Bahkan, perusahaan terpaksa menghentikan beberapa lini produksi. Menurunnya pemasukan ini terjadi ketika SRITEX masih harus membayar biaya operasional dan cicilan utang. Situasi ini semakin menekan arus kas perusahaan dan menjadi awal dari masalah keuangan yang lebih besar.
2. Beban Utang yang Terus Menggunung
Utang yang dimiliki SRITEX bukanlah hal yang kecil. Tercatat, pada 2021, utang perusahaan mencapai sekitar 21 triliun rupiah. Angka ini luar biasa besar bagi sebuah perusahaan tekstil dan menjadi beban yang sulit dikelola di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil.Â
Utang sebesar itu sebagian besar digunakan untuk membiayai ekspansi besar-besaran yang dilakukan SRITEX beberapa tahun sebelumnya.
Sayangnya, utang ini menjadi masalah serius ketika perusahaan tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk melunasinya. Hal ini terlihat dari pengajuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh beberapa kreditur SRITEX pada 2021.
 Pengajuan PKPU tersebut menandakan bahwa SRITEX tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada para kreditur, yang pada akhirnya memicu proses kebangkrutan.
3. Manajemen Risiko yang Lemah
Beban utang yang besar sebenarnya bisa diminimalisasi jika perusahaan memiliki manajemen risiko yang kuat. Namun, pada kasus SRITEX, manajemen risiko sepertinya tidak berjalan optimal.Â
Menghadapi situasi seperti pandemi, sebuah perusahaan yang baik seharusnya sudah menyiapkan strategi mitigasi, seperti pengurangan biaya operasional atau penundaan investasi yang tidak mendesak.
Keputusan untuk terus memperluas kapasitas produksi di saat pasar global menunjukkan tanda-tanda perlambatan bisa dianggap sebagai langkah yang kurang bijaksana.
 Tidak ada langkah diversifikasi yang signifikan yang dilakukan perusahaan, misalnya dengan merambah pasar baru atau mengembangkan produk baru yang relevan di masa pandemi. Sebagai hasilnya, ketika permintaan turun drastis, SRITEX tidak memiliki strategi cadangan yang memadai untuk menjaga arus kas.