Religiusitas manusia nampak dalam penghayatan hidup sehari-hari dalam mereka mengalami dan menghayati kehadiran Yang Mahatinggi. Beragam ritual dan upacara adat yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengalami Yang Ilahi dalam hidup sehari-hari.
Bagaimana cara mengalami dan menghayati kehadiran Yang Ilahi tersebut? Melalui simbol-simbol. Manusia itu adalah makhluk simbolis (homo symbolicus).Â
Sebagai homo symbolicus, manusia mengekspresikan dirinya dalam tindakan-tindakan simbolis. Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden.Â
Simbol memiliki salah satu karakteristik, yakni membuka tataran realitas yang tertutup bagi manusia (Paul Tilich, Dynamics of Faith).
Nasi putih, pulut, kopi, dan tuak, bagi orang Dayak Desa, merupakan medium untuk mengalami Yang Transenden tersebut. Tidak heran kemudian keempat bahan makanan ini selalu dijadikan sebagai bahan sesajen (pegelak) dalam beberapa ritual dan upacara adat.
Penggunaan bahan-bahan tersebut sebagai pegelak menjadi simbol keterbukaan dan keterarahan mereka pada Yang Ilahi (Petara Yang Agung). Sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang.Â
Dan di saat yang sama sebagai bentuk permohonan agar Petara senantiasa memberkati dan melindungi usaha dan pekerjaan mereka, terutama dalam berladang, supaya selalu menghasilkan hasil panen yang baik dan berlimpah.
Kedua, berkaitan dengan hospitalitas. Ketika ada orang menyuruh kita palit sejatinya itu adalah ungkapan atau bentuk penghormatan, kemurahan hati dari seseorang atau tuan rumah kepada kita. Juga sebagai bentuk undangan untuk turut mensyukuri rezeki yang sudah diterima lewat makan atau minum bersama.
Tuak misalnya. Minuman tradisional ini hampir selalu di jumpai dalam suku-suku Dayak yang hidup di tanah Kalimantan. Selain digunakan dalam beberapa pesta adat, tuak selalu disajikan ketika ada tamu-tamu kehormatan datang berkunjung.
Suka atau tidak, para tamu yang datang harus meminumnya biarpun hanya sedikit. Karena itu adalah bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap tamu yang sudah bersedia mengunjungi mereka.
Bahwa palit sebagai undangan untuk turut serta dalam rasa syukur sangat jelas ketika musim Gawai (pesta syukur atas hasil panen) tiba. Bagi peladang, pesta syukur ini adalah puncak dari seluruh proses perladangan.Â