Saudara kami yang meninggal ini adalah abang saya yang nomor tiga. Kami ada enam bersaudara. Empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Saya sendiri adalah anak yang ke-5.
Peristiwa yang sangat menyedihkan ini terjadi pada pertengahan tahun 2008. Kehilangan salah seorang anggota keluarga memang selalu menyakitkan dan menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi bila dia pergi dengan cara yang tidak wajar.
Kami sekeluarga tentu merasa kehilangan yang mendalam. Tapi Ibu-lah yang sangat terpukul atas kehilangan ini. Perlu waktu yang cukup lama bagi beliau untuk bisa menerima kenyataan pahit ini dan mengikhlaskan kepergian abang tercinta.
Saya ingin bercerita sedikit bagaimana Abang saya ini bisa meninggal. Peristiwa ini terjadi saat musim Gawai (pesta syukur atas hasil panen). Sudah menjadi tradisi bagi kami orang Dayak akan mengadakan silaturahmi ketika ada Gawai di kampung yang lain. Â
Nah, suatu kali ada satu kampung tetangga mengadakan Gawai. Bersama dengan beberapa temannya, abang saya pun pergi ke kampung tersebut dan singgah di sebuah rumah yang anggotanya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kami.
Oleh tuan rumah mereka pun disuguhi teh sambil menunggu makanan selesai dihidangkan. Lalu, mereka dipersilakan makan dalam posisi air teh dalam keadaan belum habis. Setelah selesai makan, mereka pun kembali ke tempat duduk semula.
Karena di dalam gelas masih ada air teh yang tersisa, abang saya pun kembali meneguknya sampai habis. Namun apa yang terjadi? Selesai dia meneguknya, tiba-tiba saja dia langsung tidak sadarkan diri. Teman-temannya mengira kalau dia hanya berpura-pura saja.
Melihat abang saya tidak kunjung sadar, mereka pun memutuskan untuk membawanya kembali pulang ke rumah kami. Sesampai di rumah ternyata abang belum juga sadarkan diri.
Dalam keadaan masih belum sadarkan diri, keluarga memutuskan untuk membawanya ke RS Umum Sintang untuk memastikan apa yang terjadi. Sesampai di rumah sakit abang saya belum juga sadarkan diri. Sampai kemudian keluarga kami harus menerima kenyataan pahit kalau abang saya sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Sebuah kenyataan yang tidak mudah untuk diterima. Bagi saya sendiri, kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan. Soalnya abang pergi saat saya masih berada di tanah rantau, yakni Kota Malang, dalam rangka studi.
Saya tentu tidak bisa langsung pulang kampung mengingat jarak pulau Jawa-Kalimantan yang tidak dekat. Ditambah lagi peristiwa itu terjadi ketika saya baru beberapa hari memulai Ujian Akhir Semester.