"Sejarah membuktikan bahwa semua bentuk pemerintahan diktator dan otoriter hanyalah sementara. Hanya demokrasi yang tidak sementara. Apa pun kekurangannya, belum ada sistem yang lebih unggul dari demokrasi."~Vladimir Puttin
Partisipasi Pemilih Indonesia
Pemilu merupakan mekanisme utama dan prasyarat konsensus nyata bagi demokrasi Indonesia saat ini, masih diadopsi dan dipertahankan.Â
Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, negara Indonesia memberikan ruang dan peluang terhadap para warga negara untuk terus aktif berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu (Pemerintahan dari, oleh, dan untuk Rakyat).
Secara essensial Demokrasi dapat diartikan sebagai government of the people, by the people, and for the people yang bermakna bahwa rakyat menempati posisi penting yang menentukan arah kebijakan negara.Â
Tentu untuk mencapai tujuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu harus mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang berkeadilan.
Jika ditilik lebih mendalam, sebenarnya penyelenggaraan Pemilu demokratis, merupakan sarana untuk menentukan figur dan arah kepemimpinan negara.
Pun, serta daerah dalam periode tertentu, memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan kepala daerah yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi yang sejalan berdasarkan Pancasila dan UUD Negara RI Tahun 1945.
Dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, selain figur peserta pemilihan yang bersaing meraih suara rakyat, menarik juga untuk mencermati tingkat partisipasi pemilih dalam suatu pemilihan.Â
Pemilih adalah warga negara indonesia yang memiliki hak suara dalam suatu pemilihan pemimpin. Jumlah pemilih yang hadir untuk memberikan suara pada hari pemilihan disebut sebagai tingkat partisipasi pemilih atau voters turn out.
Dilansir dari berita Kompas.com edisi terbitan 27 Mei 2019. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan hasil rekapitulasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Berdasarkan rekapitulasi tersebut, KPU menyatakan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 mencapai 81 persen.Â
Partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 meningkat dibandingkan pemilu sebelumnya. Jika dibandingkan tahun 2014, peningkatan angka partisipasi hampir 10 persen, dan partisipasi 81 persen di atas, melampaui target nasional dari KPU yang menargetkan partisipasi di angka 77,5 persen.
Sedangkan, menurut data yang dihimpun KPU, jumlah pemilih Pemilu pada tahun 2019 yang berada di dalam maupun luar negeri mencapai 199.987.870.Â
Sementara itu, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 158.012.506. Kemudian, untuk Presentase golput atau tidak memilih dalam pemilihan presidan pada 2019 menurun yakni 19,24 persen dari total PDT yakni 192,83 juta jiwa dibandingkan tahun 2014. Hal ini berdasarkan lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.Â
Sedangkan untuk data golput pada pileg 2019 justru lebih besar dibandingkan pilpres yakni 29,68 persen. Jumlah tersebut jugga juga naik dibandingkan tahun 2014.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy'ari optimistis partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 tercatat sebanyak 81,8 persen atau meningkat 4,3 persen dari angka partisipasi yang ditargetkan sekitar 77,5 persen.
Begitu pula pilkada serentak pada 9 Desember 2020 angka partisipasi pemilih tergolong tinggi, yakni 76 persen, padahal dilaksanakan di tengah situasi pandemi COVID-19 di Tanah Air.Â
Bahkan partisipasi pemilih pada Pilkada serentak tahun 2020 termasuk tertinggi di dunia dibanding pemilu yang dilakukan di Amerika Serikat dan Korea Selatan.Â
Apalagi, menurut Hasyim, tahun 2024 akan dicatat sebagai bagian dari sejarah bangsa Indonesia karena untuk pertama kalinya dilakukan pemilu serentak pada 14 Februari 2024.
Tak khayal melihat  partisipasi pemilih di tahun 2019, kedepanya akan mengalami peningkatan lebih besar pada Pemilu mendatang pada tahun 2024.Â
Semakin meningkatnya partisipasi pemilih pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan kepala daerah, diharapkan juga menjadi pertanda baik bahwa tingkat kedewasaan politik masyarakat dan antusiasme masyarakat dalam partisipasi politik di Pemilu serentak 2024 akan meningkat pesat, tidak hanya melalui kehadiran pada hari pemungutan suara saja (elektoral).Â
Melainkan juga (secara subtantif) masyarakat ikut aktif dalam penyusunan kebijakan penyelenggaran Pemerintahan, maupun Keputusan-keputusan yang tentu mengakomodir kepentingan rakyat bangsa Indonesia.
Pada 2024 mendatang, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pemilihan anggota legislatif, serta pemilihan kepala daerah.Â
Pemilu digelar pada 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) RI, dewan perwakilan daerah (DPD) RI, serta dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Sementara, pilkada digelar pada 27 November 2024.Â
Melalui gelaran pilkada, akan dipilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh Indonesia.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan pemilu diatur dalam Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Sebelumnya pemilu terakhir digelar pada 2019. Artinya, pemilu selanjutnya harus diselenggarakan pada 2024.
Sementara, ketentuan mengenai pilkada digelar serentak di 2024 diatur melalui Pasal 201 Ayat (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Rpublik Indonesia (NKRI).
Pemilu dan Kontribus Millenial
Kompleksitas pemilu yang sedemikian rupa turut memberikan pengaruh besar terhadap tingkat partisipasi politik masyarakat terhadap pemilu itu sendiri dan berujung pada apatisme politik masyarakat.
Apatispe politik dapat berupa ketidaktertarikan terhadap politik, ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan ketidakmauan berpartisipasi dalam politik.Â
Hal ini dapat terjadi, karenakan salah satunya terjadinya kesenjangan antara elit politik dan masyarakat dan distorsi kepentingan manakala kebijakan politik tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.
Perlu diketahui, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) adalah lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
Bawaslu sebagai Lembaga penyelenggara Pemilu mempunyai keterbatasan dalam mengawasi seluruh tahapan pemilu atau pilkada.
Maka dari itu Bawaslu membuat beberapa programunggulan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu yakni Gowaslu, Pengelolaan Media Sosial, Forum Warga Pengawasan Pemilu, Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu, Satuan Karya Pramuka (Saka) Adhyasta Pemilu, Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu, Pojok Pengawasan, dan Sekolah Kader Pengawas Partisipatif.
Program  Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP), merupakan sebuah sarana Pendidikan yang disediakan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memfasilitasi masyarakat umum agar dapat terlibat dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu serentak. SKPP adalah gerakan bersama.
Pada prinsip pengawasan partisipatif yang digaungkan pengawas pemilu adalah masyarakat tidak hanya berperan pada peningkatan persentase kehadiran saat pencoblosan saja, tetapi lebih mengarah pada pengawalan proses pemilihan sejak awal.
Apalagi melihat realitas, ternyata Indikator keberhasilan pengawasan pemilu juga tidak lagi ditentukan seberapa banyak temuan pelanggaran dan tindak lanjutnya oleh lembaga pengawas pemilu, melainkan lebih pada seberapa efektif upaya pencegahan pelanggaran pemilu dapat dilakukan lembaga pengawas pemilu.Â
Oleh karena itu diperlukan adanya sinergi pengawasan partisipatif antara Bawaslu dengan masyarakat. Pengawasan partisipatif tentu tidak semata dipahami sekedar mengawasi proses pemilu akan tetapi juga merupakan bagian kerja yang bersifat ideologis dan menekankan pengabdian dan kerelawanan.Â
Melawan Politik uang, Menolak Politisasi Sara, Hoaks dan ujaran kebencian hanya dapat dilakukan apabila ada sinergisitas antara pengawas pemilu dengan masyarakat. Memenangkan pemilu yang berkualitas menjadi tuntutan dan tanggung jawab bersama.
Kader Penggerak Pengawasan Partisipatif yang nantinya telah menjalani proses pendidikan dan pelatihan diharapkan mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi pemilu.Â
Setiap kader pun tentunya mampu meneruskan kaderisasi pengawasan partisipatif dalam setiap komunitas basis masyarakat. Membangun kesadaran masyarakat dan membangun kepercayaan bahwa Pemilu berkualitas akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang berintegritas.
Melihat ingatan bersejarah, Bung Karno pernah berkata,Â
"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut (Gunung) Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."
Secara essensial, ucapan dari Bung Karno di atas, memberi pesan mendala, betapa pentingnya kiprah para pemuda dalam pembangunan Bangsa Indonesia.Â
Upaya melibatkan Generasi Millineal, yang saat ini dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia untuk bersama mengawal proses demokras, merupakan  perwujudan nyata dalam menjalankan amanat Pasal 131 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, melalui sosialisasi, Bawaslu menginginkan ada peningkatan peran masyarakat, khususnya generasi pemuda dalam mengawal dan mengawasi Pemilu, dan menjadi garda terdepan dalam memberikan pencerahan serta pemahaman terhadap masyarakat secara langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H