"Bumi menyediakan cukup bahan untuk memuaskan setiap keperluan manusia, tetapi bukan untuk setiap keserakahan manusia" - Gandhi.
Semula saya ingin membubuhkan tanda tanya pada akhir judul artikel ini. Keinginan tersebut bukan karena saya mengalami kebingungan berkaitan dengan penggunaan tanda tanya (?) di akhir judul apakah sesuai atau tidak dengan kaidah penulisan judul.
Saya hanya berpikir, bila saya bubuhkan tanda tanya (?) di akhir judul, maka tulisan ini hanya akan berkutat pada pembuktian apakah alam itu memang sungguh memiliki kekuatan mistis atau tidak. Selain juga dapat menjadi indikasi kalau saya masih meragukan sebuah kepercayaan yang dianut oleh sebuah komunitas adat.
Saya tidak menaruh tanda tanya (?) karena dalam hemat saya hal tersebut tidak perlu lagi dibuktikan kebenarannya. Saya pernah menulis tentang Adat Pati dalam kearifan berladang suku Dayak (klik di sini). Dan juga pernah membahas tentang peran suara burung dan mimpi dalam proses berladang (lihat di sini).
Semua itu tak lain dalam rangka hendak menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat adat Dayak Desa akan alam yang memiliki kekuatan mistis itu benar adanya.
Fenomena pederak yang akan saya sajikan berikut juga sebagai bentuk penegasan akan kepercayaan tersebut.
***
Apa itu pederak? Anda pernah masuk hutan? Lalu setelah beberapa waktu sampai di rumah tiba-tiba mengalami demam atau sakit kepala atau sakit perut?
Saya sendiri sejauh yang saya ingat pernah mengalaminya ketika masih remaja dulu. Maklum saja hidup di kampung, masa kecil rasanya kurang bahagia kalau tidak menghabiskan hari-hari di dalam hutan.
Pertanyaan di atas tentu saja hanya bagi mereka yang hidup di kampung. Yang kesehariannya keluar masuk hutan. Bagi Anda yang hidup di kota, yang kesehariannya melihat bangunan-bangunan mewah, yang tempat bermainnya di mall dan bioskop, abaikan saja pertanyaan tersebut.
Nah...kondisi di mana seseorang mengalami sakit ringan ini oleh masyarakat adat Dayak Desa dinamakan dengan "pederak". Hutan secara keseluruhan memang memiliki kekuatan mistis.
Namun menurut kepercayaan suku Dayak Desa, ada dua lokasi yang bisa mendatangkan pederak, yakni lokasi pekuburan dan gupung (dikategorikan sebagai tanah pamali karena menjadi lokasi makam para leluhur).
Bagaimana mengatasi atau mengobati orang yang mengalami pederak? Menurut orang kampung sakit karena pederak ini masih tergolong ringan. Karena itu, mereka tak perlu mengeluarkan biaya untuk pergi ke dokter atau mantri. Cukup dengan mendatangi orang-orang tua, sakit yang diderita bisa menjadi sembuh. Â
Cara pengobatannya pun sangat sederhana. Cukup dengan meminum air putih + garam yang sudah dijampi-jampi, atau hanya dengan membuat tanda salib pada pusar, maka penyakit akan sembuh. Tentu saja tidak dengan serta-merta.
Secepat dan sesederhana itu memang analisa dan pengobatan yang dilakukan oleh orang kampung terhadap mereka yang mengalami pederak.
Akan tetapi, sesungguhnya ada pesan penting di balik kesederhanaan cara berpikir masyarakat adat terkait dengan fenomena pederak ini. Saya pernah menulis tentang fenomena palit dan kempunan (Sila klik di sini).
Untuk sekadar mengingatkan, kempunan adalah kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial karena tidak mencicipi atau menyentuh (palit) makanan/minuman yang ditawarkan oleh orang lain kepadanya.
Barangkali agak sulit bagi beberapa orang untuk meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara palit dan kempunan. Dengan kata lain, musibah atau kemalangan yang menimpa seseorang terjadi karena ada faktor lain yang menyebabkannya, misalnya karena kelalaian orang tersebut.
Namun terlepas dari ada tidaknya hubungan sebab-akibat itu, terkandung sebuah pesan yang sangat dalam ketika orang menyuruh kita palit. Yakni sebagai bentuk penghormatan, ungkapan cinta yang tulus murni kepada kita. Juga sebagai ungkapan doa demi kebaikan dan keselamatan hidup kita.
Begitupun dengan pederak. Pastilah ada dari antara kita yang melihat adanya ketidaklogisan seseorang yang baru saja pulang dari dalam hutan lalu tiba-tiba menjadi sakit. Namun seperti fenomena palit dan kempunan, fenomena pederak sesungguhnya juga mau mewartakan beberapa pesan terkait dengan perlakuan manusia terhadap alam.
Pertama, agar manusia bersikap baik dan sopan ketika memanfaatkan atau bersentuhan dengan alam. Orang Dayak yakin bahwa alam itu memiliki "roh", "jiwa" tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia. Maka dari itu harus dihormati.
Oleh karena itu pula perilaku manusia harus baik dan sopan dalam memanfaatkan alam atau ketika harus bersentuhan dengan alam. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.
Kedua, karena alam itu memberikan kehidupan, maka manusia tidak boleh serakah dalam menggarapnya. Masyarakat adat Dayak Desa menyadari betul akan besarnya manfaat alam bagi keberlangsungan hidup mereka.
Karena itu, agar manfaat itu bisa terus dirasakan dan relasi harmonis dengannya bisa terus terpelihara, mereka menggarap lahan perladangan secara beraturan dan bertanggung jawab (beradat). Penggarapan itu juga dilakukan dengan memperhatikan serta menghormati hak-hak sesama atas tanah dan air.
Dan yang tak pernah boleh diabaikan, mereka harus memperhatikan tanda-tanda alam, lewat mana Yang IIahi menyampaikan pesan, apakah lokasi tertentu boleh digarap atau tidak. Bagian-bagian tertentu dari hutan atau lahan tidak pernah bisa digarap, apabila dianggap tidak direstui oleh Yang Ilahi.
Poin kedua di atas menjadi penting untuk diperhatikan. Terlebih lagi ketika dihadapkan pada fakta masifnya deforestasi di Kalimantan. Saya tidak mau berpanjang lebar mengurai fakta yang menyedihkan tersebut.
Cukup saya mengutip dari laman https://www.mongabay.co.id yang dalam salah satu artikel yang berjudul "Sepertiga Hutan Kalimantan Rusak Sejak 1973", menyatakan: "Hasil dari sebuah penelitian terbaru menunjukkan lebih dari 30 persen dari hutan tropis Kalimantan telah hancur selama 40 terakhir akibat kebakaran, industri penebangan kayu dan industri perkebunan." (klik di sini).
Kalaupun ada yang masih merasa ragu dengan fakta tersebut, lihat saja gambar di atas yang saya jadikan ilustrasi untuk artikel ini. Tanpa bantuan para ahli, kita sudah bisa membaca dan menarik kesimpulan betapa menyedihkannya situasi hutan Kalimantan.
***
Bahwa apakah adanya fenomena pederak menjadi bukti kalau alam itu memiliki kekuatan mistis, tentu saja masih terbuka ruang untuk diskusi. Mereka yang menamakan diri kaum intelektual bisa dengan leluasa mempelajari kearifan-kearifan lokal dalam komunitas-komunitas asli.
Namun satu hal yang harus mereka garis bawahi, kearifan lokal yang memiliki karakter lekat dengan locus (tempat), tidak sekadar mengatakan sudut pandang geografis.
Sebuah tempat tinggal yang berupa dataran atau pegunungan atau pinggiran pantai, atau pinggiran hutan atau sawah, bukan hanya perkara geografis, melainkan mengurai suatu kebijaksanaan khas. Kebijaksanaan berupa produk relasionalitas manusia dengan alam tempat dia bertumbuh dan berkembang. Â
Apa yang mau saya katakan ialah, meski dengan kekuatan akal budinya kaum intelektual mampu membongkar ketidaklogisan mitos, fenomena, legenda dan sejenisnya dalam sebuah komunitas adat, mereka juga harus memahami bahwa mitos bukanlah kisah khayalan atau hanya sebuah cerita untuk pengantar tidur.
Mitos merupakan suatu "rasionalitas" dalam bentuk perdananya yang merupakan produk relasionalitas manusia dengan alam hidupnya (Armada Riyanto, Kearifan Lokal ~ PANCASILA. Butir-Butir Filsafat Keindonesiaan).
Hal tersebut menjadi penting untuk mereka pahami agar komunitas lokal tidak dipandang sebagai manusia terbelakang, tak beradab, hanya karena meyakini Yang Ilahi itu hadir pada pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar dan tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Dan, jangan sampai pula mereka malah mengusulkan agar hutan dibabat habis karena telah menyebabkan penduduk menderita sakit. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memang selalu membersihkan sebuah tempat atau lokasi yang bisa menjadi sumber dan mendatangkan penyakit. Namun dalam relasi manusia dengan alam, cara seperti itu tentulah tak bisa diterapkan.
Alam memang bisa mendatangkan sakit penyakit pada manusia. Bila hutan dibabat habis tentu saja penduduk tidak akan lagi mengalami pederak. Akan tetapi, jika pembabatan hutan adalah solusinya, pederak mungkin akan hilang, tapi akan muncul "pederak" lain dalam bentuk yang lebih ganas dan mematikan. Yakni, dalam bentuk banjir, tanah longsor dan sebagainya.
***
Dengan mengangkat fenomena pederak sebagai bahan tulisan, bagi sebagian orang mungkin sebuah pekerjaan yang sia-sia saja. Saya tidak menuntut orang untuk meyakini bahwa orang kampung mengalami pederak karena mereka baru pulang dari dalam hutan. Namun satu hal yang pasti, hutan kami sedang berada pada situasi yang memprihatinkan.
Aneka macam gelar bisa kami peroleh dengan menuntut ilmu setinggi mungkin. Gelar yang tentu saja akan menjadikan kami sebagai orang terpandang. Namun semua gelar itu tidak akan memberi kami hidup, selama hutan kami dibabat habis.
Hutan adalah sumber hidup kami. Karena itu, kepercayaan akan alam yang memiliki kekuatan mistis akan selalu hidup dalam komunitas adat Dayak Desa dan suku Dayak pada umumnya. Kepercayaan ini telah, sedang dan akan selalu menuntun mereka dalam memperlakukan alam dengan penuh hormat dan beradat.
Salam Lestari.
GN, Polandia, 31 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H