Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Akuntan - Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maraknya Kasus KDRT, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

1 Oktober 2024   16:51 Diperbarui: 1 Oktober 2024   17:29 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KDRT. Pixabay.com/Tumisu 

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kian marak menjadi topik perbincangan di masyarakat. Setiap harinya, kita disuguhkan berita yang mengungkap kasus KDRT, baik itu dalam lingkup keluarga biasa hingga selebriti yang kehidupan pribadinya terekspos di publik. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya terjadi sehingga kasus KDRT seolah terus meningkat? Mengapa banyak pasangan yang terjebak dalam lingkaran kekerasan, padahal rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang penuh kasih sayang dan kenyamanan?

KDRT bukanlah isu baru, namun lonjakan kasusnya di masa kini perlu mendapatkan perhatian serius. Banyak pasangan yang mengalami kekerasan, baik fisik, verbal, psikologis, hingga seksual, namun memilih untuk diam karena berbagai alasan. Kekerasan ini sering kali tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik, tetapi juga menghancurkan mental dan emosi korban. Fenomena KDRT ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena dampaknya bisa sangat serius, baik bagi korban maupun bagi anggota keluarga lainnya, seperti anak-anak.

Faktor Ekonomi sebagai Penyebab Utama

Salah satu faktor signifikan yang sering menjadi pemicu KDRT adalah masalah ekonomi. Pandemi COVID-19, misalnya, telah memukul banyak rumah tangga secara finansial. PHK, penurunan pendapatan, dan ketidakpastian ekonomi menambah tekanan yang luar biasa dalam rumah tangga. Di saat-saat seperti inilah, banyak individu yang melampiaskan stres mereka kepada pasangan dengan cara yang destruktif. Tekanan ekonomi yang berkepanjangan dapat memicu pertengkaran yang berujung pada kekerasan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Universitas Indonesia (2021) menunjukkan bahwa keluarga dengan tekanan ekonomi tinggi memiliki risiko lebih besar mengalami konflik rumah tangga, termasuk KDRT. Ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi, pasangan sering kali mengalami frustrasi yang kemudian diekspresikan dalam bentuk kekerasan. Hal ini diperparah jika tidak ada keterampilan komunikasi yang baik untuk menyelesaikan konflik secara sehat.

Budaya Patriarki dan Ketimpangan Gender

Selain faktor ekonomi, budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat Indonesia juga menjadi salah satu akar masalah KDRT. Banyak yang masih menganggap bahwa laki-laki berhak "mengatur" atau bahkan mengendalikan pasangannya. Peran gender tradisional yang memberikan kekuasaan lebih pada laki-laki sering kali membuat perempuan berada dalam posisi yang rentan. Di beberapa daerah, perempuan yang mengalami KDRT enggan melapor karena takut akan stigma sosial, pandangan negatif, atau dianggap memalukan keluarga.

Menurut data dari Komnas Perempuan (2022), lebih dari 80% korban KDRT adalah perempuan. Data ini mencerminkan betapa rentannya perempuan dalam hubungan rumah tangga yang tidak setara. Di dalam banyak rumah tangga yang masih memegang teguh budaya patriarki, perempuan dipaksa untuk menerima kekerasan sebagai bagian dari "kewajiban" mereka dalam melayani suami. Kondisi ini membuat banyak korban merasa tidak memiliki jalan keluar, bahkan terperangkap dalam hubungan yang penuh dengan kekerasan.

Minimnya Edukasi tentang Kesehatan Mental

Faktor lain yang mempengaruhi tingginya angka KDRT adalah kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Banyak pasangan yang tidak menyadari bahwa keseimbangan emosi dalam rumah tangga sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik yang berujung pada kekerasan. Dalam banyak kasus, masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan melalui komunikasi yang baik malah memicu kekerasan karena kurangnya kontrol emosi.

Stres yang tidak terkelola dengan baik sering kali berakhir pada ledakan amarah yang merugikan pasangan dan anak-anak. Selain itu, kurangnya dukungan psikologis dalam menangani masalah emosional juga menjadi faktor yang memperburuk situasi. Tidak semua orang memiliki akses atau kesadaran untuk mencari bantuan profesional dalam menghadapi tekanan mental, dan hal ini berkontribusi pada meningkatnya kasus KDRT.

Lemahnya Penegakan Hukum

Meskipun Indonesia sudah memiliki Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak korban yang merasa tidak mendapatkan perlindungan yang layak dari pihak berwajib, bahkan setelah melaporkan kekerasan yang mereka alami. Hal ini membuat korban, terutama perempuan, merasa tidak berdaya dan memilih untuk tetap diam daripada melapor.

Kasus seperti ini sering terjadi di masyarakat kita, di mana korban lebih memilih untuk bertahan dalam situasi yang penuh kekerasan karena takut tidak mendapatkan dukungan atau takut dihakimi oleh lingkungan sekitar. Ketakutan ini berakar dari pengalaman nyata korban-korban KDRT yang setelah melapor, justru kembali ke pelaku karena tidak ada solusi nyata yang diberikan oleh sistem hukum.

Dampak KDRT pada Anak-anak

Dampak KDRT tidak hanya dirasakan oleh pasangan yang terlibat, tetapi juga oleh anak-anak yang menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan penuh kekerasan cenderung mengalami trauma yang mendalam, baik secara psikologis maupun emosional. Mereka mungkin mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan bisa meniru perilaku kekerasan di kemudian hari.

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh di lingkungan KDRT memiliki risiko lebih tinggi untuk terlibat dalam perilaku antisosial dan kriminal ketika mereka dewasa. Ini menunjukkan betapa pentingnya melindungi mereka dari lingkungan yang beracun, serta memberikan mereka dukungan psikologis untuk memproses trauma yang mereka alami.

Solusi yang Diperlukan

Untuk mengatasi maraknya KDRT, pendekatan yang komprehensif diperlukan. Pertama, edukasi tentang kesetaraan gender dan komunikasi yang sehat dalam pernikahan harus terus ditingkatkan. Kampanye kesadaran akan pentingnya hubungan yang saling menghargai harus menjadi agenda utama bagi pemerintah dan organisasi non-pemerintah. Selain itu, edukasi tentang kesehatan mental juga perlu diperluas agar pasangan dapat lebih baik dalam mengelola stres dan emosi mereka.

Selain itu, penegakan hukum juga harus diperkuat. Aparat penegak hukum perlu lebih sigap dalam menangani laporan KDRT, memberikan perlindungan yang nyata bagi korban, dan memastikan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal. Proses hukum yang cepat dan tegas akan memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan rasa aman bagi korban untuk melapor.

Penting juga untuk menyediakan dukungan bagi korban KDRT melalui akses ke layanan psikologis dan perlindungan. Banyak korban yang merasa terjebak dalam situasi kekerasan karena tidak memiliki dukungan emosional maupun finansial untuk keluar dari hubungan yang berbahaya. Layanan seperti rumah aman, konseling, dan bantuan hukum gratis bagi korban KDRT perlu diperluas cakupannya.

Penutup

Maraknya kasus KDRT merupakan refleksi dari berbagai masalah yang saling terkait, mulai dari tekanan ekonomi, budaya patriarki, minimnya edukasi tentang kesehatan mental, hingga lemahnya penegakan hukum. Namun, masalah ini bukanlah sesuatu yang tidak bisa diatasi. Dengan kesadaran yang lebih luas, dukungan dari masyarakat, dan perbaikan dalam sistem hukum serta layanan sosial, kita bisa mencegah semakin bertambahnya korban KDRT.

Kamu juga memiliki peran penting dalam menciptakan perubahan. Dengan ikut menyebarkan informasi, mendukung kampanye kesetaraan gender, dan memberikan dukungan kepada korban, kita bisa bersama-sama membangun masyarakat yang lebih aman dan adil. Mari kita lawan KDRT dengan edukasi, empati, dan tindakan nyata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun