Betabak itu.
Sebelum masuk pada pokok bahasan, saya ingin terlebih dahulu menyampaikan kalau saya tidak menemukan ilustrasi yang pas untuk menggambarkan seperti apa ritualSaya menggunakan gambar ilustrasi di atas karena dalam beberapa sub suku Dayak lain, ada ritual adat yang serupa dengan Betabak.Â
Bedanya mereka menggunakan ayam yang biasanya akan dikibas-kibaskan di atas kepala tamu yang baru datang sebagai simbol menghalau segala segala yang jahat.
Dalam masyarakat adat Dayak Desa, Betabak juga seringkali diartikan sebagai ritual menghalau roh-roh jahat yang dapat mendatangkan hal-hal buruk baik terhadap pribadi si tamu maupun terhadap komunitas yang ia kunjungi.
Hanya bedanya dalam masyarakat adat Dayak Desa, kami menggunakan air yang dicampur dengan beras. Air ini nanti akan dipercikkan di atas kepala dengan menggunakan akar pohon tengang atau serat kulit pohon kepuak (Artocarpus elasticus).
Menggunakan beras karena dalam alam kepercayaan masyarakat adat Dayak Desa, beras memiliki beberapa fungsi, yaitu untuk meneguhkan hidup batiniah seseorang yang baru sembuh dari sakit atau terlepas dari kecelakaan, untuk menyumpahi orang yang tertangkap basah melakukan tindakan asusila dan kriminal tetapi tidak mengaku, menyucikan ladang dan tempat keramat, dll (Valentinus Saeng dalam Kearifan Lokal Pancasila. Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan).
Untuk pohon tengang sendiri saya tidak menemukan di internet seperti apa bentuknya. Sedangkan pohon kepuak dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Saya tidak menemukan sumber yang menjelaskan mengapa masyarakat adat Dayak Desa menggunakan serat kulit kayu kepuak sebagai bahan untuk Betabak.Â
Namun menurut penafsiran ringan saya, karena teksturnya yang kuat itulah makanya serat kulit kayu kepuak ini digunakan. Penggunaan tersebut sejalan dengan tujuan dari ritual Betabak itu sendiri, yakni untuk menguatkan semengat.
Pandangan tentang ManusiaÂ
Ritual Betabak tak bisa dilepaskan dari pandangan suku Dayak Desa tentang manusia.Â
Suku Dayak Desa memandang kalau manusia itu adalah makhluk berhakikat transenden. Ketransendenan itu ditandai dengan adanya semengat di dalam diri manusia.
Dengan memiliki semengat, manusia dimampukan untuk menjalin relasi dan komunikasi yang baik dengan Tuhan, sesama dan alam.
Dalam relasinya dengan Tuhan, semengat memampukan mereka untuk menangkap dan membaca tanda-tanda kehadiran Yang Ilahi dalam peristiwa atau gejala alam. Berkat semengat, mereka mampu membaca fenomena alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk.
Sebuah kemampuan yang tentu saja sangat berguna terutama dalam kehidupan agraris masyarakat adat Dayak Desa.
Mendapatkan hasil panen yang baik dan berlimpah tentu saja menjadi keinginan setiap warga. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak pernah boleh mengabaikan pesan dari Yang Ilahi atau para leluhur yang hadir lewat tanda-tanda atau fenomena alam.
Sementara itu dalam relasi dengan sesama, semengat menggerakkan manusia untuk selalu berbuat kebaikan terhadap sesamanya.
Dan dalam relasi dengan alam, semengat memampukan manusia untuk merawat alam serta mengolahnya dengan penuh hormat dan beradat.
Betapapun manusia memiliki segala kemampuan di atas berkat adanya semengat, ada kalanya di mana semengat itu bisa menjadi lemah.
Berada dalam situasi yang demikian tentu saja bisa menghambat seseorang dalam menjalin relasi dan komunikasi yang baik, secara vertikal (dengan Tuhan) maupun secara horizontal (dengan sesama dan alam).
Semengat haruslah selalu dalam keadaan kuat. Karena itu, bila dirasa atau dilihat sudah mengendor atau lemah semengat manusia haruslah dikuatkan kembali. Dalam masyarakat adat Dayak Desa ada ritual khusus untuk itu. Nama ritual itu ialah Betabak.
Ritual Betabak, seperti yang akan dipaparkan di bawah, memang dilakukan dalam beberapa kesempatan.Â
Namun, inti dari ritual ini sejatinya memohon agar orang yang ditabak itu "gayu nyilu dan gerai nyamai". Yang artinya "berumur panjang dan selalu sehat walafiat".
Kapan Ritual Betabak dilakukan?
Dalam sebuah kesempatan jumpa kangen dengan keluarga di kampung via video call, saya sempat menanyakan hal tersebut kepada Ayah.Â
Menurut beliau, Betabak biasa dilakukan saat seseorang mengalami mimpi buruk; saat memasuki rumah baru; terhadap pengantin perempuan yang baru datang dijemput dari rumah orang tuanya; saat ada tamu kehormatan datang berkunjung.
Mengalami mimpi buruk tentu saja akan membuat hati dan pikiran seseorang menjadi tidak tenang. Dia tidak bisa menjalani hari-harinya dengan baik karena selalu diliputi kekhawatiran.Â
Dalam keadaan seperti ini, Betabak harus dilakukan agar orang tersebut bisa kembali menjalani dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan tenang dan bahagia.
Sebuah keluarga yang hendak memasuki rumah baru juga harus ditabak. Dengan ditabak, seluruh anggota keluarga didoakan agar selalu diberi kesehatan yang baik, selalu hidup rukun dan damai serta diberi kemudahan dalam rejeki.
Dan secara khusus untuk suami dan istri, agar selalu dikuatkan dalam melewati tantangan dan rintangan dalam membina hidup berumah tangga. Agar selalu setia dalam untung dan malang, sehat dan sakit, suka dan duka.
Selain dari tujuan yang telah disebut, Betabak sebelum memasuki rumah baru juga bertujuan menghalau segala roh jahat agar tidak turut serta masuk ke dalam rumah baru yang sebentar lagi akan ditempati.Â
Jika tidak dihalau, dikhawatirkan roh-roh jahat itu bisa mengganggu dan merusak ketentraman dalam keluarga yang akan menempati rumah baru tersebut.
Baca juga: Upacara Adat Memasuki Rumah Baru dalam Suku Dayak Desa: Harta Paling Berharga adalah Keluarga
Betabak juga dilakukan terhadap pengantin perempuan yang baru saja datang dijemput dari rumah orangtuanya.Â
Dalam masyarakat adat Dayak Desa, penjemputan ini disebut dengan ngamik bini.
Ketika sudah sampai di rumah calon suaminya, akan diadakan serangkaian upacara adat untuk menyambut kedatangannya. Betabak merupakan salah satu yang termasuk di dalamnya.
Selain untuk mendoakan agar sang calon istri selalu sehat dan kelak bisa menjadi istri dan ibu yang baik, Betabak dilakukan untuk menghalau roh-roh jahat yang mungkin telah menyertai rombongan pengantin selama dalam perjalanan.
Masyarakat adat Dayak Desa meyakini keberadaan roh-roh jahat di dalam alam. Roh-roh jahat ini seringkali mengacaukan niat dan rencana baik anak manusia.Â
Perjalanan yang kadangkala mengalami hambatan dipandang sebagai karya si jahat yang bermaksud menggagalkan niat baik manusia.
Atas alasan tersebutlah Betabak harus dilakukan. Tujuannya agar manusia bisa menata dan menjalani kehidupan dengan hati yang tenang dan damai.
Keyakinan di atas jugalah yang mendasari mengapa tamu kehormatan yang datang berkunjung harus ditabak.Â
Pertama-tama, tentu saja mendoakan agar si tamu selalu diberi kesehatan yang baik dan umur panjang. Selain itu, untuk menghalau segala yang jahat agar tidak turut masuk bersamanya ke dalam kampung yang ia datangi.
Roh-roh jahat harus terlebih dahulu dihalau. Sebab, seluruh warga kampung tidak menghendaki kedatangan sang tamu, yang tentu saja datang dengan maksud baik, justru akan mengganggu ketentraman di kampung yang sudah lama terpelihara.
Selain dari beberapa contoh di atas, dalam kesempatan-kesempatan tertentu, ritual ini juga biasanya dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan.Â
Dengan menabak anaknya, orang tua berdoa agar mereka bisa bertumbuh dengan sehat dan kelak bisa menjadi anak yang baik dan pintar.
Wasana Kata
Begitulah ritual Betabak dalam suku Dayak Desa. Jika suatu saat Anda yang berasal dari luar pulau Kalimantan datang berkunjung, pasti juga akan disambut secara adat.Â
Itu adalah bentuk penerimaan masyarakat adat. Sebagai sebuah penghormatan sekaligus juga sebagai sebuah doa agar kita selalu "gayu nyilu, gerai nyamai".
Salam Budaya. Salam Lestari.
GN, Polandia, 27 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H