Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyelami Makna Kehidupan Menjadi Manusia dengan Berpaling ke Ladang

19 Agustus 2021   05:41 Diperbarui: 20 Agustus 2021   03:34 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kehidupan di ladang | Sumber: Taufik_81 via Pixabay

Berpaling ke alam kerap kali dilakukan oleh manusia dalam upaya mencari jawab atas apa tujuan dan makna keberadaan hidupnya di dunia ini. 

Cara ini lebih dikenal dengan nama "meditasi alam". Saat masih menjalani masa-masa pembinaan di Seminari Tinggi dulu, cara meditasi ini seringkali kami praktikkan.

Saya masih ingat suatu kali saat mengikuti rekoleksi bulanan, oleh pembimbing rekoleksi kami diminta untuk barang beberapa menit berkeliling di sekitaran kompleks.

Sambil berjalan dalam keheningan, kami diminta untuk mencari benda apa saja yang sekiranya mewakili suasana batin maupun pergulatan kami selama ini dalam menjawab panggilan Tuhan.

Ketika waktu untuk bermeditasi sudah selesai, saya dan teman-teman pun kembali ke ruangan. Masing-masing kami membawa aneka macam benda yang dirasa mewakili suasana batin maupun pergulatannya selama ini.

Ada yang membawa ranting atau daun kering untuk mau melukiskan kalau saat itu dia sedang mengalami kekeringan. Ada juga yang membawa bunga atau tetumbuhan segar. Pertanda bahwa dia sedang bersemangat dan penuh suka cita dalam menjalani hidup panggilannya.

Bahkan ada juga yang tidak membawa apa-apa. Dengan maksud untuk menunjukkan bahwa saat itu hidupnya sedang mengalami kekosongan. Karena itu, sungguh memerlukan tuntunan dan bimbingan.

Berpaling ke Ladang

Berpaling ke ladang juga merupakan sebuah bentuk meditasi alam. Mengapa ladang yang saya pilih? Karena ia sungguh dekat dan akrab dengan kehidupan saya. Sesederhana itu alasannya.

Sudah menjadi hal yang lumrah rasanya bagi kita manusia menjadikan sesuatu yang akrab dengan kehidupan kita sebagai sumber inspirasi. 

Bukankah karya-karya kita di Kompasiana ini sebagian kecil atau bahkan sebagian besar lahir dari sesuatu yang dekat dan akrab dengan kehidupan kita?

Ilustrasi ladang suku Dayak. Sumber: YTPRayeh.com
Ilustrasi ladang suku Dayak. Sumber: YTPRayeh.com
Ladang memang telah banyak mendatangkan inspirasi bagi saya dalam menulis. Kebanyakan artikel yang pernah saya tulis di K ini (20 dari 52 artikel) berkisar tentang kearifan berladang dan juga kearifan lokal lainnya dalam suku Dayak. Khususnya suku Dayak Desa.

Mengapa saya menulis tentang suku Dayak dan segala kearifan lokal yang mereka miliki barangkali dapat diletakkan dalam bingkai pemahaman dari artikel saya sebelumnya tentang proses pembentukan model diri (mode of being).

Dalam artikel tersebut saya mengatakan, "Proses pembentukan model diri itu, oleh setiap individu ditempuh dengan cara yang unik dan spesial seturut minat, keprihatinan ataupun bakat yang telah Tuhan anugerahkan. Dalam hal ini, dengan menyediakan beragam KATEGORI, Kompasiana telah menyediakan ruang yang sangat luas untuk kita dalam membentuk dan membangun diri secara terus-menerus."

Tujuan saya menuliskannya pertama-tama untuk memperkenalkan suku Dayak dengan segala kekayaan budayanya kepada masyarakat luas. Adapun tujuan utamanya ialah saya ingin mencari sumber inspirasi yang dapat membantu saya dalam proses pembentukan dan pengembangan diri. Ringkasnya dalam proses "menjadi" manusia.

Dan dari kehidupan masyarakat Dayak, khususnya dari kearifan berladang yang mereka lakukan, saya sampai pada penemuan bahwa  proses "menjadi" itu diwujudnyatakan dalam upaya membangun relasi yang harmonis dengan Tuhan Pencipta (Petara Nan Agung), dengan sesama manusia dan dengan alam.

Harmonisasi dengan petara terejawantah dalam aneka upacara dan ritual adat dalam seluruh proses perladangan. 

Alam bagi orang Dayak bukan hanya merupakan rumah, tetapi juga menjadi bagian dari seluruh kehidupan mereka yang harus diperlakukan dan dimanfaatkan secara beradat. 

Yang Ilahi hadir dalam dan melalui alam. Masyarakat Dayak yakin bahwa alam punya "roh", "jiwa", tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia, maka dari itu harus dihormati. 

Oleh karena itu pula, perilaku manusia harus baik dan sopan dalam memanfaatkan alam atau ketika harus bersentuhan dengan alam.

Sementara itu, harmonisasi dengan sesama manusia dihadirkan lewat semangat kebersamaan yang tinggi dalam mengerjakan tahap-tahap perladangan. 

Harap diketahui, dalam mengerjakan ladang masyarakat Dayak biasanya membentuk kelompok gotong royong.

Semangat kebersamaan tersebut dilandasi oleh rasa saling memiliki di antara sesama anggota. Jika salah satu anggota mengalami sedikit keterlambatan dalam pengerjaan ladang, anggota yang lain akan dengan suka rela mengulurkan tangan untuk membantu.

Pada momen inilah warga sungguh menghidupi "hukum pemberian diri". Sebuah hukum yang mengajarkan bahwa seseorang tidak akan mencapai kepenuhan hidup jika dia tidak melampaui dirinya sendiri dan memberikan diri dalam kasih bagi sesama.

Sedangkan harmonisasi dengan alam ditunjukkan lewat pelibatan tanda-tanda alam dalam proses perladangan. Salah satu tanda alam yang masih dipercayai membawa pesan-pesan penting bagi kebaikan dan keselamatan penduduk ialah suara burung.

Masyarakat suku Dayak Desa meyakini ada beberapa jenis burung yang suaranya merupakan pertanda buruk. Sehingga, saat mereka membuka sebuah lokasi untuk berladang dan terdengarlah oleh mereka suara-suara burung tersebut, maka mereka tidak boleh membuka lahan di situ. 

Kalau suara burung itu diabaikan dapat mendatangkan akibat yang fatal bagi segenap anggota keluarga dan juga penduduk kampung yang lain.

Pusat Musik Liturgi (PML)

Salah satu karya, menurut saya, yang telah dengan indah dan mendalam merefleksikan hidup manusia dengan berpaling ke ladang ialah Lagu Misa Inkulturatif dari Pusat Musik Liturgi. Judulnya ialah Hujan Rahmat di Ladang. Berikut syairnya:

(1)

Bagai ladang yang kering, menantikan air hujan

Jiwa haus merindukan Dikau, Tuhan

Sumber iman, pengharapan dan cinta

(2)

Kini ladang merana, menghijau daun-daunnya

Jiwa haus, t'lah menghirup Dikau, Tuhan

Sumber kehidupan jiwa dan raga

Lagu bergaya Dayak Kenyah tersebut terdapat dalam Madah Bakti (MB) No. 693 dan biasa dinyanyikan saat umat menyambut komuni kudus, Tubuh Kristus. 

Pesan utamanya ialah untuk mengingatkan umat beriman bahwa Tuhan-lah satu-satunya yang menjadi sumber kehidupan mereka. Dan hanya dalam Dia-lah mereka akan menemukan kepuasan bagi jiwa dan raga mereka.

Mengapa PML menjadikan ladang sebagai sumber inspirasi dalam menyadarkan manusia akan Tuhan sebagai satu-satunya sumber kehidupan? 

Saya menduga salah satu alasan mendasarnya ialah agar segala daya upaya dalam menumbuhkan dan mengembangkan iman umat dilakukan lewat cara yang kontekstual.

Masyarakat Dayak kebanyakan bekerja sebagai peladang. Mereka sungguh tahu bahwa tanpa air hujan, ladang akan menjadi kering dan merana. 

Begitu pula dengan kehidupan mereka sebagai manusia. Akan menjadi kering dan merana bila Tuhan tidak dijadikan sebagai pusat dan sumber kehidupan.

Untuk itulah, umat beriman diingatkan untuk selalu memiliki kerinduan akan Tuhan di dalam hati mereka. 

Seperti ladang mendamba air hujan, demikian juga seharusnya mereka selalu rindu mendamba Tuhan, Sang Sumber Kehidupan.

Jika berkenan mendengarkannya, silakan lihat video di bawah ini.
Wasana kata

Uraian-uraian yang telah saya paparkan dengan mengarahkan pandangan ke ladang, tentulah bukan sebuah pemahaman yang integral tentang manusia. Pun bukan sebagai rujukan satu-satunya dalam memahami apa makna keberadaan hidup manusia di dunia ini. Sebab pada kenyataannya tidak semua orang bekerja sebagai peladang.

Begitu juga ketika saya mengatakan proses "menjadi" manusia terwujud dalam relasi yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama dan alam, tidak hendak mengatakan bahwa proses "menjadi" itu sudah selesai. Proses untuk menjadi manusia yang matang, baik dan benar tidak pernah mengenal titik istirahat.

Dengan mengalihkan pandangan ke ladang, saya hanya berupaya menunjukkan bahwa di muka bumi ini masih ada manusia yang hidup secara beradab dan beradat dalam relasinya dengan Tuhan, sesama dan alam. Manusia itu ialah para peladang.

Salam Anak Peladang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun