Mohon tunggu...
Frankincense
Frankincense Mohon Tunggu... Administrasi - flame of intuition

bukan pujangga yang pandai merangkai kata, hanya ingin menumpahkan inspirasi dengan literasi menguntai pena. Kata dapat memburu-buru kita untuk menyampaikan perasaan dan sensasi yang sebenarnya belum kita rasakan. Tetapi, kata juga bisa menggerakkan kita. Terkadang, kita tidak mengakui kebenaran sebelum mengucapkannya keras-keras. Salam hangat Kompasianers... Blog: franshare.blogspot.com Web: frame.simplesite.com

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Again | Atlantis Genesis at Indonesian

2 Februari 2018   05:39 Diperbarui: 2 Februari 2018   05:43 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadire seolah menambahkan minat Cloth untuk dapat melakukan perjalanannya untuk memenuhi petunjuk sang Pencipta. Cloth pun memandang sejenak liontin yang sudah ia kalungkan dilehernya dengan akar rambat yang kuat sebagai tali gantungnya.

"Maka, Ayah pun mencoba mengukirnya sebagai kenangan kami sebelum kemari. Dan aku sudah membuatnya beberapa lagi. Setidaknya itu menjadi tanda bahwa kamu adalah keturunan dari pengurus Taman Hidden."

Hadire mencoba sedikit berbangga mengkisahkan inspirasi tanda kenangannya. Desire pun mencoba ikut tersenyum. Seakan Desire pun masih mengkhawatirkan apa yang akan terjadi lagi dengan Cloth di luar sana, sementara ia sudah kehilangan Hablur. Dan ia coba meyakinkan diri malam itu dengan berdoa meminta petunjuk Sang Pencipta, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sebelum senja menggelayut, dari siang yang mulai beranjak ke sore hari, Cloth terlamun di serambi depan rumah. Ia memandangi kejauhan mezbah-mezbah persembahan yang pernah didirikannya bersama sang Ayah dan Hablur di antara tanah pertanian dan peternakan mereka. Mezbah yang pertama kali didirikan Hadire letaknya agak berjauhan dengan  mezbah Cloth dan Hablur yang saling berdekatan. Cloth pun tersentak kembali berbagai kenangan yang terus berputar di kepalanya, ia pun berlarian dengan nafas memburu menuju mezbah itu.

Dengan terpekur memandangi mezbah batu bersusun itu, sambil mengatur nafas sejenak ia kemudian maju mendekati dan menempelkan kedua telapak tangannya. Hingga ia akhirnya larut dalam ratapan dengan semakin menempelkan bagian depan tubuhnya, dan telapak tangannya berputar-putar merabai bebatuan yang mulai mendingin dari kehangatan sinar matahari. Namun perasaannya belum jua lega, dengan batin  masih berkecamuk ia tiba-tiba melepas ratap peluknya dari mezbah itu. Ia kemudian melangkah mundur perlahan-lahan sambil memandang kosong ketinggian mezbah batu itu, sampai akhirnya ia berhenti. Dari jarak itu seolah-olah tinggi mezbah itu menjadi sama dengan tinggi tubuhnya.

Seketika ia belari kembali mendekati mezbah batu itu, pikirannya kemudian bertaruh.

"Aku harus bisa melampauinya, sebagaimana Aku akan melewati masa lalu ini menuju keadaan baru yang lebih baik..."

Dengan jarak yang semakin dekat, maka melompatlah Cloth dengan semangat yang luar biasa membumbung di udara. Perasaannya pun begitu ikut melayang bersama desiran angin mengarus belaian lesakan lompatannya. Menakjubkan, sekonyong-konyong ia telah melewati di atas ketinggian mezbah batu yang tingginya hampir dua kali tinggi badannya. Begitu mendarat kembali ke tanah, ia langsung membalikkan tubuhnya dan merentangkan tangannya sembari menatap lekat-lekat mezbah itu dari bawah sampai atas.

"Ajaib..."

Pikir Cloth sembari tersenyum dan memejamkan mata, dan menyesapi udara sore yang beranjak dingin. Tampak di kejauhan, beberapa sosok mengamatinya dibalik rerimbunan pepohonan yang lebat di pinggiran hutan di sebelah barat mezbah-mezbah itu. Kelak mereka yang akan membudayakan lompatan Cloth yang begitu memikat pandangan.

"Wahai anakku Cloth..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun