Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Ibu, Aku Belajar untuk Selalu Tegar Kala Menghadapi Ujian Hidup

22 November 2020   16:04 Diperbarui: 22 November 2020   16:30 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi.

"Sejak dari kandungan, ibu selalu berupaya memberi yang terbaik kepada buah hatinya. Diperdengarkannya musik-musik yang menenangkan ke perutnya..."

Begitulah Admin K membuka blog kompetisi yang mengambil tema: Ibu, Sekolah Pertamaku. Hati ini langsung sedih membaca kalimat pembuka tersebut. Bukan karena ada kesalahan gramatikal, melainkan karena langsung mengingatkan saya akan sosok Ibu.

Ibu, begitu juga Ayah, sama-sama tidak pernah sekolah. Beliau jelas tidak paham apakah memperdengarkan musik ke perut bisa menenangkan anak yang sedang dikandungnya.

Namun saya sangat bersyukur kepada Tuhan memiliki sosok seorang Ibu yang lemah lembut, pekerja keras dan penuh kasih sayang. Meski buta huruf, bersama dengan Ayah, Ibu terbukti mampu membesarkan dan mendidik keenam orang anaknya dengan tabah dan penuh kasih.

Kebersamaan saya dengan Ibu boleh dibilang tidak terlalu lama. Hanya sampai saat saya kelas 3 SMP. Hal ini dikarenakan setamat dari SMP, saya harus meninggalkan rumah demi melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di kota Sintang.

Tergolong singkat memang kebersamaan saya dengan Ibu. Namun dalam waktu yang singkat itu, Ibu telah menanamkan dan mengajarkan banyak nilai-nilai baik yang sangat berguna dalam mengarungi samudera kehidupan.

Tidak akan pernah habis kata untuk menggambarkan sosok seorang Ibu. Dalam kesempatan kali ini, saya hanya ingin membagikan sebuah pengalaman yang darinya saya bisa belajar dari Ibu untuk selalu tegar ketika menghadapi berbagai ujian dalam hidup. Terutama dalam saya menjalani hidup panggilan sebagai seorang pastor.

***

Ibu adalah sosok yang tegar. Ketegarannya sudah teruji dengan setia mendampingi Ayah dalam suka dan duka untuk membesarkan dan mendidik keenam orang anaknya.

Ujian terhadap hidup memang akan selalu ada selama manusia masih berada di dunia ini. Hal tersebut Ibu alami ketika pada suatu saat beliau harus rela kehilangan salah seorang putra tersayangnya. Ini menjadi ujian terberat baginya.

Saudara kami yang meninggal ini adalah abang saya yang nomor tiga. Kami ada enam bersaudara. Empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Saya sendiri adalah anak yang ke-5.

Peristiwa yang sangat menyedihkan ini terjadi pada pertengahan tahun 2008. Kehilangan salah seorang anggota keluarga memang selalu menyakitkan dan menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi bila dia pergi dengan cara yang tidak wajar.

Kami sekeluarga tentu merasa kehilangan yang mendalam. Tapi Ibu-lah yang sangat terpukul atas kehilangan ini. Perlu waktu yang cukup lama bagi beliau untuk bisa menerima kenyataan pahit ini dan mengikhlaskan kepergian abang tercinta.

Saya ingin bercerita sedikit bagaimana Abang saya ini bisa meninggal. Peristiwa ini terjadi saat musim Gawai (pesta syukur atas hasil panen). Sudah menjadi tradisi bagi kami orang Dayak akan mengadakan silaturahmi ketika ada Gawai di kampung yang lain.  

Nah, suatu kali ada satu kampung tetangga mengadakan Gawai. Bersama dengan beberapa temannya, abang saya pun pergi ke kampung tersebut dan singgah di sebuah rumah yang anggotanya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kami.

Oleh tuan rumah mereka pun disuguhi teh sambil menunggu makanan selesai dihidangkan. Lalu, mereka dipersilakan makan dalam posisi air teh dalam keadaan belum habis. Setelah selesai makan, mereka pun kembali ke tempat duduk semula.

Karena di dalam gelas masih ada air teh yang tersisa, abang saya pun kembali meneguknya sampai habis. Namun apa yang terjadi? Selesai dia meneguknya, tiba-tiba saja dia langsung tidak sadarkan diri. Teman-temannya mengira kalau dia hanya berpura-pura saja.

Melihat abang saya tidak kunjung sadar, mereka pun memutuskan untuk membawanya kembali pulang ke rumah kami. Sesampai di rumah ternyata abang belum juga sadarkan diri.

Dalam keadaan masih belum sadarkan diri, keluarga memutuskan untuk membawanya ke RS Umum Sintang untuk memastikan apa yang terjadi. Sesampai di rumah sakit abang saya belum juga sadarkan diri. Sampai kemudian keluarga kami harus menerima kenyataan pahit kalau abang saya sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Sebuah kenyataan yang tidak mudah untuk diterima. Bagi saya sendiri, kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan. Soalnya abang pergi saat saya masih berada di tanah rantau, yakni Kota Malang, dalam rangka studi.

Saya tentu tidak bisa langsung pulang kampung mengingat jarak pulau Jawa-Kalimantan yang tidak dekat. Ditambah lagi peristiwa itu terjadi ketika saya baru beberapa hari memulai Ujian Akhir Semester.

Di Seminari Tinggi kami memang tidak dijinkan untuk membawa HP. Karena itu, keluarga di kampung menghubungi salah satu staf pembina. Waktu itu abang saya yang tertua yang menghubungi. Sebetulnya saya juga sudah mendengar ada banyak suara isak tangis saat abang sedang menelpon.

Saya sempat bertanya apa yang terjadi. Mengetahui bahwa saya sedang dalam masa ujian, abang pun hanya berpesan agar saya belajar dengan baik. Saya pun tidak berani bertanya lebih lanjut.

Pastor pembina juga berpesan hal yang sama. Saya pun hanya mengiyakan meski dalam hati berkata pasti ada yang tidak beres di kampung sana.

Selesai bertemu pastor pembina, saya pun kembali ke kamar dengan segudang pertanyaan. Karena masih dalam suasana ujian, saya berusaha untuk menenangkan hati dan pikiran. Akan tetapi, hati dan pikiran kembali tidak tenang ketika esok paginya saya melihat ikan di kolam unit kami ada beberapa yang mati.

Saya berpikir ini merupakan pertanda yang tidak baik. Benar saja. Setelah ujian selesai, pastor pembina kembali menyuruh saya datang ke kamarnya. Dengan berat hati beliau pun mengatakan kalau abang saya yang nomor tiga telah meninggal dunia.

Meski tidak menangis sejadi-jadinya, saya tetap tak mampu menyembunyikan kesedihan saya. Apalagi sudah empat tahun -- saya berangkat ke Malang tahun 2005 -- saya pergi meninggalkan kampung halaman.

Harusnya tahun ini (tahun 2008) menjadi momen yang sangat membahagiakan bagi saya. Pasalnya, selesai ujian semester kami diberi kesempatan untuk berlibur ke Kalimantan kurang lebih selama tiga bulan.

Sebelum berita duka ini tiba, saya sudah membayangkan rumah kami akan dipenuhi suka cita menyambut kepulangan saya. Namun, kenyataan hidup berbicara lain. Saking tidak terima dengan kenyataan yang ada, kepada Tuhan saya berkata: "Tuhan, saya selalu siap kehilangan orang-orang yang saya kasihi. Tapi kenapa Engkau tidak menunggu saya tiba di rumah dulu agar saya bisa melihat wajah mereka untuk yang terakhir kalinya?"

Saat untuk pulang kampung pun tiba. Waktu itu kami menggunakan kapal laut jurusan Surabaya-Pontianak. Memakan waktu tiga hari dua malam. Selama dalam perjalanan saya berusaha untuk menghibur diri. Bersyukur ada teman-teman seperjalanan pulang yang selalu memberi penghiburan.

Setelah menempuh perjalanan yang amat panjang dan melelahkan, saya pun tiba di kampung halaman tercinta. Tentu sudah banyak yang berubah karena sudah empat tahun saya tinggalkan.

Ingin rasanya merayakan kepulangan ini dengan penuh suka cita. Namun apa daya, suasana duka masih menyelimuti keluarga kami. Meski merasa sedih, hati saya cukup merasa senang karena bisa melihat senyum di wajah Ayah dan saudara-saudara saya.

Tidak demikian ketika saya melihat wajah Ibu. Kedatangan saya sepertinya belum mampu menghadirkan senyum di wajahnya. Beliau lebih banyak diam dan mengurung diri di dalam kamar.

Bulan pertama liburan di kampung, saya belum bisa menikmatinya dengan sepenuh hati. Hati dan pikiran saya belum bisa tenang karena selalu memikirkan Ibu. Beliau memang sudah mulai perlahan mengikhlaskan kepergian abang. Dia sudah mulai bekerja seperti biasa. Hanya sayangnya, beliau seringkali lupa makan. Atau mungkin tepatnya sengaja tidak mau makan.

Sebagai akibatnya, beberapa kali beliau jatuh pingsan. Pernah suatu sore saya sedang asyik bermain bola bersama teman-teman, tiba-tiba datang adik perempuan saya yang bungsu mengatakan kalau Ibu jatuh pingsan.

Memasuki bulan kedua masa liburan, saya melihat sudah ada titik terang. Ibu sudah kembali ceria seperti semula meski aura kesedihan masih menyelimuti wajahnya.

Memasuki bulan terakhir berada di kampung, saya sudah merasa lega. Ibu sudah bisa kembali tertawa dan sudah mulai membuka diri bergaul dengan orang lain. Mungkin beliau tahu kalau sebentar lagi saya akan kembali ke Malang. Beliau tidak ingin anaknya berangkat dengan membawa sejuta rasa khawatir.

Waktu liburan pun selesai. Sudah saatnya bagi saya untuk kembali meninggalkan rumah demi melanjutkan studi. Saya harus pergi karena studi saya waktu itu belum ada apa-apanya. Saya masih butuh waktu kurang lebih enam tahun lagi untuk menggapai cita-cita saya.

Saya hanya berpesan kepada Ayah dan saudara-saudara agar selalu mendampingi dan merawat Ibu dengan baik. Dan kepada Ibu, saya hanya berpesan untuk selalu berdoa agar saya selalu sehat dan bisa menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya.

Puji Tuhan, akhirnya pada tahun 2011 saya bisa menyelesaiakn studi di Malang dengan baik. Ada banyak tantangan yang harus dilalui. Tapi, ketegaran Ibu dalam menghadapi dan melewati masa-masa sulit saat kehilangan putranya, telah menjadi penyemangat bagi saya agar tidak gampang menyerah.

Saat yang dinanti-nantikan pun tiba. 7 Agustus 2014 menjadi hari yang sangat spesial buat Ibu. Di hari itulah beliau  mengiringi langkah putranya menuju ke altar Tuhan untuk menerima tahbisan imamat.

Kebahagiaan terpancar di wajahnya karena sudah bisa mempersembahkan salah seorang putranya untuk Tuhan dan Gereja. Kebahagiaan yang dulu sempat hilang karena kehilangan salah seorang putranya, kini telah ia dapatkan kembali dengan menyaksikan putranya yang lain ditahbiskan menjadi seorang pastor.

Kini sudah hampir tujuh tahun saya menjadi seorang pastor. Sudah ada banyak rintangan, hambatan dan tantangan yang dihadapi. Ke depannya saya juga tidak akan pernah lepas dari itu semua. Namun, ketegaran hati Ibu akan selalu menjadi sumber kekuatan bagi saya dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup.

Terima kasih Ibu. Tuhan jaga selalu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun