Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sritex Ambruk Terhantam Krisis, Menguak Kisah di Balik Kebangkrutannya

30 Oktober 2024   09:11 Diperbarui: 30 Oktober 2024   09:37 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Perusahaan Tekstil Doc.KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO 

Bahkan, perusahaan terpaksa menghentikan beberapa lini produksi. Menurunnya pemasukan ini terjadi ketika SRITEX masih harus membayar biaya operasional dan cicilan utang. Situasi ini semakin menekan arus kas perusahaan dan menjadi awal dari masalah keuangan yang lebih besar.

2. Beban Utang yang Terus Menggunung

Utang yang dimiliki SRITEX bukanlah hal yang kecil. Tercatat, pada 2021, utang perusahaan mencapai sekitar 21 triliun rupiah. Angka ini luar biasa besar bagi sebuah perusahaan tekstil dan menjadi beban yang sulit dikelola di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. 

Utang sebesar itu sebagian besar digunakan untuk membiayai ekspansi besar-besaran yang dilakukan SRITEX beberapa tahun sebelumnya.

Sayangnya, utang ini menjadi masalah serius ketika perusahaan tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasinya. Hal ini terlihat dari pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh beberapa kreditur SRITEX pada 2021.

 Pengajuan PKPU tersebut menandakan bahwa SRITEX tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para kreditur, yang pada akhirnya memicu proses kebangkrutan.

3. Manajemen Risiko yang Lemah

Beban utang yang besar sebenarnya bisa diminimalisasi jika perusahaan memiliki manajemen risiko yang kuat. Namun, pada kasus SRITEX, manajemen risiko sepertinya tidak berjalan optimal. 

Menghadapi situasi seperti pandemi, sebuah perusahaan yang baik seharusnya sudah menyiapkan strategi mitigasi, seperti pengurangan biaya operasional atau penundaan investasi yang tidak mendesak.

Keputusan untuk terus memperluas kapasitas produksi di saat pasar global menunjukkan tanda-tanda perlambatan bisa dianggap sebagai langkah yang kurang bijaksana.

 Tidak ada langkah diversifikasi yang signifikan yang dilakukan perusahaan, misalnya dengan merambah pasar baru atau mengembangkan produk baru yang relevan di masa pandemi. Sebagai hasilnya, ketika permintaan turun drastis, SRITEX tidak memiliki strategi cadangan yang memadai untuk menjaga arus kas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun