Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Kabupaten Sintang, Ada Narasi Dehumanisasi?

26 September 2020   16:24 Diperbarui: 27 September 2020   00:13 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: kalbaronline.com

Semula saya menggebu-gebu ingin menyajikan tulisan ini dalam sebuah puisi. Apalagi setelah membaca artikel Romo Bobby (Ruang Berbagi) tentang 5 Keuntungan Menulis Karya Fiksi. Ditambah lagi dengan beliau membesarkan hati saya: "Bisa dicoba buat puisi tentang budaya atau puisi rohani. Yang penting ada sedikit rima dan dari hati yang tulus".

Mendapat inspirasi dan peneguhan, saya pun mencoba dengan setulus hati merangkai kata demi kata agar kalau puisi tersebut nanti sudah rampung, mereka yang membacanya akan terkesima. Namun setelah merasa usaha saya tersebut bak memindahkan air laut ke dalam sebuah lubang pasir, saya pun mundur teratur.

Saya putuskan untuk tidak melanjutkan proyek tendensius saya tersebut. Saya khawatir, jangan-jangan dengan memaksa diri membuat puisi, saya tidak bisa memetik manfaat seperti yang ditulis oleh Romo Bobby, yakni bisa menjadi sarana penyembuhan diri. Alih-alih menjadi sarana penyembuhan, yang ada malah menjadi sarana penyiksaan diri.

Jika digarap dengan serius rasanya tentu bisa menghasilkan puisi yang indah. Namun, jujur akan keterbatasan dan kemampuan diri sendiri itu juga sebuah keindahan. Betul?

Apa gerangan yang terjadi dengan Pilkada di Kabupaten Sintang sehingga membuat saya menjadi begitu dilema antara menuangkannya dalam bentuk puisi atau opini?

Sekedar informasi, Kabupaten Sintang itu letaknya di Provinsi Kalimantan Barat. Dari Ibu Kota Provinsi, Pontianak, kurang lebih 10 jam menggunakan bus dan 31 menit jika melewati jalur udara.

Kembali ke soal pilkada. Untuk diketahui, sudah ada tiga pasangan calon resmi yang akan meramaikan Pilkada Kabupaten Sintang kali ini. Ada pasangan Jarot Winarno-Yosef Sudiyanto (JADI), Askiman-Hatta (KITA) dan Yohanes Rumpak-Syarifuddin (YES).

Pasangan JADI diusung oleh Partai Nasdem, Partai Golkar, PKB, PP dan PKPI. Sementara itu pasangan KITA diusung oleh Partai Demokrat dan Partai Hanura. Sedangkan untuk pasangan YES diusung oleh Partai PDI Perjuangan, Partai PAN, Partai Gerindra, Partai Perindo dan Partai Gelora Indonesia.

Pasangan mana yang berpeluang untuk menang? Strategi apa yang harus digunakan masing-masing calon untuk meraup suara sebanyak-banyaknya? Tulisan ini jauh dari upaya menjawab persoalan tersebut. Biarlah hal itu menjadi urusan para pakar politik dengan analisis-analisis jitunya.

Saya hanya mau mencoba menyoroti perang narasi antarkubu, yang dalam hemat saya sudah menyerempet kepada hal-hal mendasar dalam dan bagi hidup manusia. Bahkan jika mau ditelisik lebih dalam, ada terminologi tertentu yang menjurus kepada rasialisme.

Dari jagat dunia maya saya menemukan beberapa narasi yang akhir-akhir ini menghiasi ruang publik bumi Senentang (Kab. Sintang). Mari sejenak kita simak.

"Pemimpin yang lahir dari rakyat, tidak perlu lagi berpura-pura merakyat dan nongkrong di warung kopi. Sebab masalah rakyat tidak akan selesai dengan segelas kopi ataupun selfi".

"Semua manusia memerlukan air susu dan air putih karena itu adalah sumber kehidupan. Tapi tidak semua manusia minum kopi, karena kopi adalah bagian dari selera"

"Berani mempercayakan kelanjutan pembangunan Kabupaten Sintang pada anak-anak yang hanya minum air putih dan minum susu?"

Apa yang salah dengan air putih, air susu, dan kopi? Mengapa keberadaan mereka harus menjadi bulan-bulanan para perengkuh kekuasaan?

Mereka seolah-olah lupa bahwa kehidupan yang sedang mereka jalani sekarang ini tidak lepas dari peran penting air putih, air susu, dan kopi. Mereka bisa menikmati hidup sampai hari ini semua itu berkat air putih, air susu, dan kopi yang pernah dan selalu mereka teguk setiap harinya.

Narasi-narasi di atas mengandung muatan perendahan terhadap martabat manusia? Atau mungkin mengandung tindakan rasis terhadap suku tertentu, dalam hal ini suku Dayak?

Terhadap pertanyaan kedua jawabannya bisa ya, bisa tidak. TIDAK, bila air susu yang dimaksud adalah sungguh-sungguh Air Susu Ibu (ASI). YA, bila air susu yang dimaksud adalah tuak. Sebab, orang Dayak seringkali menyebut tuak dengan Susu Kalimantan.

Bagi sebagian orang, tuak mungkin hanya dipandang sebagai minuman yang memabukkan, merusak badan, menjadi sumber pertengkaran suami-istri, dll. Namun INGAT! Bagi orang Dayak, tuak memiliki nilai sakral yang sangat tinggi. Pesta, upacara dan ritual adat belumlah sempurna adanya bila tidak ada tuak.

Poin utamanya bukan terletak pada kesakralan tuak itu sendiri, melainkan pada manusia-manusia yang memproduksi dan mengonsumsinya. Jika memang dengan mengonsumsi tuak, putra-putri Dayak dipandang tidak mempunyai mutu dan kualitas untuk menjadi seorang pemimpin, tidakkah ini adalah sebuah bentuk pelecehan atau perendahan terhadap harkat dan martabat manusia?

Semoga saja tafsiran saya salah. Kalau pun benar adanya, biarlah nanti rakyat sendiri yang menentukan pemimpin mana yang sungguh tulus memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan sungguh menghormati martabat hidup manusia.

Terhadap pertanyaan pertama tanpa ragu saya menjawab IYA. Di mana letak perendahan terhadap martabat hidup manusia? Pertanyaan ini akan menemukan jawabannya jika ketiga hal tersebut kita pandang sebagai simbol-simbol yang di dalamnya terkandung hidup dan perjuangan anak manusia untuk bertahan hidup, serta pengorbanan untuk menghidupi orang-orang terkasih.

Jika demikian, hemat saya, menjadikan ketiga hal tersebut sebagai simbol untuk menyindir, menyerang, meremehkan lawan politik sudah dengan sendirinya merendahkan martabat hidup manusia itu sendiri.

AIR PUTIH... Siapa dari kita yang berani menyangkal kalau air itu adalah sumber kehidupan. Di mana ada air, di situ ada kehidupan. Keberadaan air memberi banyak manfaat bagi hidup manusia. Begitu juga sebaliknya. Ketiadaannya mendatangkan banyak derita dan sengsara bagi umat manusia.

AIR SUSU... Air susu pun adalah sumber kehidupan. Berbicara tentang air susu kita akan langsung teringat pada sosok ibu. Sosok yang dengan sepenuh jiwa raga menghidupi anak-anaknya dengan air susunya. Dia tak pernah takut apalagi menyesal karena kehabisan air susu miliknya. Sebab baginya, kehabisan air susu merupakan kehidupan bagi anak-anaknya.

Andai saja mereka yang memainkan narasi-narasi tersebut menyadari betapa besar pengorbanan seorang ibu, pastilah air susu tidak akan dilibatkan dalam arena pertarungan yang tak jarang mempertontonkan atraksi politik yang sengit dan garang.

KOPI...Bahwa tidak semua orang suka minum kopi adalah kenyataan yang harus kita terima. Namun kenyataan tidak lalu membuat mereka yang suka ngopi memandang rendah mereka yang tidak menyukainya. Ada alasan-alasan tertentu yang harus kita hormati mengapa mereka tidak suka.

Kopi itu perekat kebersamaan dan persaudaraan. Dari sekian banyak pengalaman bersamanya,saya teringat suatu kali pernah berjalan-jalan di pasar. Seorang umat yang mengenali saya datang menghampiri. Lalu kami berdua pun berbagi kisah pengalaman hidup sambil menikmati kopi. Betapa hidup ini menjadi indah dan berharga dengan saling menyapa dan menerima satu sama lain.

Tapi, di balik kenikmatan rasanya itu, tersimpan perjuangan anak manusia (baca: para petani kopi) yang tak kenal lelah membanting tulang untuk bertahan hidup.

***

Bergulirnya narasi-narasi di atas seakan makin mempertegas kalau filosofi "Machiavelis" -- tujuan menghalalkan segala cara -- memang sudah menjadi roh dari sebuah kontestasi politik. Alhasil, berpolitik tidak lebih dari sekedar mendapatkan kekuasaan, pengaruh, kedudukan dan kekayaan. Berpolitik, dengan demikian, sudah menyimpang jauh dari tujuan utamanya: MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN UMUM.

Siapa yang patut disalahkan dengan bergulirnya narasi-narasi tersebut? Rasanya bukan persoalan ini yang perlu mendapat perhatian. Berkutat pada persoalan ini hanya akan semakin memperkeruh suasana, yang ujung-ujungnya bisa menimbulkan konflik horizontal.

Sudah saatnya menghentikan narasi-narasi yang berpotensi memecah belah masyarakat. Apalagi narasi-narasi yang melecehkan dan merendahkan martabat hidup manusia. Upaya mewujudkan kesejahteraan hidup masyarakat akan bisa terwujud bila pertama-tama martabat hidup manusia itu dijunjung tinggi. Bukan malah dilecehkan dan diinjak-injak.

"Kaum penguasa yang tidak bekerja untuk kepentingan kesejahteraan umum, adalah gerombolan perampok" (St. Agustinus)

GN, Polandia, 26 September 2020

Referensi
antaranews.com
kumparan.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun