Harap diketahui, dalam mengerjakan ladang masyarakat Dayak biasanya membentuk kelompok gotong royong.
Semangat kebersamaan tersebut dilandasi oleh rasa saling memiliki di antara sesama anggota. Jika salah satu anggota mengalami sedikit keterlambatan dalam pengerjaan ladang, anggota yang lain akan dengan suka rela mengulurkan tangan untuk membantu.
Pada momen inilah warga sungguh menghidupi "hukum pemberian diri". Sebuah hukum yang mengajarkan bahwa seseorang tidak akan mencapai kepenuhan hidup jika dia tidak melampaui dirinya sendiri dan memberikan diri dalam kasih bagi sesama.
Sedangkan harmonisasi dengan alam ditunjukkan lewat pelibatan tanda-tanda alam dalam proses perladangan. Salah satu tanda alam yang masih dipercayai membawa pesan-pesan penting bagi kebaikan dan keselamatan penduduk ialah suara burung.
Masyarakat suku Dayak Desa meyakini ada beberapa jenis burung yang suaranya merupakan pertanda buruk. Sehingga, saat mereka membuka sebuah lokasi untuk berladang dan terdengarlah oleh mereka suara-suara burung tersebut, maka mereka tidak boleh membuka lahan di situ.Â
Kalau suara burung itu diabaikan dapat mendatangkan akibat yang fatal bagi segenap anggota keluarga dan juga penduduk kampung yang lain.
Pusat Musik Liturgi (PML)
Salah satu karya, menurut saya, yang telah dengan indah dan mendalam merefleksikan hidup manusia dengan berpaling ke ladang ialah Lagu Misa Inkulturatif dari Pusat Musik Liturgi. Judulnya ialah Hujan Rahmat di Ladang. Berikut syairnya:
(1)
Bagai ladang yang kering, menantikan air hujan
Jiwa haus merindukan Dikau, Tuhan