Salah satu faktor penting di balik perubahan ini adalah tingginya tingkat perceraian yang terjadi di sekitar mereka. Mereka tumbuh di era di mana kasus perceraian semakin meningkat, sehingga sebagian dari mereka merasa ragu dan waspada terhadap komitmen jangka panjang. Menurut data dari Badan Pengadilan Agama, tingkat perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun, dan ini meninggalkan kesan mendalam bagi generasi muda tentang bagaimana pernikahan bisa berakhir dengan rasa sakit dan ketidakpastian.
Media Sosial dan Pengaruhnya terhadap Cara Pandang Gen Z
Gen Z tumbuh di dunia yang sangat dipengaruhi oleh media sosial. Mereka terbiasa melihat dan mengikuti berbagai gaya hidup yang mungkin berbeda dari norma tradisional, termasuk gaya hidup yang mengedepankan kebebasan dan kemandirian tanpa adanya ikatan pernikahan. Di media sosial, kehidupan single sering kali digambarkan penuh petualangan, kebebasan, dan waktu untuk mengejar impian pribadi. Konten-konten seperti ini bisa memengaruhi cara pandang mereka terhadap pernikahan.
Selain itu, media sosial juga memberikan mereka akses kepada berbagai cerita dari orang-orang di seluruh dunia, termasuk kisah-kisah tentang tantangan dalam pernikahan, tekanan dalam rumah tangga, atau bahkan pengalaman perceraian. Hal ini memengaruhi mereka untuk berpikir lebih hati-hati dan tidak terburu-buru dalam membuat keputusan besar seperti menikah. Generasi ini cenderung lebih berhati-hati dan ingin memastikan bahwa keputusan yang mereka buat adalah keputusan yang tepat.
Kecenderungan Menjaga Individualitas dan Kemandirian
Kebanyakan Gen Z sangat menghargai individualitas dan kemandirian. Bagi mereka, kebahagiaan tidak bergantung pada hubungan dengan orang lain, tetapi lebih pada pencapaian diri dan kebebasan dalam menentukan arah hidup. Mereka percaya bahwa hidup ini adalah perjalanan untuk mengenal diri sendiri dan mewujudkan potensi yang dimiliki. Ketika pernikahan dianggap bisa menjadi penghalang bagi kebebasan tersebut, banyak dari mereka yang memilih untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan.
Ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya pemahaman mereka tentang kesehatan mental. Bagi banyak Gen Z, menjalani hidup tanpa ikatan pernikahan memungkinkan mereka untuk menjaga kesehatan mental mereka lebih baik. Komitmen pernikahan dan tanggung jawab dalam rumah tangga bisa menambah beban psikologis, dan banyak anak muda yang tidak ingin menghadapi hal itu terlalu dini.
Bagaimana Masyarakat Perlu Menyikapi Fenomena Ini?
Tren penurunan angka pernikahan ini tentu memunculkan kekhawatiran, terutama di kalangan orang tua dan masyarakat luas. Nilai-nilai tradisional seringkali masih memandang pernikahan sebagai langkah penting dalam hidup seseorang, sebagai simbol kedewasaan dan keberhasilan. Namun, perubahan ini sebenarnya bisa menjadi momen bagi masyarakat untuk memahami dan menghargai pilihan hidup yang berbeda. Setiap generasi memiliki tantangan, nilai, dan tujuan hidup yang unik, dan Gen Z bukanlah pengecualian.
Alih-alih menekan mereka untuk mengikuti standar lama, mungkin lebih baik jika kita mendukung mereka untuk membuat keputusan hidup yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Kehidupan tidak selalu harus mengikuti jalur yang sama untuk setiap orang, dan kebahagiaan tidak bisa diukur hanya dari apakah seseorang menikah atau tidak.
Penutup