"Aaaaa....!!!" Â Sialnya gadis itu terbangun dan membuka matanya saat wajah Boma sedang begitu lekat dengan gambaran paling dekat di bola mata sang gadis. Sontak saja gadis itu kaget setengah mati mendapati sosok wajah asing menguasai sudut pandang kesadarannya mula-mula begitu dekat sekali bersamaan ingatan terakhirnya berkelebat saat jatuh di ketinggian yang membuatnya ngeri seketika terbayang-bayang rona tragedi terjun bebasnya.
"Dok nerede..?! (Di mana ini...?!)" teriak gadis itu gusar sambil celingak-celinguk kebingungan memandang ke segala arah dengan tatapan nanar. Boma berusaha menenangkannya sambil mencoba menjelaskan duduk perkaranya. Sementara bersamaan dengan itu, dua orang dari luar ruangan kamar itu segera masuk bersama-sama mendengar teriakan dari dalam ruangan kamar, seorang gadis kecil dan seorang kakek datang menerjang. Dengan kemunculan kedua orang itu, sang gadis akhirnya menjadi tenang perlahan-lahan dengan tatapannya masih sebal  dan curiga terhadap Boma yang membuatnya menjadi celaka. Persis seperti tingkah  galak dan pandangan curiga Aosagi terhadapnya saat menjaga jaraknya dari Boma saat bertemu.
***
"Hahaha.... should I'am also slap you a while ago, right?hahaha... (Hahaha... seharusnya aku juga tampar kamu tadi ya? hahaha...)" Tiba-tiba Muze kembali membuyarkan jalan cerita Boma dengan tertawa lebih kencang dan terpingkal-pingkal.
"Hahaha... bad luck, probably you very like with my calamity...?! (Hahaha...sial, rupanya kau begitu senang dengan kemalanganku...?!)" Boma menghentikan ceritanya dan ikut tertawa malu sambil mencubit pelan lengan Muze tanpa sadar saking gregetannya antara rasa humor dan mangsyul mengaduk-aduk perasaannya bercengkrama. Muze pun menjadi pongah merasakan jemari Boma mengigitnya dan berujar pada Boma.
"Aih..aih.. and you want avenge she slap with your finger become red ant or mosquito hungry in my hand...? (Aih... aih... dan kau ingin membalas tamparannya dengan jemarimu menjadi semut merah atau nyamuk lapar di lenganku...?)" Muze melirik Boma dengan tatapan menggoda. Boma yang akhirnya tersadar dengan khilaf  jamahannya itu pun kembali kikuk meminta maaf yang akhirnya membuat mereka kembali tertawa bersama-sama. Sepertinya keakraban mulai terjalin di antara mereka tanpa terasa melalui siang meradang dengan panas teriknya itu.
***
Ternyata sampai tiga hari gadis yang ditabrak Boma tidak kunjung siuman juga. Selama itu Boma harus menunda kepulangannya walau adiknya mengijinkannya meninggalkan mereka. Namun Boma tidak enak hati karena telah menyusahkan mereka. Sebab, apa yang dibawa sang gadis saat bertabrakan dengan Boma adalah salah satu sumber  mata pencaharian mereka. Saat itu, kebun jeruk yang mereka garap sedang dalam masa panen dan sang gadis hendak menjualkan sebagai kecil yang sudah mereka panen untuk ditukar dengan kebutuhan harian mereka.
Sambil bergantian dengan sang adik menunggui kesiuman kakaknya itu, Boma juga ikut menyelesaikan pemanenan mereka yang telah yatim-piatu dan cuma berdua saja mereka selama ini menjalani kehidupan itu. Keberadaan Boma ternyata cukup membantu untuk lebih cepat dari biasanya mereka memanen dan menjualnya ke pasar serta ke tempat lain yang membutuhkannya. Selama proses itu, Boma tinggal di rumah seorang  Kakek yang bernama Kemal Cekim. Ia mendapat banyak cerita darinya mengenai sejarah sang gadis dan adiknya itu. Hampir setiap malam, Boma begadang dibuatnya dan akhirnya menghabiskan cuti tahunannya itu di sana hingga kondisi sang gadis itu mulai membaik seperti sedia kala.
Akhirnya diketahuinya bahwa gadis yang tertabrak Boma bernama Turuncu Narenciye dan sang adik yang masih gadis kecil itu bernama Turuncu Limonata. Mereka berjarak usia sekitar dua belas tahun dan bukanlah kakak-adik kandung yang sebenarnya. Kebun itu merupakan tanah keluarga Ayah angkat Narenciye dan Kemal Cekim adalah kakak dari Ayah angkat Narenciye dan Limonata. Narenciye yang masih baru berumur beberapa bulan ditemukan tergeletak di bawah pepohonan jeruk Citrus menjelang senja saat kedua orang tua angkat mereka mengungsi dari daerah danau Van ketika terjadi kerusuhan antara pihak aparat dengan etnis Kurdi di wilayah tersebut.
Mereka pun akhirnya menetap di dekat danau Sapanca dan berbagi penggarapan kebun dengan kakek Kemal yang beralih ke pengadaan ternak sambil membesarkan bayi yang mereka temukan itu seperti anak mereka sendiri. Karena pada saat itu mereka pasangan setengah baya yang telah kehilangan anak mereka seperti kakaknya Kemal yang juga kehilangan seluruh keluarganya dalam prahara kaum proletar dengan borjuis . Mereka pun memberinya nama Turuncu Narenciye. Ia tumbuh menjadi gadis periang dan lemah-lembut.
Dua belas tahun pun berlalu, dan sosial-politik  Turki kembali bergolak hebat ditandai oleh perseteruan gerakan satir dan separatis antara perlawanan kaum proletar melawan kaum borjuis. Wilayah pegunungan Ararat di tenggara Turki kembali ramai oleh raungan gerakan militansi. Sementara di Sakarya pun tidak luput dari tragedi, para mafia berdasi mulai ber-egosiasi menyusupi birokrasi dan mengekspansi ambisi mereka pada wilayah tersebut. Pada masa kekacauan itu, mereka dikagetkan oleh kegaduhan di tengah malam. Ayah angkat Narenciye pun bergegas keluar menyelidiki sambil membawa senjata, sementara Narenciye yang ikut terjaga pun mengintip dari balik tirai jendela sambil didekap oleh ibu angkatnya.
Ayah angkat Narenciye mendapati sosok sepasang pria dan wanita dari arah suara deru mesin mobil yang di matikan. Kemudian tampak mereka berinteraksi cukup lama dengan akhirnya Ayah angkat Narenciye membawa sesosok bayi mungil yang sedang tertidur dalam gulungan kain lampin. Ia meminta Ibu angkat Narenciye untuk membawanya ke dalam rumah, kemudian ia kembali lagi keluar menuju arah yang sama. Tak lama kemudian keramaian kembali terjadi, sepasukan aparat mengepung tempat mereka tinggal. Warga sekitar mereka pun mulai terjaga dari kegaduhan ini dengan lampu-lampu rumah mereka mulai menyala dengan tirai-tirai jendela yang disingkap.
Ayah angkat Narenciye kemudian ditangkap dan dituduh berkomplot dengan orang-orang yang baru saja ditemuinya itu yang ternyata tewas saat ayah Narenciye kembali menemui mereka. Ibu angkatnya yang ketakutan itu menyuruh Narenciye mengamankan bayi itu di tempat yang tersembunyi. Sementara Ibu angkatnya bergegas menemui rombongan aparat lain yang mulai menggedor pintu rumah dan kemudian menginterogasi  mereka. Ibu angkat Narenciye berusaha menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, namun tetap saja rombongan aparat membawanya ke markas mereka. Hari berikutnya hingga kini tidak pernah lagi ada kabar  bagaimana dan di mana Ayah angkat Narenciye. Sampai akhir hayatnya, Ibu angkat Narenciye berusaha mencari informasi melalui pihak aparat terdekat hingga yang terjauh disambanginhya tetap sia-sia saja keberadaan suaminya menghilang bagaikan ditelan Bumi. Sejak saat itu juga keriangan Narenciye pudar.
Bayi yang malang itu kemudian diberi nama Turuncu Limonata, karena bayi itu tertawa riang  meraih segelas limun Narenciye dengan wajah bersemu jingga saat Narenciye sedang membantu  sang Ibu angkat menyajikan sirup Limun dan iseng menawarkan bayi itu dari segelas sirup limun yang dipegangnya. Walaupun mencoba terhibur  ditambah kehadiran Limonata meramaikan kehidupannya, tetap saja ia masih belum rela kehilangan suaminya dan selalu merindukannya.
Narenciye yang terkadang mendapati Ibu angkatnya murung saat sedang sendirian pun tidak berhasil menghilangkan rasa gundah-gulananya. Hingga akhirnya tiga tahun sebelum Boma bertemu mereka, sang Ibu angkat mengakhiri hayatnya saat segerombolan mafia mencegat mereka di Danau Sapanca. Sang Ibu angkat terjungkal ke dalam danau dan tewas berlumuran darah saat berusaha menahan salah seorang  penyerang. Sementara Narenciye disuruh bergegas melarikan diri bersama Limonata ke tempat yang aman. Beruntunglah, tidak lama kemudian beberapa warga yang melewati tempat itu menghalau mereka dan memberitahukan kepada pihak yang berwajib.
Entah apa yang membuat Narenciye dan keluarganya itu diserang, karena akhirnya gerombolan itu tidak pernah tertangkap dan diadili setelah mereka melarikan diri dari kepungan warga yang membawa pihak aparat. Nasib naas kembali menimpa Narenciye dan Limonata, mereka menjadi yatim-piatu tanpa kejelasan status de-jure, karena mereka memiliki orang tua angkat itu hanya secara de facto saja dari keadaan genting yang menimpa mereka. Selanjutnya mereka hidup dalam pengawasan kakek Kemal, kakak Ayah angkat mereka. Satu tahun pun berlalu sampai kedatangan Boma ke Danau Sapanca dan menubruk Narenciye.
***
Entah hanya rasa bersalah atau memang ada perihal lainnya untuk Boma kembali menjejakkan kakinya di area Danau Sapanca, khususnya ke tempat Turuncu bersaudara dan kakek Kemal berada. Ia mendapati halaman depan nampak begitu lengang dan sunyi, namun ia tetap memantapkan diri mengetuk pintu rumah tempat Turuncu bersaudara tinggal. Cukup lama ia menunggu respon dari dalam, akan tetapi belum juga sesuai harapannya untuk seseorang membukakan pintu. Hampir saja ia meninggalkan begitu saja tempat itu kalau tidak mendengar suara teriakan di kejauhan yang sepertinya berasal dari belakang rumah tersebut, yaitu halaman belakang yang merupakan hamparan kebun jeruk keluarga Turuncu.
"Aahhh dede... baksana, naylon torba uurmak var...yeeeaa...!! (Aahhh kakek...lihat, ada tas plastik terbang...yeeeaa...!!)" seru suara riang itu di kejauhan dan tidak terlihat dari lokasi Boma berada.
Boma mengenali betul si pemilik suara itu, Turuncu Limonata. Sepertinya para penghuni rumah itu dari tadi sedang berada jauh di belakang rumah sehingga tidak mendengar ketukan pintunya. Ia pun segera berbalik dan mengitari samping rumah itu menuju ke kebun belakang. Benar saja, begitu ia mengintip dari sudut siku tembok rumah tertampaklah sosok Mona sedang bermain dengan kantong plastik serta Kakek Kemal yang tersenyum simpul melihat tingkahnya dengan masing-masing sekeranjang berisi buah dan sayur-mayur di samping bawah mereka. Mereka sepertinya baru saja selesai memetik hasil kebun belakang rumah.
"Selam  Mona tatl ve dede Kemal, Naslsnz ...? (Hai Mona manis dan Kakek Kemal, apa kabar kalian semua...?)" sapa Boma yang akhirnya menyambangi mereka dan keluardari persembunyiannya. Kedua orang itu pun terkejut dan menoleh dengan Mona lebih terdepan untuk meresponnya.
"Aahh... abi Boma...?! (Aahhh... kakak Boma...?!)" seru Mona girang sambil berlarian menyambut langkah Boma yang kemudian menggendong kedua bagian ketiak Mona dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke angkasa. Sementara Kakek Kemal dengan gaya samtainya menyambut Boma di kejauhan sambil melambaikan tangannya sambil tersenyum kemudian mengganggukkan kepalanya.
"Aih Mona...bu Sen kilo alma... (Aih Mona... tambah berat saja kamu ini...)" ujar Boma sambil mencubit gemas pipi Mona yang mulai gembul. Mona tertawa riang sambil membalas dengan memain-mainkan pipi Boma.
"Abi Boma uralarda uzun zaman ...? Â (Kakak Boma sudah lama di sini...?)" tanya Mona sambil tersenyum meringis menampilkan gigi jagungnya yang imut. Sementara Boma memindahkan letak gendongan Mona ke sisi sebaliknya.
"Yeni olarak, bir iki defa Ben tahmin etmek hibir ey insanlar sonra vurmak eletiri kap. Aniden durmak abi arkan dn...ancak duymak ses Mona barmak, evet... arama abi nereye Mona gizlemek... (Baru saja, saya kira tidak ada orang setelah mengetuk pintu beberapa kali. Hampir saja kakak langsung pulang... tapi dengar suara Mona teriak-teriak, ya... kakak cari nih di mana si Mona ngumpetnya....)" ujar Boma kembali menjawili pipi Mona dengan tangan yang satunya.
"Eh Abi, Ben gizlemek deil... yeni olarak Ben ile dede Kemal  iinde bahe arma sebzeler ve meyveler...  (Eh kakak...aku tidak ngumpet... aku baru saja memetik sayur-mayur dan buah-buahan di kebun bersama kakek Kemal...)" ujar Mona membela diri sambil memalu-malu pundak Boma dengan kepalan tangannya. Ia kemudian menunjukkan pada Boma hasil jerih payahnya di keranjang.
"Gzelce, Sen gerekten harika... zira nerede Sen abla, neden kadn katlmak deil ...? Â (Wah, kamu benar-benar hebat... lalu mana kakakmu, kenapa dia tidak ikut..?)" tanya Boma sambil tersenyum memuji Mona sambil menelisik sosok yang tidak hadir di hadapannya.
"Ne kadn  henz rahatsz...? (Apa dia masih sakit...?)" tanya Boma kembali dengan perasaan was-was.
Boma merasa sedikit lega begitu Mona menggelengkan kepalanya. Mona memberitahunya bahwa Narenciye dalam kondisi baik dan kini sedang bepergian ke pasar. Hari libur sekolah dimanfaatkan oleh mereka untuk menyelesaikan hasil panen yang masih tersisa. Mona pun kemudian mengajak Boma untuk bergabung dengan Kakek Kemal yang sudah mulai menepi ke sebuah pohon rindang di sudut halaman sambil membawa keranjang bagiannya.
Mona kemudian menawarkan minum dan makan pada Boma yang berusaha menolaknya. Tapi Mona terus memaksanya sambil beralasan bahwa ia dan Kakek Kemal pun belum turun minum selama berada di kebun, jadi ia ingin mengajak Boma untuk bergabung dan beristirahat bersama mereka. Ditambah lagi Mona meronta-ronta minta diturunkan dari gendongan Boma yang akhirnya melepaskannya perlahan-lahan. Begitu lepas dari dekapan Boma, gadis kecil itu pun langsung melesat berlarian menuju dapur rumahnya. Sementara Boma terus melangkahkan kakinya mendekati Kakel Kemal sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kepergian Mona yang kemudian menghilang di balik pintu.
"Naslsnz dede...? (Bagaimana kabar kakek...?)" ulang Boma sambil mengulurkan tangannya setelah saling berhadapan dengan Kakek Kemal.
"Ben iyiyim...hey gen, ne Sen balama ile Narenciye iekli ?  (Baik... Hai anak muda, bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Narenciye?)" tanya Kakek Kemal setelah mereka saling berjabat tangan.
"Eh, ne dede ama...?  (Eh, apa maksud kakek...?)" tanya Boma sambil  duduk bersama kakek Kemal di bawah rerimbunan pohon Maple di pinggiran kebun jeruk di pekarangan belakang rumah keluarga Narenciye. Saat itu Limonata sedang masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan suguhan pada mereka, sementara Narenciye sedang keluar rumah. Cuaca hari itu sedang terik sekali.
"Lha...o zamana kadar Sen icin  ile kadn uralarda yatl almamak ayrlmak... belli vardr bir ey ki...ehem...ehem...? (Lha sampai pada waktu itu kau menghabiskan cutimu untuk bercengkrama dengan dia di sini... pasti ada sesuatu yang...ehem..ehem..?)" celetuk kakek Kemal berdehem menggoda sambil menyikut lirih pinggang Boma.
"Ah...bu Dede baka bir ey aka yapmak, Ben ile Narenciye yalnzca. Ayrca, Ben de pot krma kadar sramasna kadn ve baygn boyunca gnlk ... bu yzden Ben kt duygu hzla ekmek kadn... (Ah... kakek ini bisa saja bercandanya, saya tidak ada apa-apa kok dengan Narenciye. Lagipula, saya juga membuat kesalahan sehingga menceburkan dia dan pingsan selama tiga hari... jadi saya tidak enak langsung meninggalkannya...)" bela Boma sambil mendorong ke arah sebaliknya sikutan kakek Kemal dan berusaha bersikap pura-pura tidak tahu maksudnya. Â
"Eh, gen duymak...bu Ben yallk ve bilmeyen ne zaman lm dei gelmek. yle, belki eskiden olmak... belki Ben istemek hela grmce Narenciye var hayat arkada. Grmek, imdi zellikle kadn sonra ykseltmek ergin. En nemli ey hakknda kadn sonra Ben syleme sana ve Ben mutluluklar Sen olacak elemek ile kadn... (Eh, dengar nak... aku ini sudah tua dan tidak tahu kapan ajalku datang. Maka, setidaknya sebelum terjadi... setidaknya aku ingin dapat melihat Narenciye memiliki pendamping hidup. Nah, apalagi sekarang dia sudah beranjak dewasa. Semua hal tentang dia sudah kuceritakan padamu dan aku merestuimu jika kau mau bersanding dengannya...)" Kakek Kemal berusaha mencomblangi Boma dengan bujuk-restunya.
"Ve karlalmasna Sen bilmek gen, sonra Sen geriye gitme... Ben eletirmek ile Narenciye hakknda Sen.. (Dan perlu kamu tahu nak, setelah kamu pulang... aku berdiskusi dengan Narenciye mengenaimu...)" tukas kakek Kemal lebih lanjut yang membuat darah Boma seperti tersirap naik dan membuatnya hampir terkejut setengah mati.
"Eh, Ben...? (Eh, aku...?)" tanggap Boma terheran-heran sambil menunjuk jari tangan ke arah dadanya. Kakek Kemal mengangguk-angguk sambil tersenyum dan mulai mengutarakan diskusi itu.
Boma mulai dirasuki pikiran tidak karuan, bagaimana tidak... kata-kata Kakek Kemal barusan seperti membuatnya bagaikan tersengat listrik 10.000 volt. Apa gerangan mereka ini, maksud kedatangannya hanya ingin menengok saja seperti menjadi suatu pertambahan suprising lain terselubung menantinya. Apalagi ia baru bertemu dan bercengkrama dengan mereka beberapa waktu lalu akibat kecerobohannya. Percandaan yang sepertinya menjadi tidak sekedar bercanda saja, lebih seperti interogasi tuyul...antara ada dan tiada yang masih samar-samar chemistry-nya. Seperti mensugesti halus secara pokok yang terkesan memburu dan mendesak.
***
"Eh...?" Boma terjaga dari tidur nyenyak dan terhenyak melihat Narenciye tergolek di tempat tidur yang sama dengannya sambil salah satu lengan tergenggam olehnya dan meninggalkan bekas rona merah cap jari tangannya. Kepalanya masih terasa agak berat dan pening ditambah lagi kelopak matanya yang sayu oleh gumpalan ketep. Ia pun mengusap-usap kedua kelopak matanya dan mulai memperhatikan sekitar ruangannya berada. Pandangannya terhenti ketika bertemu keanehan daun pintu yang mulai bergerak membuka. Munculah sosok mungil wajah si Mona yang nongol sambil tersenyum yang kali ini lebih terkesan bermisteri daripada kejenakaaannya. Kemudian ia menghambur ke arah Boma yang masih di atas kasur.
"Evet oyu Abi sonra yataktan kalkmak, istemek Ben iki  getirmek...? (Kakak sudah bangun ya, mau aku bawakan minum...?" tanya Mona dengan lugunya sambil tersenyum sumringah.
"Sssttt...yapamaz byk sylemek... (Sssttt... jangan keras-keras...)" bisik Boma sambil mengatupkan telunjuknya dan memajukan bibirnya, sementara tangan lainnya menunjuk ke arah Narenciye yang masih tertidur pulas.
"Hadi... biz dnda srf konumak... (Ayo...kita bicara di luar saja...)" sahut Boma masih dalam keadaan berbisik dan beranjak pelan-pelan dari tempat tidur lalu mengamit sebelah lengan Mona menuju ke luar ruangan. Mereka pun kemudian menuju ke teras belakang rumah disambut belaian lembut angin pagi.
Boma yang masih merasa linglung itu kemudian duduk di teras dengan memangku Mona di kedua pahanya sementara kedua telapak kakinya menggantung dari tanah yang lebih rendah dari teras yang ia duduki. Sambil memantapkan posisi duduk nyamannya, ia mulai menanyakan Mona pada keadaan dan suasana yang tertinggal dari memorinya itu pelan-pelan. Ia benar-benar tidak ingat bagaimana ia bisa tertidur di rumah Turuncu bersaudara ditambah lagi Narenciye turut tidur disampingnya. Namun, sepertinya Mona tidak memberitahukannya begitu saja dengan mengalihkan pikirannya atas permintaannya itu sambil mengeluarkan sekantung plastik dari saku gaunnya. Ia menanyakan pada Boma apakah plastik itu bisa membawanya terbang bersama ke angkasa. Boma tersenyum mendengarnya lalu mengajak Mona untuk bereksperimen dengan plastik itu. Bahan pendukung pun dikumpulkan.
Kini, Mona berteriak kegirangan sambil berloncat-loncatan dan melambaikan kedua tangannya ke atas ketika balon plastik buatan mereka mulai membumbung ke angkasa lebih tinggi dari bumbungan plastik yang ditiup angin ketika Boma datang kemarin. Boma pun ikut tersenyum lega sambil berjongkok dan menawarkan Mona naik di kedua pundaknya. Mona menyambutkan sambil menaiki kedua pundak Boma dan mengulangi lambaian tangannya memandang kepergian balon plastik itu sambil kedua kakinya di tahan oleh Boma yang kemudian membawanya berlarian mengitari sisi lapang belakang rumah mengikuti arah terbang balon plastik itu. Di antara peristiwa itu, tidak tertampak oleh mereka beberapa sosok yang sedang mengawasi penuh arti dari balik tirai jendela serta rerimbunan tanaman jeruk yang berdekatan dengan area tersebut. Perlahan, takdir Boma mulai terikat dengan mereka.
***
"Hey... give us places, move out...!! (Hei... beri kami tempat, menyingkirlah...!!)"
Suatu ketika di tempat Boma bekerja diributkan oleh sekelompok orang-orang berperawakan sangar dan garang meminta tempat duduk bagi mereka dengan paksa. Memang, saat itu kondisi di tempat itu sedang ramai oleh para konsumen yang memadati ruangan bagian dalam gedung bahkan di bagian luar ruang dengan tenda terbuka pun penuh pengunjung dalam waktu yang bersamaan. Mereka menembakkan senjata laras pendek ke udara untuk mengusir dan bahkan ada yang menendangi para konsumen Boma yang tidak segera beranjak dari situ.
Boma yang sedang berada di ruang lain pun mendengar kegaduhan dari ruang depan itu. baru saja ia hendak mencari tahu gerangannya, salah seorang bartender yang sedang bertugas menghampirinya dan memberitahu perihal yang terjadi. Ternyata ada segerombolan calon konsumen yang menempati ruangan dengan paksa dan meminta bon untuk hak komsumsi mereka. Bersamanya, Boma pun bergegas menyambangi tempat kejadian perkara. Didapatinya ruangan konsumen itu kini penuh dengan orang-orang berpenampilan sangar dan seragam mendominasi tempat itu. Kemudian Boma mendekati beberapa di antara mereka yang sedang berada di meja lobi sambil berteriak-teriak memaki karyawan lainnya yang sedang menghadapi mereka.
" You unknow we...haaah...?!!" (Kalian tidak tahu kami....haaah..?!!)
"This we exclusively customer to you...servicing we by good...!! (Kami ini pelanggan terhormat kalian...layani kami dengan baik...!!)" bentak mereka hendak melayangkan tinju dan tendangan pada para karyawan yang semakin pucat dan berusaha menahan diri, namun keburu dicegah Boma yang segera menyeruak menengahi.
" Ah excuse me...before I'm sorry for coming late, help Mister's calm please... (Ah permisi...sebelumnya saya minta maaf karena datang terlambat, tolong tuan-tuan harap tenang...)" tukas Boma menengahi.
"How calm this your, what is your...?! (Tenang bagaimana kau ini, siapa kau...?!)" bentak salah seorang dari mereka yang kini mulai mengalihkan semua pandangan ke arah Boma.
" Ah I'm Boma... if you are right customer, please pardon we because we all it is offical's employeed mutation which new... so be understanding of situation if we not yet including to know Mister's. Please times of legal action continued... (Ah saya Boma... jika anda memang pelanggan, kami mohon maaf karena kami semua ini adalah karyawan mutasi yang baru... jadi harap maklum jika kami belum mengingat anda semua. Mohon waktunya untuk proses lebih lanjut...)" ucap Boma sopan sambil mengatupkan kedua tangannya sambil membungkuk meminta maaf.
"Bah...way motive this what...where is your manager...?! (Bah...alasan macam apa ini...mana manajer kalian...?!!)" bentak salah satu dari mereka semakin kencang menggelontorkan urat-urat lehernya untuk berteriak.
Sementara di antara keributan itu muncul seseorang yang baru turun dari mobil limusin hitam mengkilap dan berjalan dari pintu masuk menuju mereka dengan keangkuhan yang dibuat seelegan mungkin. Di sebelah kanan dan kirinya terdapat dua lelaki tinggi besar nan kekar yang berjalan seirama mengikutinya. Kemudian ia berdiri di antara Boma dan para pemaki-maki itu. Ia memandangi kami semua secara bergantian sambil menyulut rokoknya.
"Hey,what have this...audibility very uproar from outdoor. Who have various with our? (Hei, ada apa ini... kedengarannya berisik sekali dari luar. Apa ada yang macam-macam dengan kita?)" tanya orang itu sambil menghembuskan asap rokok yang telah ia sedot ke udara. Kepulan asap rokoknya pun mengepungi keberadaan mereka di situ seketika.
"Ah this Sir, they will not processing for our like customary... they are all new employee's. (Ah ini tuan, mereka tidak mau memproses kita seperti biasanya... mereka semua orang baru.)" Tukas salah seorang pemaki tadi sambil memainkan gaya tangan dalam penjelasan.
"Hahaha.... very smart those manager... then you now is the new manager...? (Hahaha... pintar sekali pengelola itu... lalu kau sekarang manajer barunya...?)" sahut orang itu yang rupanya pimpinan mereka sambil mendelik dan mencondongkan lehernya ke depan seperti angsa yang hendak menyosor pada Boma yang berada di barisan paling depan menjadi benteng beberapa karyawan yang hampir dianiaya itu berada di belakang punggungnya.
" Ah, no... I'am assistant manager, He has stationary in outside...so in case there is importance with his to temporary pass through by me previcous... (Ah, bukan... saya asistennya, beliau sedang ada keperluan di luar... jadi jika ada suatu kepentingan dengannya sementara ini melalui saya dahulu...)" tukas Boma meluruskan.
"Hahaha..." pria itu kini tertawa semakin keras sambil mendongakkan dagunya ke atas.
Boma tetap bersikukuh mengikuti Standar Operasional Prosedur (SOP) umum yang berlaku sambil menegaskan responsif dirinya sebagai seorang pengganti manajer terhadap titik temu dari permintaan dan penawaran mereka yang menurutnya menyimpang dari SOP yang ia yakini itu. Sambil Boma terus melobi mereka, sang kasir mulai sibuk memberitahu situasi dan kondisi pada penerima telepon di seberang sana yang dihubunginya sambil pandangannya tertuju pada lokasi pergumulan Boma dengan kelompok orang-orang sangar nan aneh itu. Hasil akhir yang alot berujung ricuh gerombolan itu meninggalkan Boma yang menggagalkan ancaman mereka karena ia pun akan melaporkan mereka pada pihak yang berwajib jika sampai mencelakai dan memeras tempat kerjanya itu. Sehingga mereka melampiaskan dengan merobohkan kursi dan meja yang mereka duduki sebelumnya sambil berlalu pergi setelah puas mengacaukan segala-galanya tatanan ruangan cafe-resto tempat Boma bekerja. Iring-iringan suara bising mobil dan motor merayap pergi membawa mereka.
Di sisi lain peristiwa itu, Mona sedang merindukan kehadiran Boma yang semenjak kecelakaan di danau itu membuatnya menjadi teman bermain dan berkeluh-kesahnya selama ia berada di situ. Ia mulai menanyakan berulang-ulang kepada Kakek Kemal maupun Narenciye, mengapa Boma tidak lagi mengunjungi mereka seperti saat sebelumnya. Kakek Kemal hanya tertawa kecil sambil mengelus-elus kepala anak itu sambil memberi pengertian bahwa Boma pun punya pekerjaan maupun kesibukan di kota yang dapat menyita waktunya.
Sementara Narenciye menjadi tersentak sekaligus tersipu-sipu mendengar pertanyaan lugu adiknya itu sambil berdalih bahwa Boma bukanlah siapa-siapa mereka dan hanya pertemuan yang kebetulan saja sebelumnya karena bertabrakan dengannya. Walau berkata begitu, sebenarnya jauh dilubuki hatinya pun ia juga merindukannya dengan keanehan rasa yang mulai berpijar dan mendebar-debarkan gelora pikiran dan perasaannya pada sosok Boma.
"Eer yleyse, hadi dn biz hangi abi gitme... (Kalau begitu, ayo giliran kita yang mengunjunginya...)" usul Mona sambil menunjukkan lipatan kertas yang telah dibentangkannya di atas meja yang berisi alamat dan nomor telepon Boma yang pernah diberikan dari Boma dan disimpan olehnya.
"Mona... kadar hasat geri gelmek, biz para itibaren hasat sonra demek maliyet almalar ve geri kalan emin olma yeterli gerekmek gnlk. Sen denemek ile dede Kemal hakknda iddial konumak. O ara olmak, olabilir Sen ile O hela ayrlmak... (Mona...uang dari hasil panen kita sudah untuk melunasi biaya sekolah kita dan sisanya belum tentu cukup buat keperluan kita sehari-hari sampai waktu panen kembali. Coba kau bicarakan saja dengan kakek Kemal tentang keinginanmu. Dia punya kendaraan, mungkin kau bisa pergi dengannya...)" tutur Narenciye mengutarakan pendapatnya sambil mengiris-iris bahan-bahan masakannya.
"Oh...evet...evet... yleyse Ben irade dede gitmek iin sormak ... (Oh...iya..ya... kalau begitu aku akan ke tempat kakek untuk menanyakannya...)" sahut Mona yang teringat kembali akan keberadaan kendaraan yang dimiliki Kakek Kemal dan segera turun dari kursi makan dan bergegas keluar ke rumah kakek Kemal sambil berlalu kegundahannya dan mulai tersungging senyum riang yang semakin terpancar di wajahnya.
"Hay Allah...hay Allah...yasak hizlandrmak, sonra Sen olabilir dm... (Hei...hei...jangan tergesa-gesa, nanti kau bisa terjatuh...)" Narenciye mengingatkan tindakan Mona sambil menyertai kepergiannya dengan tatapan kosong dan kembali terjaga dari lamunannya itu setelah mendengar suara dan mencium bau mendidih dari arah kompor masak.
***
"Kriingg...kriingg..."
Nada dering telepon Boma berbunyi ketika ia baru saja menghempaskan diri di atas ranjang tidurnya sembari melepas penat sehabis pulang kerja di suatu sore. Ia tertegun sejenak sebelum mengangkat nomor yang tidak ada dalam daftar kontak teleponnya. Mungkin saja itu si penelpon yang menelpon dengan ciri khas nomor telepon rumah atau kantor itu salah satu bagian dari serentetan nomor-nomor telepon dari perusahaannya yang belum ada padanya. Namun ia terkejut karena sepertinya dugaannya meleset dengan mendapati suara feminin anak kecil yang terdengar di seberang sana. Suara itu bertanya padanya dengan nada ceria.
"Hihihi... merhaba, iyi akamlar... bunlar ile abi Boma...? (Hihihi...halo, selamat malam... apakah ini dengan kakak Boma...?)" tanya suara yang sepertinya sudah familiar bagi Boma yang dengan segera menghela nafas setelah keterkejutannya sirna.
"Aman Tanrm... bu emin Mona ocuk yaramaz dolay Sapanca eden, evet...hmmm...? (Ya ampun... ini pasti Mona si anak nakal dari Sapanca itu ya.. hmmm...?)" tanya Boma memastikan pemilik suara itu adalah adik dari sang gadis korban tubruk-cebyur-nya.
"Ih... abi Boma zalim, niye Ben ocuk yaramaz olmak...? (Ih... kakak Boma kejam, kenapa aku dipanggil anak nakal...?)" ujar Mona dengan nada protes.
"hihihi...evet...evet... Mona ocuk gzel, ne oldu... ne haber tm urada? (Hihihi...ya...ya... Mona anak baik kok, ada apa...bagaimana kabar semuanya di sana?)" giliran Boma yang kini cekikikan telah berhasil menggoda Mona sambil mengubah posisi tidurannya dari terlentang menjadi menyamping ke arah luar ranjang tidurnya.
"Ben, abla Narenciye, ve dede Kemal bizler tm iyiyim... abi z ne haber, abi asla dnmek? (Kami semuanya baik-baik saja; aku, kakak Narenciye dan kakek Kemal... kakak sendiri bagaimana kabarnya, kakak kok tidak pernah ke sini lagi?)" tanya Mona polos dan to the point.
"Eh..." ucapan Boma menggantung dan seperti tercekat oleh gejolak air liur yang ditelannya.
Bayangan Boma menerawang aneh seketika mendengar nama Narenciye. Rona-rona balon pemandangan benaknya langsung membumbung menampilkan memori sang gadis tersebut. Perlahan-lahan dunia balon itu diletuskan oleh kesadarannya kembali memperjelas pendengaranya dari suara yang memanggilnya berulang-ulang sempat terdengar sayup-sayup.
"Abi Boma... (Kakak Boma...)"
"Abi... abi Boma... (Kakak...kakak Boma...)"
"Ne abi orada, niye abi cevap yok...? (Apa kakak masih di situ, kenapa kakak tidak menjawab...?)" suara Mona semakin gusar sambil terus berusaha mendapat respon Boma yang tiba-tiba senyap tidak membalas suaranya.
"Ah, zgn Mona... orada hangi gelmek beklemendik, demek Ben kayabilir gemi... (Ah, maaf Mona... ada yang berkunjung mendadak, jadi saya tinggal dulu...)" ujar Boma memberi alasan sambil terus berusaha mengedip-ngedipkan kedua mata bebarengan untuk menghilangkan bayangan anehnya tadi yang semakin menggila.
"Ih... abi sayg yok, yznden Ben kk ocuk nemsemeyen...? (Ih...kakak tidak sopan, mentang-mentang aku anak kecil mengacuhkan begitu saja...?)" protes Mona lagi yang kesal sekaligus gregetan akibat Boma yang kesurupan mendadak itu.
"Aduh...aduh.... zgnm ama yle o beklemendik. Abi hayr kasti, kzgn etmeyin... Mona ocuk iyi olmak, evet...? (Aduh...aduh.. maafkan kakak karena itu mendadak. Kakak tidak sengaja, jangan marah dong...Mona kan anak baik, ya..?)" bujuk Boma yang masih berusaha mengembalikan konsentrasinya. Ia merasa dirinya benar-benar sedang apes hari itu setelah di tempat kerja dimaki-maki oleh gerombolan pengunjung aneh, sekarang malah ia dimarahi oleh anak kecil.
"Tamam yleyse... hkml gibi, abi Boma art eve gelip ve hediye getirmek, evet...? (Okay kalau begitu... sebagai hukumannya, kakak Boma harus datang kemari dan membawa oleh-oleh ya...? )"
"Abi Boma art eve gelip, yleyse hayr Ben hangi arzulamak abi konuk olan... Ben bekleyi...!! (Pokoknya kakak harus datang, kalau tidak aku yang akan mendatangi kakak...aku tunggu lho...!!)" Mona memanfaatkan rajukannya itu untuk membuat Boma datang padanya dengan gayanya yang seolah-olah jadi mengancam Boma.
"Abi yleyse bir sre sonra, hoa kal...hihihi... (Kalau gitu sudah dulu ya kak, dah...hihihi...)"
"Eh...eh... izgi tutun ltfen...Mona...Mona... (Eh....eh...tunggu dulu...Mona...Mona...?)" Boma sontak bangkit dari tempat tidurnya sambil tetap paten posisi smartphone-nya.
"tut...tut...tut..."
Mona rupanya segera menutup telepon diiringi cekikikanya tampa menghiraukan cegahan Boma mengakhirinya seperti itu. Kini giliran Boma yang jadi gregetan dan seperti mendapat suatu firasat anehnya kembali dari tawa Mona di akhir panggilannya yang sepertinya merencanakan sesuatu. Alasannya yang telodor itu menjadi akil-balik dari tujuan awal Mona. Malam itu, Boma mengalami insomnia saking kalutnya menghalau bayangan anehnya itu.
***
"Hihihi... what you too will be imagined me in night later...hhmm...? hihihi... (Hihihi...Apa kau juga akan terbayangi diriku malam nanti..hhmm..? hihihi...)" kini malah tawa jahil Muze kembali membuyarkan kisah Boma sambil terbungkuk menahan geli.
"Ah you damn it...if me that as primer prominent figure in the your dreams, you will know of taste..hehehe... (Ah sialan kau...kalau aku yang menjadi tokoh utama dalam mimpimu, baru tahu rasa kau...hehehe...)"ujar Boma membalas ledekan Muze sambil tersenyum menyeringai dan memainkan kedua alisnya naik-turun. Tawa Muze terhenti sejenak menatap Boma jenaka, kemudian kembali tertawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Waktu terus bergulir, tanpa terasa sudah berjam-jam kedua insan itu bercengkrama di antara hingar-bingarnya tempat wisata itu yang seolah-olah semakin tidak terhiraukan suasananya.
***
Boma akhirnya kembali mendatangi Turuncu bersaudara dan kakek Cekim di waktu libur berikutnya. Ia dengan gerobak motor kakek Cekim yang kini digunakannya untuk berjualan itu membawa mereka ke wahana wisata balon Zeppelin di Kapadokya yang sekarang juga sedang menjadi pangkalan dagang kelilingnya saat ini. Mereka begitu gembira sekali, terutama Mona yang begitu bergairah dan takjub dapat menikmati pemandangan dari atas. Saking senangnya, sambil didekap oleh Boma ia menanyakan segala hal yang terlintas di benaknya terkait momentum mereka berada di sana. Pertanyaannya yang begitu polos dan lugu itu menjadi juga pengisi keceriaan para penumpang di wadah balon yang mereka naiki.
Ia ingin sekali mengadakan wahana Zeppelin itu di desanya sehingga ia bisa menaikinya setiap saat lebih dekat dan mengitari Danau Sapanca dari angkasa raya. Boma tersenyum dan menambah perihal dengan mengimajinasikan Mona agar balon itu juga bisa untuk menyiram kebun dan memproses panenan mereka dari atas kemudian diangkut ke lapangan bazar desa. Mona pun menjadi bersemangat sekali dan mendeklarasikan dirinya ingin menjadi insinyur. Semua yang berada di satu Zeppelin itu mendukungnya dengan tepukan tangan yang meriah.
Namun kebahagiaan dan kedamaian itu tidak berlangsung lama ketika takdir kejam harus memihak kalangan atas mengekspansikan ambisi mereka. Boma harus menanggung resiko ditampi oleh waktu yang akan menggelontorkan ajang balas dendam yang tidak ia ketahui. Ia baru menyadari hal itu ketika insting prajurit kakek Kemal kembali bergelora merasakan hawa jahat di sekitar mereka. Ia segera menginterogasi Boma ketika rasa itu semakin kuat. Boma kemudian menjadi teringat oleh sekelompok orang aneh yang pernah mengacaukan tempat kerjanya beberapa waktu lalu sempat mengancam dan mengecam dirinya. Rupanya hal itu bukan main-main, karena sejak peristiwa itu Boma selalu dibuntuti ke mana pun dan di mana pun ia pergi tanpa ia ketahui sama sekali. Kakek Kemal menyadari hal itu ketika dalam perjalanan pulang dari Kapadokya kembali ke Sapanca.
Kakek Kemal memperingatkan Boma untuk tidak bepergian ke mana pun selain urusan kerjanya saja setelah pemberitahuannya itu. Ia sudah menghubungi rekan-rekan seperjuangnya di luar sana untuk membantunya mencegah hal yang tidak diinginkan. Ia juga akan mengalihkan perhatian Mona dan Narenciye dari Boma untuk mereka tidak saling bertemu sementara waktu sampai keadaan dan suasana kembali aman dan damai. Boma hanya mengangguk saja dan mulai berdiri bulu kuduknya dengan sekujur tubuh gemetaran. Boma tidak menyangka, otoritasnya kala itu dapat menjadi badai bahaya yang tersembunyi.
Belum lama mereka berdiskusi, terdengarlah suara gaduh yang berasal dari arah tempat tinggal Narenciye dan Mona. Boma dan Kakek Kemal yang sedang berada di garasi motor Kakek Kemal itu terkesiap seketika bangkit dari tempat duduknya masing-masing mendengar suara teriakan histeris yang mereka kenali itu dan mereka saling berpandangan sejenak. Kakek Kemal segera mengeluarkan pistol dari saku jasnya dan memberikannya pada Boma. Ia menyuruh Boma menyelidiki terlebih dahulu dan berjaga-jaga dengan pistol itu. Sementara ia sendiri akan mengambil senapan laras panjangnya dari gudang senjata bawah tanah yang ada di bawah tempat tidurnya dan akan segera menyusul Boma secepat mungkin ke lokasi.
Boma yang sempat gugup menerima pistol itu segera menyanggupi dan bergegas menyelinap ke arah asal suara. Kakek Kemal pun bergegas masuk ke dalam rumahnya. Suara teriakan itu semakin gaduh bercampur dengan bentakan yang kasar dibarengi gelak tawa yang menyuruh empunya berteriak untuk tenang dan diam. Boma terhenyak seketika dari persembunyiannya mendapati pemandangan yang menjadi sumber keributan itu. Mona sedang digendong dan dibekap sekawanan orang yang ternyata memang gerombolan pengacau di tempat kerjannya tempo hari. Sementara Narenciye tampak sedang menggiggil ketakutan diinterogasi sang pimpinan gerombolan yang seperti pesolek itu juga pernah dihadapi Boma saat kerusuhan itu. Boma benar-benar bingung dan cemas, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghadapi mereka. Apalagi mereka semua bersenjata dan pandai berkelahi. Ia jelas bukan tandingan salah satu dari mereka, apalagi menghadapi semuanya sekaligus. Namun, ia sudah mencoba mengirim pesan suara ke nomor layanan umum pihak berwajib saat di perjalanan dari rumah kakek Kemal tadi. Walau ia tidak berharap mereka akan datang sungguhan, apalagi sejak mendengar kasus adik Kakek Kemal yang tidak jelas.
Persembunyian Boma tidak bertahan lama karena tertangkap basah oleh personil lain dari gerombolan si pesolek itu yang sedang berpatroli mengitari sekeliling pekarangan rumah Turuncu bersaudara itu. Boma tidak bisa berkutik ketika sentuhan hangat moncong pistol itu tahu-tahu sudah menodong kepalanya dari belakang. Ia pun harus keluar dari semak pengintaian dengan sangat memalukan. Senjata pemberian kakek Kemal disita oleh mereka, dan kini ia harus bergabung dengan si pesolek yang sedang menginterogasi Turuncu bersaudara dan berjalan dengan kedua tangan di atas disertai todongan senjata di belakang dan samping kiri-kanannya. Boma jadi tertunduk kesal tak berdaya menghadapi semua itu.
"Oh...hohoho.... you is mouse conceited at the time that in Sakarya right, my very lucky can meet with you in here. Where you courages former haaahh...?!! (Oh...hohoho.... rupanya kau tikus sombong sewaktu di Sakarya itu ya, beruntung sekali aku bisa bertemu denganmu di sini. Kemana keberanianmu yang lalu haaahh...?!!)" ucap pria pesolek itu sambil tertawa terkekeh-kekeh melihat kedatangan Boma yang pasrah diiringi para anak buahnya. Matanya menatap tajam dan menghujam sinisnya.
"Abi Boma...!! (Kak Boma...!!)" teriak Mona ketika melihat sosok yang digiring gerombolan si pesolek itu. Boma memberi isyarat pada Mona untuk tetap tenang dengan bahasa tubuhnya.
"Oh Mister are decorous, what you come here to complication me? (Wahai tuan yang terhormat, apa kau kemari untuk mempermasalahkanku?)"
"Free up they, they aren't related with yours isn't it...? (Lepaskan mereka, mereka tidak ada hubungannya dengan kalian bukan...?)" telisik Boma memastikan kebenaran kisah kakek Kemal pada kebiangan keladi gerombolan kaum borjuis pendendam.
"Hahaha... what you treat these, I'm while waiting my client in here... they are promised this place for me...hahaha!! (Hahaha... bicara apa kau ini, aku sedang menunggu klienku di sini... mereka menjanjikan tempat ini untukku... hahaha...!!)" seru pria pesolek itu lantang sambil tertawa mendongakkan dagunya ke atas.
Boma mengisyaratkan gerakan kepalanya sebagai tanda tanya setelah mereka saling berpandangan akibat pernyataan itu. Namun Narenciye hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak tahu-menahu atas pernyataan pria pesolek itu. Sementara Mona hanya terdiam di antara momentum itu dengan tatapan sendu dan sisa air matanya yang masih menggenang di pelupuk mata. Ia baru saja dibentak untuk diam oleh si pendekap dan orang-orang di sekitarnya karena terus menangis dan meronta-ronta sejak awal hingga Boma muncul. Kemudian datanglah seorang pelapor ke area itu memberitahukan perkembangan situasi dan kondisi di tempat itu pada si pesolek dengan berbisik di salah satu daun telinganya. Wajah si pesolek itu berubah menjadi merah padam, dengan berang ia memelototi dan mendekati Boma. Kedua tangannya mengepalkan tinju sejajar dengan pinggang dalam perlangkahannya yang masih khas dengan gaya bersoleknya walau sudah dalam keadaan emosinya seperti itu.
"Hey mouse dammit... where you hide the winter sleep haaaahhhh...?!! (Hai tikus keparat... di mana kau sembunyikan sang 'winter sleep' itu haaahhhh....?!!)" bentak pria pesolek itu meradang sambil meninju wajah Boma yang sudah dikekang kedua tangannya oleh para anak buah pria pesolek itu.
"What you aim, I'm going to here by self... and I'm unknow who is the winter sleep have you it...!! (Apa maksudmu, aku ke sini seorang diri... dan aku tidak kenal siapa 'winter sleep'Â kamu itu...!!)" sembur Boma membalas tuduhan pria pesolek itu yang memukulnya begitu saja.
"You... (Kau...)" ujar pria pesolek itu sambil menahan tinjunya ke arah Boma dengan wajah menyeringai.
"Kore tokoro Anata wa tadashii zenbu o shirabeteita haaah...?! (Kamu benar-benar sudah memeriksa seluruh tempat ini haaah...?!)" kini giliran sang pelapor yang kena semburan amarah pria pesolek itu.
Ia memandang tajam si pelapor yang menggangguk-angguk sambil berkeringat dingin dan terbata-bata memastikan kembali laporannya. Tiba-tiba terdengar kembali teriakan histeris Mona dan Narenciye yang menggigil pucat melihat orang yang menyekap Mona meluncurkan darah segar dari kepalanya kemudian terletak tewas disusul rekan-rekan di sekitarnya yang jatuh bergelimangan darah dari bagian tubuh yang tertembak. Keadaan panik seketika mewarnai kedua belah pihak, Mona yang terlepas dari cengkraman berlari mendekati Narenciye yang terjerambab duduk bersimpuh di tanah dan saling berpelukan sambil menangis gemetaran. Gerombolan pria pesolek itu segera bersiaga mencari tempat perlindungan sambil mencari-cari asal tembakan tersebut di arahkan. Boma yang lepas dari jegalan anak buah pria pesolek pun segera berlari ke arah Turuncu bersaudara untuk mengamankan mereka menjauh dari gerombolan itu yang segera mengejar mereka.
Rupanya kacamata gelap yang digunakan para gerombolan itu bukan kacamata biasa dan kaya akan berbagai fitur teknologi digital semacam 'google glass'. Pria pesolek itu menyuruh beberapa anak buahnya yang berada di dekatnya untuk mengaktifkan mode teropong dan segera menemukan sosok peneror mereka. Tangannya mengepalkan tinjunya ke tanah karena mendapati Mona, Narenciye dan Boma telah hilang dari pandangannya. Tubuhnya melata seperti biawak dan perlahan-lahan merayap ke arah pohon Maple besar di depannya. Salah seorang anak buahnya berhasil mengidetifikasi salah satu dari tembakan pada mereka berasal dari atas bukit di seberang danau Sapanca yang berjarak sekitar 1 kilometer dari tempat mereka berada.
"Kisoo...Kore wa toshi ue yaro san ga aru wo asoko ni desu ka ? (sial... apa si tua bangsat itu yang berada di sana?)" tanya pria pesolek memastikan sosok yang sedang diidentifikasi anak buahnya.
"A..a...sumimasen Kuro-sama ,kare wa mochi iru seifuku okashii mitai na kunoichi e muzukashii mimoto wo akasanakatta to kare wa dekita e buki sunipe. Demo kare wa hito wakai... (Ma...ma..maafkan tuan, dia mengenakan seragam aneh seperti ninja yang sulit teridentifikasi dan di sedang bersiaga dengan senapan jarak jauhnya. Tapi sepertinya ia sosok yang masih muda...)" tutur si pemberi laporan yang seketika membuat si pesolek itu terhenyak keheranan.
Pria pesolek itu menjadi semakin kebingungan, ditambah lagi klien-nya tidak kunjung tiba. Ia pun segera memerintahkan rombongannya untuk mundur dan pergi dari tempat itu. Firasat buruknya pun terbukti, untuk meloloskan diri mereka sempat berkejar-kejaran dengan pihak aparat yang mulai berdatangan hendak mengepung tempat itu. Mereka pun akhirnya terpencar-pencar diiringi keriuhan dan kebisingan yang saling bersinggungan.
Sementara Boma berhasil mengamankan Mona dan Narenciye di gudang senjata bawah tanah kakek Kemal. Sambil menjadi tameng Mona dan Narenciye yang berlindung di balik punggungnya, tangan dan pandangan matanya terus fokus menodong ke arah tingkap ruang bawah tanah itu. Mereka berada di situ dalam waktu yang cukup lama hingga suasana tegang itu lama kelamaan membuat mereka kelelahan dan mengantuk. Mona tertidur dahulu dalam pangkuan dan dekapan Narenciye. Sementara Boma turut duduk sejajar di samping Narenciye yang akhirnya juga tertidur dengan bersandar dan tergolek kepalanya di atas bahu Boma. Walau berusaha untuk terus begadang menyatroni keamanan mereka, Boma pun tidak kuasa juga untuk melawan kantuk selama beberapa lama hingga akhirnya tertidur pulas dalam kesunyian.
BERSAMBUNG...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H