Dalam laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2020, terdapat peningkatan kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, sebagian besar berkaitan dengan budaya senioritas. Junior merasa tertekan dan takut melaporkan tindakan senior mereka karena khawatir akan konsekuensi sosial yang lebih besar, seperti dikucilkan atau bahkan mendapatkan kekerasan yang lebih parah. Budaya ini membentuk siklus kekerasan yang sulit dihentikan.
Pengaruh Buruk pada Senior
Budaya senioritas tidak hanya berdampak buruk pada junior. Senior yang terbiasa mendominasi junior juga mengalami kerusakan moral. Mereka dibentuk untuk berpikir bahwa otoritas hanya bisa diperoleh melalui paksaan, intimidasi, dan kekerasan, bukan melalui keteladanan atau prestasi. Hal ini merusak kepribadian mereka dan menciptakan pola pikir yang salah tentang bagaimana seharusnya kekuasaan dan penghormatan diperoleh.
Ketika kekerasan menjadi bagian dari tradisi yang terus berulang, senior secara tidak langsung diajarkan bahwa menggunakan kekerasan untuk mendapatkan rasa hormat adalah hal yang wajar. Padahal, rasa hormat yang didapat dari paksaan hanyalah semu, bukan penghormatan yang tulus. Akibatnya, ketika mereka masuk ke dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat, perilaku dominasi ini bisa terbawa dan berdampak pada relasi sosial yang lebih luas.
Peran Institusi dalam Melanggengkan Kekerasan
Salah satu alasan utama mengapa kekerasan berbasis senioritas sulit dihentikan adalah karena banyak institusi pendidikan yang secara tidak langsung membiarkan sistem ini berlangsung. Dalam beberapa kasus, pihak sekolah atau kampus menganggap hal ini sebagai "proses pendewasaan" dan menutup mata terhadap kekerasan yang terjadi. Alih-alih menindak tegas tindakan kekerasan, institusi cenderung bersikap pasif dan hanya bertindak ketika sudah ada korban serius atau kasus mencuat ke media.
Padahal, peran institusi pendidikan sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi semua siswa. Institusi harus memastikan bahwa tidak ada bentuk kekerasan atau intimidasi yang terjadi, baik secara fisik maupun mental. Guru, dosen, dan staf lainnya harus lebih proaktif dalam memantau interaksi antara siswa dan mahasiswa, terutama pada kegiatan yang melibatkan junior dan senior. Selain itu, perlu ada regulasi yang jelas dan tegas untuk menangani kasus kekerasan.
Reformasi Sistem Senioritas
Sudah saatnya sistem senioritas di institusi pendidikan dihapuskan atau setidaknya direformasi secara signifikan. Sistem yang berfokus pada pembinaan melalui kekerasan dan intimidasi harus digantikan dengan sistem yang mendukung rasa saling menghormati, empati, dan kerja sama. Senior bisa tetap memainkan peran penting dalam membimbing junior, tetapi dengan pendekatan yang lebih positif dan konstruktif.
Institusi pendidikan juga perlu mengadakan program-program yang mengajarkan keterampilan kepemimpinan yang sehat bagi senior. Mereka harus diajarkan bahwa rasa hormat tidak bisa dipaksakan, melainkan diperoleh melalui keteladanan, sikap positif, dan prestasi. Selain itu, junior harus diberi ruang untuk berbicara dan melaporkan tindakan yang merugikan mereka tanpa rasa takut akan konsekuensi yang lebih buruk.
Kesimpulan