Hal itu bisa terjadi karena adanya produk-produk pemikiran yang melihat dan memahami manusia tidak lebih dari sekadar materi. Marxisme, dalam hal ini, barangkali salah satu paham yang relevan untuk dijadikan contoh.
Marx meyakini bahwa sekali persoalan ekonomi sudah rapi dan beres, maka segala permasalahan lainnya secara otomatis akan beres juga. Marx lupa atau mungkin sama sekali tidak mau peduli bahwa manusia memiliki martabat dan kebebasan untuk menentukan dirinya.
Martabat paling luhur dari manusia yang diabaikan oleh Marx, sebagaimana diajarkan dan diimani oleh Gereja Katolik, ialah bahwa manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Maka, demikian ditegaskan dalam Kompendium Ajaran Sosial Gereja art. 108, "karena ia diciptakan menurut gambar Allah, manusia memiliki martabat sebagai pribadi: ia bukan hanya sesuatu melainkan seorang. Ia mampu mengenali diri sendiri, menjadi tuan atas dirinya, mengabdikan diri dalam kebebasan dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain".
Poin-poin yang disebutkan di atas: manusia memiliki martabat sebagai pribadi, bukan sesuatu melainkan seorang, mampu mengenali diri sendiri; menjadi tuan atas dirinya; mengabdikan diri dalam kebebasan; hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, merupakan poin-poin utama yang menjadi aksentuasi dari filsafat personalisme.
Muatannya dalam Kearifan Berladang Suku Dayak
Berladang yang dilakukan oleh masyarakat Dayak, seperti yang sering saya tegaskan, sama sekali tidak didorong oleh motif ekonomi. Oleh karena itu, keluarga yang mendapat hasil panen yang banyak tidak kemudian dianggap akan mendapat uang yang banyak juga. Sebab, padi yang dihasilkan tidak untuk diperjualbelikan, tapi akan disimpan rapi di dalam lumbung untuk persediaan hari esok.
Mereka berladang semata-mata untuk menghasilkan nasi sebagai makanan utama sehari-hari. Serta untuk menghasilkan beras pulut (ketan) yang mereka gunakan sebagai bahan utama pembuatan tuak. Dan tuak itu nanti mereka gunakan dalam gawai adat (pesta syukur atas hasil penen) serta dalam upacara-upacara adat lainnya.
Karena bukan untuk mengejar keuntungan ekonomi, maka berladang dijalankan dengan selalu mengutamakan kepentingan bersama; solider terhadap kaum yang lemah dan tak berdaya; tunduk kepada aturan-aturan adat dan kepercayaan-kepercayaan tradisional.
Dan di atas segalanya, menaruh hormat yang tinggi terhadap martabat luhur manusia dan juga alam.
Sikap hormat terhadap martabat manusia didasari oleh keyakinan bahwa dalam diri manusia itu ada percikan ilahi. Oleh orang Dayak Desa percikan ilahi itu dinamakan dengan semengat (roh).
Adanya percikan ilahi dalam diri manusia itu membawa dua konsekuensi mendasar dan saling terakit. Pertama, manusia merupakan ciptaan yang paling mulia dan sempurna. Untuk itu, hidupnya harus dilindungi dan martabatnya harus dihormati dan dijunjung tinggi.