Suku Dayak Desa memandang kalau manusia itu adalah makhluk berhakikat transenden. Ketransendenan itu ditandai dengan adanya semengat di dalam diri manusia.
Dengan memiliki semengat, manusia dimampukan untuk menjalin relasi dan komunikasi yang baik dengan Tuhan, sesama dan alam.
Dalam relasinya dengan Tuhan, semengat memampukan mereka untuk menangkap dan membaca tanda-tanda kehadiran Yang Ilahi dalam peristiwa atau gejala alam. Berkat semengat, mereka mampu membaca fenomena alam yang bisa mendatangkan berkat ataupun kutuk.
Sebuah kemampuan yang tentu saja sangat berguna terutama dalam kehidupan agraris masyarakat adat Dayak Desa.
Mendapatkan hasil panen yang baik dan berlimpah tentu saja menjadi keinginan setiap warga. Akan tetapi, keinginan tersebut tidak pernah boleh mengabaikan pesan dari Yang Ilahi atau para leluhur yang hadir lewat tanda-tanda atau fenomena alam.
Sementara itu dalam relasi dengan sesama, semengat menggerakkan manusia untuk selalu berbuat kebaikan terhadap sesamanya.
Dan dalam relasi dengan alam, semengat memampukan manusia untuk merawat alam serta mengolahnya dengan penuh hormat dan beradat.
Betapapun manusia memiliki segala kemampuan di atas berkat adanya semengat, ada kalanya di mana semengat itu bisa menjadi lemah.
Berada dalam situasi yang demikian tentu saja bisa menghambat seseorang dalam menjalin relasi dan komunikasi yang baik, secara vertikal (dengan Tuhan) maupun secara horizontal (dengan sesama dan alam).
Semengat haruslah selalu dalam keadaan kuat. Karena itu, bila dirasa atau dilihat sudah mengendor atau lemah semengat manusia haruslah dikuatkan kembali. Dalam masyarakat adat Dayak Desa ada ritual khusus untuk itu. Nama ritual itu ialah Betabak.
Ritual Betabak, seperti yang akan dipaparkan di bawah, memang dilakukan dalam beberapa kesempatan.Â