Stres yang tidak terkelola dengan baik sering kali berakhir pada ledakan amarah yang merugikan pasangan dan anak-anak. Selain itu, kurangnya dukungan psikologis dalam menangani masalah emosional juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Tidak semua orang memiliki akses atau kesadaran untuk mencari bantuan profesional dalam menghadapi tekanan mental, dan hal ini berkontribusi pada meningkatnya kasus KDRT.
Lemahnya Penegakan Hukum
Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak korban yang merasa tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari pihak berwajib, bahkan setelah melaporkan kekerasan yang mereka alami. Hal ini membuat korban, terutama perempuan, merasa tidak berdaya dan memilih untuk tetap diam daripada melapor.
Kasus seperti ini sering terjadi di masyarakat kita, di mana korban lebih memilih untuk bertahan dalam situasi yang penuh kekerasan karena takut tidak mendapatkan dukungan atau takut dihakimi oleh lingkungan sekitar. Ketakutan ini berakar dari pengalaman nyata korban-korban KDRT yang setelah melapor, justru kembali ke pelaku karena tidak ada solusi nyata yang diberikan oleh sistem hukum.
Dampak KDRT pada Anak-anak
Dampak KDRT tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang terlibat, tetapi juga oleh anak-anak yang menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan cenderung mengalami trauma yang mendalam, baik secara psikologis maupun emosional. Mereka mungkin mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan bisa meniru perilaku kekerasan di kemudian hari.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di lingkungan KDRT memiliki risiko lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku antisosial dan kriminal ketika mereka dewasa. Ini menunjukkan betapa pentingnya melindungi mereka dari lingkungan yang beracun, serta memberikan mereka dukungan psikologis untuk memproses trauma yang mereka alami.
Solusi yang Diperlukan
Untuk mengatasi maraknya KDRT, pendekatan yang komprehensif diperlukan. Pertama, edukasi tentang kesetaraan gender dan komunikasi yang sehat dalam pernikahan harus terus ditingkatkan. Kampanye kesadaran akan pentingnya hubungan yang saling menghargai harus menjadi agenda utama bagi pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Selain itu, edukasi tentang kesehatan mental juga perlu diperluas agar pasangan dapat lebih baik dalam mengelola stres dan emosi mereka.
Selain itu, penegakan hukum juga harus diperkuat. Aparat penegak hukum perlu lebih sigap dalam menangani laporan KDRT, memberikan perlindungan yang nyata bagi korban, dan memastikan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal. Proses hukum yang cepat dan tegas akan memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan rasa aman bagi korban untuk melapor.
Penting juga untuk menyediakan dukungan bagi korban KDRT melalui akses ke layanan psikologis dan perlindungan. Banyak korban yang merasa terjebak dalam situasi kekerasan karena tidak memiliki dukungan emosional maupun finansial untuk keluar dari hubungan yang berbahaya. Layanan seperti rumah aman, konseling, dan bantuan hukum gratis bagi korban KDRT perlu diperluas cakupannya.