Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Senioritas dan Junior Biang Kekerasan di Institusi Pendidikan

7 Oktober 2024   09:49 Diperbarui: 7 Oktober 2024   09:55 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Senioritas di Sekolah. Pexels.com/cottonbro studio

Sistem senioritas di institusi pendidikan, terutama di jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi, sudah lama menjadi tradisi yang melekat. Namun, meskipun dianggap sebagai bagian dari pembinaan kedisiplinan dan karakter, sistem ini sering kali menyisakan cerita kelam. Kekerasan, intimidasi, dan bullying sering kali lahir dari hubungan tidak seimbang antara senior dan junior. Budaya ini bukan hanya merusak mentalitas siswa, tetapi juga bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Jika dibiarkan terus-menerus, kekerasan berbasis senioritas bisa berdampak panjang pada perkembangan kepribadian generasi muda.

Senioritas: Tradisi yang Tak Selalu Positif

Budaya senioritas di banyak institusi pendidikan sering kali dibalut dengan alasan "pembinaan" atau "pembentukan karakter." Senior diharapkan menjadi contoh yang baik bagi junior, baik dalam hal akademis, moral, maupun sikap. Namun, dalam praktiknya, apa yang terjadi sering kali jauh dari ekspektasi. Senior justru menggunakan kedudukannya untuk memperlakukan junior secara sewenang-wenang. Perbedaan status yang dibangun berdasarkan lamanya waktu di institusi, membuat senior merasa berhak memberikan perintah yang tidak masuk akal, bahkan sering kali disertai dengan kekerasan.

Pada tahun 2019, misalnya, di sebuah perguruan tinggi di Indonesia, terjadi kasus kekerasan terhadap mahasiswa baru di mana seorang junior harus menjalani hukuman fisik yang berlebihan hanya karena kesalahan kecil yang tidak sepatutnya dihukum. Tindakan tersebut tentu tidak hanya mencederai fisik, tetapi juga mental korban. Kasus ini hanya salah satu dari banyak kasus kekerasan yang terjadi akibat sistem senioritas yang berlebihan.

Hierarki Tidak Sehat

Salah satu aspek paling berbahaya dari sistem senioritas adalah terciptanya hierarki yang tidak sehat di lingkungan pendidikan. Dalam proses belajar, setiap individu seharusnya memiliki kedudukan yang setara. Namun, dengan adanya senioritas, terjadi pembagian kekuasaan yang tidak seimbang. Senior sering kali merasa memiliki kendali atas junior hanya karena mereka lebih dulu memasuki lingkungan pendidikan tersebut. Ketidaksetaraan ini menciptakan ruang bagi perilaku dominan yang berujung pada kekerasan dan bullying.

Junior, di sisi lain, sering kali dipaksa untuk tunduk pada aturan-aturan tidak tertulis yang ditetapkan oleh senior. Mereka diwajibkan untuk mematuhi perintah-perintah yang, kadang kala, tidak masuk akal, dan jika melawan, mereka bisa menghadapi sanksi sosial seperti dikucilkan atau, yang lebih buruk lagi, mengalami kekerasan fisik. Tekanan ini membuat junior berada dalam posisi yang sangat rentan, di mana hak-hak mereka sebagai individu sering kali terabaikan.

Kekerasan Terselubung dengan Dalih Tradisi

Banyak institusi pendidikan, terutama yang memiliki tradisi kuat seperti sekolah berasrama atau perguruan tinggi dengan organisasi kemahasiswaan yang kuat, memiliki ritual tertentu yang melibatkan kekerasan fisik atau mental sebagai bagian dari "penerimaan" junior. Dalam beberapa kasus, kekerasan ini bahkan disamarkan sebagai proses pembentukan karakter atau penguatan mental. Sering kali, kekerasan ini terjadi selama masa orientasi mahasiswa baru atau kegiatan ekstrakurikuler.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip pendidikan yang mengedepankan pembelajaran, empati, dan pengembangan potensi diri. Kekerasan yang disamarkan dengan istilah "pembinaan mental" sebenarnya hanya memperburuk trauma mental yang dialami junior. Sebagai contoh, seorang siswa yang menjadi korban kekerasan di awal tahun ajarannya mungkin akan tumbuh dengan perasaan tidak aman, kehilangan kepercayaan diri, bahkan mengalami depresi.

Dalam laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2020, terdapat peningkatan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, sebagian besar berkaitan dengan budaya senioritas. Junior merasa tertekan dan takut melaporkan tindakan senior mereka karena khawatir akan konsekuensi sosial yang lebih besar, seperti dikucilkan atau bahkan mendapatkan kekerasan yang lebih parah. Budaya ini membentuk siklus kekerasan yang sulit dihentikan.

Pengaruh Buruk pada Senior

Budaya senioritas tidak hanya berdampak buruk pada junior. Senior yang terbiasa mendominasi junior juga mengalami kerusakan moral. Mereka dibentuk untuk berpikir bahwa otoritas hanya bisa diperoleh melalui paksaan, intimidasi, dan kekerasan, bukan melalui keteladanan atau prestasi. Hal ini merusak kepribadian mereka dan menciptakan pola pikir yang salah tentang bagaimana seharusnya kekuasaan dan penghormatan diperoleh.

Ketika kekerasan menjadi bagian dari tradisi yang terus berulang, senior secara tidak langsung diajarkan bahwa menggunakan kekerasan untuk mendapatkan rasa hormat adalah hal yang wajar. Padahal, rasa hormat yang didapat dari paksaan hanyalah semu, bukan penghormatan yang tulus. Akibatnya, ketika mereka masuk ke dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat, perilaku dominasi ini bisa terbawa dan berdampak pada relasi sosial yang lebih luas.

Peran Institusi dalam Melanggengkan Kekerasan

Salah satu alasan utama mengapa kekerasan berbasis senioritas sulit dihentikan adalah karena banyak institusi pendidikan yang secara tidak langsung membiarkan sistem ini berlangsung. Dalam beberapa kasus, pihak sekolah atau kampus menganggap hal ini sebagai "proses pendewasaan" dan menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi. Alih-alih menindak tegas tindakan kekerasan, institusi cenderung bersikap pasif dan hanya bertindak ketika sudah ada korban serius atau kasus mencuat ke media.

Padahal, peran institusi pendidikan sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi semua siswa. Institusi harus memastikan bahwa tidak ada bentuk kekerasan atau intimidasi yang terjadi, baik secara fisik maupun mental. Guru, dosen, dan staf lainnya harus lebih proaktif dalam memantau interaksi antara siswa dan mahasiswa, terutama pada kegiatan yang melibatkan junior dan senior. Selain itu, perlu ada regulasi yang jelas dan tegas untuk menangani kasus kekerasan.

Reformasi Sistem Senioritas

Sudah saatnya sistem senioritas di institusi pendidikan dihapuskan atau setidaknya direformasi secara signifikan. Sistem yang berfokus pada pembinaan melalui kekerasan dan intimidasi harus digantikan dengan sistem yang mendukung rasa saling menghormati, empati, dan kerja sama. Senior bisa tetap memainkan peran penting dalam membimbing junior, tetapi dengan pendekatan yang lebih positif dan konstruktif.

Institusi pendidikan juga perlu mengadakan program-program yang mengajarkan keterampilan kepemimpinan yang sehat bagi senior. Mereka harus diajarkan bahwa rasa hormat tidak bisa dipaksakan, melainkan diperoleh melalui keteladanan, sikap positif, dan prestasi. Selain itu, junior harus diberi ruang untuk berbicara dan melaporkan tindakan yang merugikan mereka tanpa rasa takut akan konsekuensi yang lebih buruk.

Kesimpulan

Sistem senioritas yang selama ini dianggap sebagai bagian dari tradisi institusi pendidikan sebenarnya lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat. Kekerasan yang sering kali lahir dari hubungan hierarkis ini merusak mentalitas junior, merusak karakter senior, dan menciptakan lingkungan yang tidak sehat di lembaga pendidikan. Jika kita ingin menciptakan generasi yang menghargai sesama, memiliki empati, dan mampu bekerja sama dengan baik, maka kekerasan dalam bentuk apa pun, termasuk yang disebabkan oleh senioritas, harus segera dihentikan. Institusi pendidikan harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan mendukung perkembangan setiap individu tanpa diskriminasi. Hanya dengan begitu, kita dapat membangun sistem pendidikan yang benar-benar mendidik, bukan yang merusak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun