Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sritex Ambruk Terhantam Krisis, Menguak Kisah di Balik Kebangkrutannya

30 Oktober 2024   09:11 Diperbarui: 30 Oktober 2024   09:37 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perusahaan Tekstil Doc.KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO 

Sebagai salah satu raksasa tekstil terbesar di Asia Tenggara, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang dikenal dengan SRITEX dulunya menjadi kebanggaan Indonesia. Dengan sejarah panjang sejak 1966, SRITEX berhasil membangun reputasi sebagai perusahaan tekstil dan garmen terkemuka yang melayani pasar domestik dan internasional. 

Namun, pada tahun 2021, publik dikejutkan oleh kabar kebangkrutan SRITEX. Perusahaan yang dulu berjaya kini ambruk dan meninggalkan jejak pertanyaan yang mendalam. Apa yang sebenarnya terjadi?

Awal Mula Ambisi Perusahaan

SRITEX memiliki ambisi besar. Dengan pangsa pasar yang luas, perusahaan ini tidak hanya memproduksi tekstil untuk keperluan sehari-hari, tetapi juga menjadi pemasok seragam militer untuk berbagai negara. 

Pada 2019, misalnya, perusahaan ini tercatat memiliki lebih dari 50 negara tujuan ekspor, mulai dari Timur Tengah hingga Eropa. SRITEX pun gencar melakukan ekspansi untuk meningkatkan kapasitas produksinya, terutama dengan membangun pabrik dan fasilitas baru yang membutuhkan investasi besar.

Tetapi, apa yang terjadi jika ambisi yang besar itu tidak diiringi dengan manajemen risiko yang matang? Dengan utang yang kian membesar untuk mendukung ekspansi, perusahaan ini menjadi rentan terhadap setiap perubahan ekonomi. Ketika pandemi COVID-19 mulai merebak pada tahun 2020, kerentanan tersebut mulai terlihat.

1. Pandemi COVID-19  Pukulan Telak bagi Bisnis Tekstil

Pandemi COVID-19 menjadi titik awal dari rangkaian masalah yang dihadapi SRITEX. Saat pandemi melanda, banyak negara memberlakukan pembatasan sosial, yang membuat masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah. 

Hal ini berakibat pada turunnya permintaan pakaian karena konsumen mulai memprioritaskan kebutuhan pokok, seperti pangan dan kesehatan, dibandingkan belanja pakaian.

SRITEX yang sebelumnya bergantung pada permintaan global, terutama pasar ekspor, mulai mengalami kesulitan. Penurunan ini terasa sangat signifikan, di mana penjualan perusahaan merosot tajam. 

Bahkan, perusahaan terpaksa menghentikan beberapa lini produksi. Menurunnya pemasukan ini terjadi ketika SRITEX masih harus membayar biaya operasional dan cicilan utang. Situasi ini semakin menekan arus kas perusahaan dan menjadi awal dari masalah keuangan yang lebih besar.

2. Beban Utang yang Terus Menggunung

Utang yang dimiliki SRITEX bukanlah hal yang kecil. Tercatat, pada 2021, utang perusahaan mencapai sekitar 21 triliun rupiah. Angka ini luar biasa besar bagi sebuah perusahaan tekstil dan menjadi beban yang sulit dikelola di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. 

Utang sebesar itu sebagian besar digunakan untuk membiayai ekspansi besar-besaran yang dilakukan SRITEX beberapa tahun sebelumnya.

Sayangnya, utang ini menjadi masalah serius ketika perusahaan tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasinya. Hal ini terlihat dari pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh beberapa kreditur SRITEX pada 2021.

 Pengajuan PKPU tersebut menandakan bahwa SRITEX tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para kreditur, yang pada akhirnya memicu proses kebangkrutan.

3. Manajemen Risiko yang Lemah

Beban utang yang besar sebenarnya bisa diminimalisasi jika perusahaan memiliki manajemen risiko yang kuat. Namun, pada kasus SRITEX, manajemen risiko sepertinya tidak berjalan optimal. 

Menghadapi situasi seperti pandemi, sebuah perusahaan yang baik seharusnya sudah menyiapkan strategi mitigasi, seperti pengurangan biaya operasional atau penundaan investasi yang tidak mendesak.

Keputusan untuk terus memperluas kapasitas produksi di saat pasar global menunjukkan tanda-tanda perlambatan bisa dianggap sebagai langkah yang kurang bijaksana.

 Tidak ada langkah diversifikasi yang signifikan yang dilakukan perusahaan, misalnya dengan merambah pasar baru atau mengembangkan produk baru yang relevan di masa pandemi. Sebagai hasilnya, ketika permintaan turun drastis, SRITEX tidak memiliki strategi cadangan yang memadai untuk menjaga arus kas.

4. Persaingan Ketat dari Luar Negeri

Industri tekstil global mengalami tekanan besar dengan adanya persaingan dari negara-negara seperti Bangladesh, Vietnam, dan Tiongkok, yang terkenal dengan biaya produksi rendah. 

Produk-produk tekstil dari negara-negara tersebut sering kali dijual dengan harga lebih murah, sehingga menjadi daya tarik bagi para importir di negara-negara tujuan ekspor SRITEX.

Bangladesh, misalnya, mendapatkan keuntungan dari biaya tenaga kerja yang sangat murah, serta dukungan penuh dari pemerintahnya untuk industri tekstil. Ini membuat produk mereka sangat kompetitif di pasar internasional, yang pada akhirnya mempengaruhi pangsa pasar SRITEX.

 Tanpa dukungan serupa di dalam negeri dan terbebani oleh utang besar, SRITEX kalah dalam persaingan harga dan kualitas, terutama di pasar ekspor yang menjadi andalannya.

5. Krisis Kepercayaan dari Para Investor dan Kreditur

Dalam dunia bisnis, kepercayaan dari investor dan kreditur merupakan aset yang sangat penting. Ketika sebuah perusahaan kehilangan kepercayaan ini, modal untuk mendukung operasional akan semakin sulit didapatkan. 

Dalam kasus SRITEX, beban utang yang tinggi dan kinerja keuangan yang memburuk membuat para investor dan kreditur mulai menarik dukungan mereka.

Ketidakmampuan SRITEX dalam membayar kewajiban utangnya membuat perusahaan ini masuk dalam pengawasan proses restrukturisasi melalui PKPU. Hal ini berdampak besar terhadap citra SRITEX di mata para pemangku kepentingan, yang pada akhirnya mempercepat kebangkrutan perusahaan.

 Sinyal-sinyal seperti ini sering kali menjadi penanda bagi investor untuk menjauh karena dianggap berisiko tinggi.

Laporan Keuangan yang Menggambarkan Kesulitan

Laporan keuangan SRITEX tahun 2020 dan 2021 menunjukkan kondisi yang semakin terpuruk. Data menunjukkan adanya penurunan penjualan, peningkatan beban utang, serta kerugian yang signifikan. 

Bahkan, salah satu laporan menyebutkan bahwa SRITEX hanya memiliki sedikit aset likuid yang bisa digunakan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Fakta ini semakin memperkuat pandangan bahwa kondisi keuangan perusahaan memang kritis.

Kesimpulan

Kisah ambruknya SRITEX menjadi pelajaran berharga bagi dunia usaha. Bukan hanya soal ambisi dan ekspansi, tetapi juga pentingnya manajemen risiko yang matang. Bagaimana sebuah perusahaan besar bisa hancur karena kurangnya strategi cadangan dan kontrol terhadap utang? Inilah yang seharusnya menjadi perhatian bagi pelaku bisnis lainnya.

Bagi kamu, sebagai pembaca atau mungkin pelaku usaha, kisah ini mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam berbisnis. Mungkin kita tergiur untuk terus memperbesar usaha dan mengambil peluang baru, tetapi tanpa manajemen risiko yang baik, semua itu bisa menjadi bumerang.

 Terutama di era yang penuh ketidakpastian seperti sekarang, menjaga stabilitas keuangan perusahaan lebih penting daripada sekadar ambisi besar.

Ke depannya, perusahaan-perusahaan lain dapat belajar dari kasus SRITEX. Jangan sampai ambisi mengaburkan pandangan terhadap risiko yang ada. Sebuah perusahaan yang kuat bukan hanya yang besar secara kapasitas, tetapi juga yang siap menghadapi tantangan ekonomi global dengan bijaksana.

Begitu juga bagi kita sebagai konsumen atau investor, penting untuk lebih cermat dalam memilih perusahaan yang kita dukung. Pastikan bahwa perusahaan tersebut memiliki manajemen keuangan yang baik dan siap menghadapi perubahan, bukan hanya sekadar mengejar keuntungan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun