Kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial tersebut oleh orang Dayak Desa dinamakan dengan kempunan. Kempunan memang bisa terjadi. Tapi menurut kepercayaan suku Dayak Desa, ia juga bisa ditangkal.Â
Cara menangkalnya ialah dengan palit. Jika seseorang sudah melakukan palit, maka diyakini dia akan terhindar dari celaka atau kemalangan.
Begitu berbahayanya kempunan, dalam sub suku Dayak lain bahkan sampai dibuat hukum Adat Kempunan. Informasi ini saya peroleh dari seorang teman yang berasal dari suku Dayak Seberuang.Â
Dia mengatakan kalau di dalam suku mereka, hukum Adat Kempunan dikenakan kepada mereka yang melanggar janji yang telah dibuat terhadap orang lain.Â
Dia mengambil contoh seseorang yang telah berjanji ingin memotong babi, lalu ternyata batal. Padahal, ada beberapa orang yang sudah berencana ingin membeli daging babi tersebut. Dalam kasus ini, orang tersebut akan terkena hukum Adat Kempunan.
Karena itu, agar terhindar dari hukum adat, orang di kampung mereka tidak akan mengabarkan kepada orang lain terlebih dahulu kalau mereka ingin memotong babi. Mereka baru memberitahu orang lain jika babi tersebut benar-benar telah dipotong.
***
Fenomena palit dan kempunan tidak hanya dijumpai dalam suku Dayak Desa. Hampir semua sub suku Dayak yang ada di Kalimantan mengenal kedua fenomena ini. Di beberapa suku lain, palit bisa juga disebut ngomomalek, pelopas, posek, pusam.
Palit dan kempunan sesungguhnya bukan hanya sebuah fenomena biasa yang tanpa makna. Dalam hemat saya, ada beberapa pesan moral dan religius yang sangat penting di balik kehadiran kedua fenomena ini.
Pertama-tama, berkaitan dengan religiusitas suku Dayak Desa yang kebanyakan hidup sebagai peladang. Apa kaitan bahan-bahan makanan tersebut dengan religiositas suku Dayak Desa?Â
Religiusitas, menurut Tom Jacobs dalam bukunya Paham Allah dalam Filsafat Agama-Agama dan Teologi, itu mencakup keseluruhan pribadi manusia. Ia lebih melihat aspek di dalam lubuk hati manusia.