semuanya menjadi pemandangan sehari-hari bagi mereka.
Paparan Berita Negatif
Dengan akses informasi yang begitu mudah, Gen Z tidak hanya mengetahui hal-hal positif tetapi juga tenggelam dalam berita-berita negatif. Sebuah studi dari Pew Research Center pada 2021 menyebutkan bahwa lebih dari 70% anak muda sering merasa cemas setelah membaca berita tentang krisis global. Ketakutan ini menciptakan perasaan tidak aman yang terus menerus, seolah-olah dunia sedang runtuh.
Kondisi ini diperparah oleh fenomena doomscrolling, yaitu kebiasaan terus-menerus membaca berita buruk tanpa henti. Efeknya, mereka menjadi terlalu fokus pada sisi negatif kehidupan, hingga lupa untuk menghargai hal-hal positif di sekitar mereka.
Krisis Identitas dan Harapan Masa Depan
Selain itu, Gen Z juga menghadapi tantangan besar dalam menentukan identitas diri di tengah perubahan sosial. Banyak dari mereka yang merasa bingung antara mengikuti norma tradisional atau menciptakan jalan baru sesuai dengan perkembangan zaman.
Misalnya, Andi, seorang mahasiswa berusia 20 tahun, merasa tertekan karena keluarganya mengharapkan ia menjadi dokter seperti ayahnya. Namun, Andi sendiri memiliki minat besar dalam dunia seni digital. Konflik antara harapan keluarga dan keinginan pribadi ini sering kali menyebabkan stres berkepanjangan.
3. Tekanan Akademik dan Karier yang Tinggi
Pendidikan dan karier adalah dua aspek kehidupan yang mendapatkan perhatian besar di kalangan Gen Z. Namun, tekanan untuk menjadi "sukses" dalam waktu singkat justru menjadi sumber utama depresi bagi banyak dari mereka.
Standar Kesuksesan yang Tinggi
Dalam lingkungan yang kompetitif, Gen Z sering merasa bahwa nilai akademik adalah segalanya. Mereka dipaksa untuk mendapatkan nilai sempurna, masuk ke universitas ternama, dan memperoleh pekerjaan bergaji tinggi. Sayangnya, tidak semua individu memiliki kemampuan atau minat yang sesuai dengan standar ini.
Cerita Rina, seorang siswa kelas 12, mungkin menjadi gambaran nyata. Setiap hari ia belajar lebih dari 12 jam untuk persiapan ujian masuk perguruan tinggi. Di sisi lain, ia merasa tertekan karena orang tuanya sering membandingkan prestasinya dengan teman-temannya yang sudah diterima di universitas impian. Akibatnya, Rina sering merasa cemas, kurang tidur, dan kehilangan motivasi.
Pasar Kerja yang Tidak Menentu
Bagi mereka yang sudah memasuki dunia kerja, tantangan lain pun muncul. Di era digital, banyak pekerjaan tradisional tergantikan oleh teknologi. Persaingan untuk mendapatkan pekerjaan pun semakin ketat. Kondisi ini membuat Gen Z khawatir akan masa depan mereka, terutama dalam hal stabilitas keuangan.
4. Ketidakseimbangan Gaya Hidup
Gaya hidup Gen Z yang sangat terhubung secara digital sering kali membuat mereka lupa untuk menjaga keseimbangan hidup.
Kurangnya Interaksi Sosial Tatap Muka
Di tengah kemudahan berkomunikasi secara online, interaksi tatap muka justru semakin jarang. Banyak dari mereka yang merasa kesepian meski memiliki ratusan teman di media sosial. Kesepian ini menjadi salah satu penyebab utama depresi, seperti yang ditemukan dalam laporan American Psychological Association tahun 2019.
Kurang Tidur dan Aktivitas Fisik
Selain itu, kebiasaan begadang untuk bermain game, menonton video, atau mengerjakan tugas sering kali menyebabkan kurang tidur. Padahal, tidur yang cukup adalah salah satu kunci kesehatan mental.
5. Stigma terhadap Kesehatan Mental
Meski Gen Z lebih terbuka membahas kesehatan mental dibandingkan generasi sebelumnya, stigma masih menjadi penghalang besar. Banyak dari mereka yang merasa malu atau takut dihakimi ketika mencoba mencari bantuan profesional.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan, semakin lama depresi dibiarkan, semakin sulit untuk diatasi. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung agar Gen Z merasa nyaman untuk berbicara tentang kesehatan mental mereka.
Bagaimana Mengatasi Tantangan Ini?
Dukungan dari Keluarga
Keluarga memiliki peran penting dalam membantu Gen Z menghadapi tekanan. Luangkan waktu untuk mendengarkan keluhan mereka tanpa menghakimi. Dukungan emosional dari orang tua atau saudara dapat menjadi langkah awal untuk meringankan beban mereka.Kurangi Waktu di Media Sosial
Bagi kamu yang merasa tertekan karena media sosial, cobalah untuk mengurangi penggunaannya. Atur waktu khusus untuk "detoks digital" dan gunakan waktu tersebut untuk melakukan aktivitas yang kamu sukai, seperti membaca buku, berkebun, atau berolahraga.Tingkatkan Kesadaran tentang Kesehatan Mental
Masyarakat dan pemerintah perlu bekerja sama untuk meningkatkan kampanye kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental. Akses terhadap layanan kesehatan mental yang terjangkau juga harus ditingkatkan.Ciptakan Keseimbangan Hidup
Luangkan waktu untuk beristirahat, bersosialisasi, dan menikmati hidup. Jangan terlalu memaksakan diri untuk mencapai standar tertentu. Ingat, kesehatan mental lebih penting daripada pencapaian materi.
Kesimpulan
Gen Z menghadapi tantangan unik di era digital, mulai dari tekanan media sosial hingga krisis identitas. Tingginya tingkat depresi di kalangan mereka adalah alarm yang mengingatkan kita bahwa kesehatan mental adalah isu serius yang harus ditangani bersama.
Dengan memahami penyebabnya dan mengambil langkah preventif, kita dapat membantu Gen Z menjadi generasi yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga sehat secara mental. Mari kita wujudkan lingkungan yang mendukung, agar masa depan mereka lebih cerah dan penuh harapan.
Semoga artikel ini membuka wawasan kamu dan mendorong kita semua untuk lebih peduli terhadap kesehatan mental generasi muda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H