Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Muatan Filsafat Personalisme dalam Kearifan Berladang Suku Dayak

9 Desember 2021   17:09 Diperbarui: 10 Desember 2021   01:40 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh karena itu, baik ketika bekerja bersama di ladang maupun dalam pergaulan hidup sehari-hari setiap individu diingatkan untuk saling menjaga dan menghormati. Sudah ada hukum adat pati bagi mereka, yang sengaja maupun tidak sengaja, menyebabkan sesamanya dan juga alam terluka.

Saya masih ingat pengalaman waktu masih remaja dulu di mana seorang teman saya harus mengantarkan sebuah piring dan seekor ayam ke rumah temannya. Pasalnya, ketika mereka berdua sedang berburu burung menggunakan katapel, entah bagaimana batu yang ia umban malah mengenai dahi temannya sehingga berdarah.

Lukanya tidak terlalu dalam, namun karena sudah mengeluarkan darah ritual adat pati mesti dilakukan. Diantarkannya sebuah piring dan seekor ayam bukan hanya sebagai tanda permintaan maaf, melainkan juga untuk mengembalikan semengat mereka yang sudah terluka. Sehingga dia bisa menjalani kembali kehidupan sehari-harinya dengan baik.

Konsekuensi mendasar kedua, yang mengalir dari yang pertama ialah, sebagai ciptaan yang paling mulia dan sempurna manusia diharapkan untuk selalu berbuat kebaikan terhadap sesama dan ciptaan lainnya.

Semengat tidak hanya memampukan manusia untuk membaca tanda-tanda alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk, tapi juga memampukan mereka menjalin komunikasi, relasi dan kerja sama yang baik dengan sesama.

Poin kedua ini mau menggambarkan hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Oleh masyarakat Dayak, hakikat dirinya sebagai makhluk sosial itu telah dipanggungkan dengan begitu mempesona dengan saling membantu dan tolong menolong ketika mengolah ladang pertanian.

Bagi mereka berlaku prinsip berikut: ladangmu adalah ladang milikku juga. Dalam semangat prinsip ini, bila ada satu keluarga yang ladangnya masih memerlukan banyak pengerjaan, selalu saja ada keluarga lain yang dengan suka rela mengulurkan tangan untuk membantu.

***

Begitulah masyarakat Dayak, lewat kearifan berladang telah menyumbang dengan caranya yang unik dan khas dalam hal menaruh hormat terhadap martabat luhur pribadi manusia.

Persoalannya, apakah dengan adanya kandungan atau muatan filosofis (dan juga teologis) dalam kearifan berladang, juga menjadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan sebelum melarang orang Dayak meneruskan tradisi berladang?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun