Tidak demikian ketika saya melihat wajah Ibu. Kedatangan saya sepertinya belum mampu menghadirkan senyum di wajahnya. Beliau lebih banyak diam dan mengurung diri di dalam kamar.
Bulan pertama liburan di kampung, saya belum bisa menikmatinya dengan sepenuh hati. Hati dan pikiran saya belum bisa tenang karena selalu memikirkan Ibu. Beliau memang sudah mulai perlahan mengikhlaskan kepergian abang. Dia sudah mulai bekerja seperti biasa. Hanya sayangnya, beliau seringkali lupa makan. Atau mungkin tepatnya sengaja tidak mau makan.
Sebagai akibatnya, beberapa kali beliau jatuh pingsan. Pernah suatu sore saya sedang asyik bermain bola bersama teman-teman, tiba-tiba datang adik perempuan saya yang bungsu mengatakan kalau Ibu jatuh pingsan.
Memasuki bulan kedua masa liburan, saya melihat sudah ada titik terang. Ibu sudah kembali ceria seperti semula meski aura kesedihan masih menyelimuti wajahnya.
Memasuki bulan terakhir berada di kampung, saya sudah merasa lega. Ibu sudah bisa kembali tertawa dan sudah mulai membuka diri bergaul dengan orang lain. Mungkin beliau tahu kalau sebentar lagi saya akan kembali ke Malang. Beliau tidak ingin anaknya berangkat dengan membawa sejuta rasa khawatir.
Waktu liburan pun selesai. Sudah saatnya bagi saya untuk kembali meninggalkan rumah demi melanjutkan studi. Saya harus pergi karena studi saya waktu itu belum ada apa-apanya. Saya masih butuh waktu kurang lebih enam tahun lagi untuk menggapai cita-cita saya.
Saya hanya berpesan kepada Ayah dan saudara-saudara agar selalu mendampingi dan merawat Ibu dengan baik. Dan kepada Ibu, saya hanya berpesan untuk selalu berdoa agar saya selalu sehat dan bisa menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya.
Puji Tuhan, akhirnya pada tahun 2011 saya bisa menyelesaiakn studi di Malang dengan baik. Ada banyak tantangan yang harus dilalui. Tapi, ketegaran Ibu dalam menghadapi dan melewati masa-masa sulit saat kehilangan putranya, telah menjadi penyemangat bagi saya agar tidak gampang menyerah.
Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. 7 Agustus 2014 menjadi hari yang sangat spesial buat Ibu. Di hari itulah beliau  mengiringi langkah putranya menuju ke altar Tuhan untuk menerima tahbisan imamat.
Kebahagiaan terpancar di wajahnya karena sudah bisa mempersembahkan salah seorang putranya untuk Tuhan dan Gereja. Kebahagiaan yang dulu sempat hilang karena kehilangan salah seorang putranya, kini telah ia dapatkan kembali dengan menyaksikan putranya yang lain ditahbiskan menjadi seorang pastor.
Kini sudah hampir tujuh tahun saya menjadi seorang pastor. Sudah ada banyak rintangan, hambatan dan tantangan yang dihadapi. Ke depannya saya juga tidak akan pernah lepas dari itu semua. Namun, ketegaran hati Ibu akan selalu menjadi sumber kekuatan bagi saya dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup.