Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Muatan Filsafat Personalisme dalam Kearifan Berladang Suku Dayak

9 Desember 2021   17:09 Diperbarui: 10 Desember 2021   01:40 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel-artikel yang sudah pernah saya tulis tentang kearifan berladang suku Dayak, semuanya saya tempatkan dalam kategori sosial budaya. Hal tersebut saya lakukan karena saya memandang kearifan berladang tidak lain sebagai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kami, yang masih dijalankan hingga hari ini.

Teringat pesan Prof. Felix Tani dalam artikelnya Matinya Seorang Penulis (K, 1/10/2020), bahwa seorang penulis akan dikatakan mengalami kematian pada saat dia berpikir telah selesai menulis setelah mengakhiri suatu tulisan dengan paragraf penutup, artikel-artikel itu pun kerap saya baca kembali.

Eureka!!!...Di balik warisan sosial tersebut, saya menemukan kalau di tengah masyarakat Dayak sudah lama hidup sebuah aliran filsafat yang baru dikenal pada paruh pertama abad kedua puluh.

Filsafat Personalisme

Aliran filsafat yang dimaksud ialah personalisme. Merujuk pada plato.stanford.edu, personalisme muncul sebagai reaksi terhadap sistem berpikir yang berupaya menghilangkan identitas pribadi manusia (depersonalisasi). Seperti, rasionalisme pencerahan (enlightenment), panteisme, idealisme absolut Hegelian, individualisme maupun kolektivisme dalam politik, materialisme dan determinisme evolusioner.

Di hadapan sistem berpikir di atas, personalisme selalu menggarisbawahi sentralitas pribadi manusia sebagai sumber utama dari eksplorasi filosofis, teologis dan studi-studi humanistik.

Personalisme merupakan sistem berpikir yang berupaya memandang personalitas sebagai nilai tertinggi dalam hidup dan merupakan kunci semua realitas dan nilai (KBBI online).

Dalam sejarah filsafat, ada cukup banyak filosof yang menenggelamkan dirinya untuk mengkaji manusia dari sudut pandang filsafat personalisme. Max Scheler, Martin Buber, Paul Ricoeur, Emmanuel Levinas adalah beberapa di antaranya.

Berakhirnya perang Dunia I dan II merupakan pemicu utama yang menggerakkan para filsuf itu untuk memikirkan kembali siapa itu manusia. Dalam kedua perang tersebut, mereka melihat bagaimana manusia tidak lagi dipandang sebagai seorang, tapi hanya sebagai sesuatu.

Akibatnya sungguh mengerikan: penghilangan nyawa sesama manusia dipandang sebagai sebuah tindakan yang sah-sah saja.

Dengan menyajikan pemahaman tentang kompleksitas dan kekayaan realitas manusia dari perspektif personalisme, para filsuf itu ingin agar martabat manusia sebagai nilai absolut yang patut dihormati selalu dijunjung tinggi.

Dalam lingkup Gereja Katolik, Karol Wojtya yang kemudian dikenal sebagai Paus Yohanes Paulus II merupakan salah satu nama yang patut ditempatkan di urutan teratas ketika berbicara tentang martabat luhur pribadi manusia.

Pemikirannya tentang manusia bukan berangkat dari ruang kosong, melainkan dari pengalaman personal serta sesama saudaranya warga Polandia.

Dalam hidupnya ia telah banyak menyaksikan dan mengalami sendiri kepahitan dan kesengsaraan hidup anak manusia akibat konflik, kekerasan dan peperangan. Bahkan nyawanya sendiri hampir hilang saat ditembak oleh Mehmet Ali Agca di lapangan Basilika Santo Petrus pada 13 Mei 1981.

Pengalaman-pengalaman mengerikan itu menjadi dasar bagi Bapa Suci dalam meletakkan pengajarannya tentang martabat luhur manusia, laki-laki dan perempuan, secara mendalam dan holistik.

Ensiklik Evangelium Vitae (Injil Kehidupan) adalah salah satunya. Di situ ia mengajarkan bahwa hidup manusia menampilkan Allah di dunia, menandakan kehadiran-Nya dan mencerminkan kemuliaan-Nya. Manusia dikaruniai martabat yang amat luhur (art. 34).

Apa yang dituangkan dalam pengajaran, beliau ejawantahkan dalam kehidupan nyata. Lihatlah ketika ia datang berkunjung ke berbagai belahan dunia (ke Indonesia pada tahun 1989), ia akan selalu menyambut dan memeluk dengan penuh kasih siapa saja yang datang kepadanya.

Tindakannya selalu mencium bumi ketika tiba di tempat yang ia kunjungi, juga menjadi ungkapan rasa cinta dan hormatnya terhadap manusia.

***

Filsafat personalisme, jika mau diringkas, sesungguhnya berbicara tentang kedua hal mendasar yang saling terkait erat, tak terpisahkan. Pertama, tentang kodrat manusia. Kedua, yang mengalir dari yang pertama, kodrat sosial manusia.

Meski merupakan hal yang mendasar, dalam praktiknya kita masih sering menjumpai terjadinya pelecehan dan penindasan terhadapnya. Khususnya terhadap kodrat manusia yang diyakini baik, kudus dan bernilai.

Hal itu bisa terjadi karena adanya produk-produk pemikiran yang melihat dan memahami manusia tidak lebih dari sekadar materi. Marxisme, dalam hal ini, barangkali salah satu paham yang relevan untuk dijadikan contoh.

Marx meyakini bahwa sekali persoalan ekonomi sudah rapi dan beres, maka segala permasalahan lainnya secara otomatis akan beres juga. Marx lupa atau mungkin sama sekali tidak mau peduli bahwa manusia memiliki martabat dan kebebasan untuk menentukan dirinya.

Martabat paling luhur dari manusia yang diabaikan oleh Marx, sebagaimana diajarkan dan diimani oleh Gereja Katolik, ialah bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Maka, demikian ditegaskan dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja art. 108, "karena ia diciptakan menurut gambar Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu melainkan seorang. Ia mampu mengenali diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain".

Poin-poin yang disebutkan di atas: manusia memiliki martabat sebagai pribadi, bukan sesuatu melainkan seorang, mampu mengenali diri sendiri; menjadi tuan atas dirinya; mengabdikan diri dalam kebebasan; hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, merupakan poin-poin utama yang menjadi aksentuasi dari filsafat personalisme.

Muatannya dalam Kearifan Berladang Suku Dayak

Berladang yang dilakukan oleh masyarakat Dayak, seperti yang sering saya tegaskan, sama sekali tidak didorong oleh motif ekonomi. Oleh karena itu, keluarga yang mendapat hasil panen yang banyak tidak kemudian dianggap akan mendapat uang yang banyak juga. Sebab, padi yang dihasilkan tidak untuk diperjualbelikan, tapi akan disimpan rapi di dalam lumbung untuk persediaan hari esok.

Mereka berladang semata-mata untuk menghasilkan nasi sebagai makanan utama sehari-hari. Serta untuk menghasilkan beras pulut (ketan) yang mereka gunakan sebagai bahan utama pembuatan tuak. Dan tuak itu nanti mereka gunakan dalam gawai adat (pesta syukur atas hasil penen) serta dalam upacara-upacara adat lainnya.

Karena bukan untuk mengejar keuntungan ekonomi, maka berladang dijalankan dengan selalu mengutamakan kepentingan bersama; solider terhadap kaum yang lemah dan tak berdaya; tunduk kepada aturan-aturan adat dan kepercayaan-kepercayaan tradisional.

Dan di atas segalanya, menaruh hormat yang tinggi terhadap martabat luhur manusia dan juga alam.

Sikap hormat terhadap martabat manusia didasari oleh keyakinan bahwa dalam diri manusia itu ada percikan ilahi. Oleh orang Dayak Desa percikan ilahi itu dinamakan dengan semengat (roh).

Adanya percikan ilahi dalam diri manusia itu membawa dua konsekuensi mendasar dan saling terakit. Pertama, manusia merupakan ciptaan yang paling mulia dan sempurna. Untuk itu, hidupnya harus dilindungi dan martabatnya harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Oleh karena itu, baik ketika bekerja bersama di ladang maupun dalam pergaulan hidup sehari-hari setiap individu diingatkan untuk saling menjaga dan menghormati. Sudah ada hukum adat pati bagi mereka, yang sengaja maupun tidak sengaja, menyebabkan sesamanya dan juga alam terluka.

Saya masih ingat pengalaman waktu masih remaja dulu di mana seorang teman saya harus mengantarkan sebuah piring dan seekor ayam ke rumah temannya. Pasalnya, ketika mereka berdua sedang berburu burung menggunakan katapel, entah bagaimana batu yang ia umban malah mengenai dahi temannya sehingga berdarah.

Lukanya tidak terlalu dalam, namun karena sudah mengeluarkan darah ritual adat pati mesti dilakukan. Diantarkannya sebuah piring dan seekor ayam bukan hanya sebagai tanda permintaan maaf, melainkan juga untuk mengembalikan semengat mereka yang sudah terluka. Sehingga dia bisa menjalani kembali kehidupan sehari-harinya dengan baik.

Konsekuensi mendasar kedua, yang mengalir dari yang pertama ialah, sebagai ciptaan yang paling mulia dan sempurna manusia diharapkan untuk selalu berbuat kebaikan terhadap sesama dan ciptaan lainnya.

Semengat tidak hanya memampukan manusia untuk membaca tanda-tanda alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk, tapi juga memampukan mereka menjalin komunikasi, relasi dan kerja sama yang baik dengan sesama.

Poin kedua ini mau menggambarkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Oleh masyarakat Dayak, hakikat dirinya sebagai makhluk sosial itu telah dipanggungkan dengan begitu mempesona dengan saling membantu dan tolong menolong ketika mengolah ladang pertanian.

Bagi mereka berlaku prinsip berikut: ladangmu adalah ladang milikku juga. Dalam semangat prinsip ini, bila ada satu keluarga yang ladangnya masih memerlukan banyak pengerjaan, selalu saja ada keluarga lain yang dengan suka rela mengulurkan tangan untuk membantu.

***

Begitulah masyarakat Dayak, lewat kearifan berladang telah menyumbang dengan caranya yang unik dan khas dalam hal menaruh hormat terhadap martabat luhur pribadi manusia.

Persoalannya, apakah dengan adanya kandungan atau muatan filosofis (dan juga teologis) dalam kearifan berladang, juga menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan sebelum melarang orang Dayak meneruskan tradisi berladang?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun