Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kian marak menjadi topik perbincangan di masyarakat. Setiap harinya, kita disuguhkan berita yang mengungkap kasus KDRT, baik itu dalam lingkup keluarga biasa hingga selebriti yang kehidupan pribadinya terekspos di publik. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi sehingga kasus KDRT seolah terus meningkat? Mengapa banyak pasangan yang terjebak dalam lingkaran kekerasan, padahal rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang penuh kasih sayang dan kenyamanan?
KDRT bukanlah isu baru, namun lonjakan kasusnya di masa kini perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak pasangan yang mengalami kekerasan, baik fisik, verbal, psikologis, hingga seksual, namun memilih untuk diam karena berbagai alasan. Kekerasan ini sering kali tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga menghancurkan mental dan emosi korban. Fenomena KDRT ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena dampaknya bisa sangat serius, baik bagi korban maupun bagi anggota keluarga lainnya, seperti anak-anak.
Faktor Ekonomi sebagai Penyebab Utama
Salah satu faktor signifikan yang sering menjadi pemicu KDRT adalah masalah ekonomi. Pandemi COVID-19, misalnya, telah memukul banyak rumah tangga secara finansial. PHK, penurunan pendapatan, dan ketidakpastian ekonomi menambah tekanan yang luar biasa dalam rumah tangga. Di saat-saat seperti inilah, banyak individu yang melampiaskan stres mereka kepada pasangan dengan cara yang destruktif. Tekanan ekonomi yang berkepanjangan dapat memicu pertengkaran yang berujung pada kekerasan.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2021) menunjukkan bahwa keluarga dengan tekanan ekonomi tinggi memiliki risiko lebih besar mengalami konflik rumah tangga, termasuk KDRT. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, pasangan sering kali mengalami frustrasi yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kekerasan. Hal ini diperparah jika tidak ada keterampilan komunikasi yang baik untuk menyelesaikan konflik secara sehat.
Budaya Patriarki dan Ketimpangan Gender
Selain faktor ekonomi, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu akar masalah KDRT. Banyak yang masih menganggap bahwa laki-laki berhak "mengatur" atau bahkan mengendalikan pasangannya. Peran gender tradisional yang memberikan kekuasaan lebih pada laki-laki sering kali membuat perempuan berada dalam posisi yang rentan. Di beberapa daerah, perempuan yang mengalami KDRT enggan melapor karena takut akan stigma sosial, pandangan negatif, atau dianggap memalukan keluarga.
Menurut data dari Komnas Perempuan (2022), lebih dari 80% korban KDRT adalah perempuan. Data ini mencerminkan betapa rentannya perempuan dalam hubungan rumah tangga yang tidak setara. Di dalam banyak rumah tangga yang masih memegang teguh budaya patriarki, perempuan dipaksa untuk menerima kekerasan sebagai bagian dari "kewajiban" mereka dalam melayani suami. Kondisi ini membuat banyak korban merasa tidak memiliki jalan keluar, bahkan terperangkap dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan.
Minimnya Edukasi tentang Kesehatan Mental
Faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka KDRT adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Banyak pasangan yang tidak menyadari bahwa keseimbangan emosi dalam rumah tangga sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik yang berujung pada kekerasan. Dalam banyak kasus, masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik malah memicu kekerasan karena kurangnya kontrol emosi.