Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka, Apakah Sudah Memerdekakan Pendidikan?

24 Oktober 2024   13:26 Diperbarui: 24 Oktober 2024   13:39 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lingkungan Sekolah. KOMPAS/NASRUN KATINGKA 

Kurikulum Merdeka adalah salah satu kebijakan besar yang dicanangkan pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia. Dengan menggantikan Kurikulum 2013, Kurikulum Merdeka hadir dengan tujuan memberi kebebasan lebih kepada siswa dan guru dalam proses belajar-mengajar. 

Namun, apakah benar kebijakan ini telah berhasil memerdekakan pendidikan? Apakah benar siswa dan guru sudah merasakan manfaatnya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab, mengingat pendidikan adalah salah satu pilar utama dalam membentuk masa depan bangsa.

Apa Itu Kurikulum Merdeka?

Kurikulum Merdeka, yang mulai diterapkan secara bertahap sejak 2022, bertujuan untuk membuat proses belajar lebih fleksibel dan adaptif sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa. Dalam konsep ini, guru diberikan kebebasan untuk menyusun materi pelajaran berdasarkan kondisi dan kemampuan siswa. 

Di sisi lain, siswa juga didorong untuk lebih mandiri dalam mengatur proses belajar mereka. 

Salah satu perubahan besar dalam Kurikulum Merdeka adalah penghapusan ujian nasional sebagai penentu kelulusan. Sebagai gantinya, evaluasi dilakukan melalui asesmen berbasis proses, di mana siswa dinilai dari bagaimana mereka memahami materi dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Kurikulum ini juga menekankan pada proyek dan praktik langsung yang relevan dengan dunia nyata. Hal ini bertujuan agar siswa tidak hanya menjadi "mesin penghafal," tetapi juga memahami konteks materi yang diajarkan. 

Konsep seperti ini tentu sangat menarik karena sejalan dengan kebutuhan keterampilan di era digital, di mana kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan problem-solving sangat dibutuhkan.

Sejauh Mana Realisasinya?

Salah satu klaim terbesar dari Kurikulum Merdeka adalah kebebasan yang diberikan kepada guru dalam menyusun materi ajar. Guru dianggap lebih memahami kebutuhan dan potensi siswanya, sehingga mereka diberi keleluasaan untuk menyesuaikan kurikulum dengan situasi di lapangan. 

Misalnya, jika ada siswa yang tertarik pada bidang seni, guru bisa lebih fokus mengembangkan kreativitasnya, daripada memaksakan pembelajaran yang sifatnya terlalu akademis. Begitu juga dengan siswa yang tertarik pada teknologi, mereka bisa mendapatkan porsi belajar lebih banyak terkait keterampilan digital.

Namun, implementasi dari kebebasan ini masih belum sepenuhnya merata. Beberapa guru, terutama di daerah-daerah terpencil, masih menghadapi berbagai keterbatasan. Mulai dari kurangnya pelatihan hingga minimnya akses terhadap bahan ajar yang mendukung. 

Sebagai contoh, di sekolah-sekolah di perkotaan, penerapan metode pengajaran berbasis proyek atau teknologi mungkin berjalan lancar, karena didukung oleh fasilitas yang memadai.

 Tetapi di daerah pedesaan, dengan keterbatasan infrastruktur, penerapan Kurikulum Merdeka masih menemui banyak kendala. Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi pemerintah untuk menyamaratakan kualitas pendidikan di seluruh Indonesia.

Selain itu, kebebasan dalam belajar juga menuntut siswa untuk lebih mandiri. Di satu sisi, hal ini sangat positif karena siswa diajak untuk lebih aktif dalam mengembangkan diri. Namun, kebebasan ini juga bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi dengan panduan yang jelas dari guru dan orang tua. 

Tanpa arahan yang tepat, siswa justru bisa merasa kebingungan dan kehilangan motivasi untuk belajar. Oleh karena itu, penting bagi setiap sekolah untuk tetap menyediakan bimbingan yang memadai agar siswa bisa memanfaatkan kebebasan ini dengan baik.

Penghapusan Ujian Nasional Apakah Solusi Tepat?

Salah satu langkah paling kontroversial dalam Kurikulum Merdeka adalah penghapusan Ujian Nasional. Ujian yang selama bertahun-tahun menjadi momok bagi siswa ini digantikan dengan asesmen berbasis proses. 

Dalam asesmen ini, siswa dinilai dari keseluruhan proses belajarnya, bukan hanya dari hasil ujian yang berlangsung beberapa jam. Dengan demikian, siswa diharapkan tidak lagi merasa terbebani oleh tekanan ujian semata.

Namun, apakah penghapusan Ujian Nasional sudah cukup memecahkan masalah? Memang, tekanan psikologis pada siswa menjadi berkurang, tetapi tanpa ujian standar yang bersifat nasional, muncul kekhawatiran mengenai bagaimana mengukur kualitas pendidikan secara merata di seluruh Indonesia. 

Seperti yang kita ketahui, sistem pendidikan di setiap daerah memiliki tantangannya masing-masing, dan tanpa ujian yang seragam, mungkin akan sulit untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan penerapan kurikulum baru ini.

Sebagai bukti konkret, survei yang dilakukan oleh Kemendikbud pada 2023 menunjukkan bahwa 35% guru masih merasa kesulitan dalam menyesuaikan metode penilaian baru yang lebih berbasis proses ini. Mereka mengaku masih terbiasa dengan model evaluasi tradisional, di mana hasil ujian menjadi acuan utama. 

Ini menunjukkan bahwa penghapusan Ujian Nasional saja tidak serta merta meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan diperlukan peningkatan kompetensi guru dalam melaksanakan penilaian berbasis proses.

Tantangan Infrastruktur dan Kesiapan Teknologi

Salah satu tantangan terbesar dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah masalah ketimpangan infrastruktur. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sekolah-sekolah di kota besar mungkin memiliki akses ke teknologi dan fasilitas yang mendukung metode belajar berbasis proyek. 

Namun, di daerah-daerah terpencil, masalah seperti keterbatasan akses internet, minimnya peralatan pembelajaran digital, dan kurangnya guru yang terlatih masih menjadi penghalang besar.

Sebagai contoh, di beberapa daerah terpencil di Papua, masih banyak sekolah yang belum memiliki akses listrik yang stabil, apalagi akses internet. Hal ini tentu membuat penerapan Kurikulum Merdeka yang berbasis proyek dan teknologi menjadi sangat sulit. 

Dalam konteks ini, merdeka belajar tampaknya belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh siswa di Indonesia. Ketidakmerataan infrastruktur ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah agar tujuan Kurikulum Merdeka bisa tercapai di seluruh pelosok negeri.

Dukungan Orang Tua Menentukan Kesuksesan

Selain guru dan siswa, orang tua juga memiliki peran penting dalam keberhasilan Kurikulum Merdeka. Di era digital ini, orang tua dituntut untuk lebih aktif dalam mendampingi anak-anak mereka dalam belajar. 

Namun, tidak semua orang tua memahami bagaimana memberikan dukungan yang tepat. Banyak orang tua yang masih terbiasa dengan pola pendidikan lama, di mana nilai ujian menjadi tolak ukur utama keberhasilan anak. Padahal, Kurikulum Merdeka mengutamakan proses, bukan hasil akhir.

Sebagai bukti, sebuah studi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan independen di Jakarta pada 2023 menunjukkan bahwa 40% orang tua masih menganggap nilai akhir ujian sebagai satu-satunya penentu kecerdasan anak. 

Anggapan ini tentu perlu diubah, karena dalam Kurikulum Merdeka, keterampilan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah jauh lebih penting daripada sekadar menghafal materi.

Oleh karena itu, orang tua juga perlu dibekali pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mendampingi anak-anak mereka belajar di era Kurikulum Merdeka. Program-program sosialisasi dan pelatihan untuk orang tua perlu ditingkatkan agar mereka dapat berperan aktif dalam mendukung proses belajar anak di rumah.

Kesimpulan

Kurikulum Merdeka membawa banyak harapan baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Dengan kebebasan yang diberikan kepada guru dan siswa, diharapkan proses belajar-mengajar menjadi lebih relevan, menyenangkan, dan adaptif terhadap kebutuhan zaman. Namun, seperti setiap perubahan besar, penerapan Kurikulum Merdeka tidak luput dari tantangan.

 Mulai dari kesiapan guru, ketimpangan infrastruktur, hingga dukungan dari orang tua, semua elemen ini harus bekerja sama agar tujuan pendidikan yang lebih merdeka bisa tercapai.

Apakah Kurikulum Merdeka sudah memerdekakan pendidikan? Jawabannya mungkin belum sepenuhnya. Tetapi ini adalah langkah awal yang positif. Dengan dukungan yang tepat, Kurikulum Merdeka bisa menjadi tonggak penting dalam menciptakan generasi yang lebih mandiri, kritis, dan siap menghadapi tantangan global. 

Kini, yang diperlukan adalah komitmen dari semua pihak untuk terus memperbaiki dan menyesuaikan sistem ini agar benar-benar bermanfaat bagi seluruh siswa di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun