Terhadap pertanyaan pertama tanpa ragu saya menjawab IYA. Di mana letak perendahan terhadap martabat hidup manusia? Pertanyaan ini akan menemukan jawabannya jika ketiga hal tersebut kita pandang sebagai simbol-simbol yang di dalamnya terkandung hidup dan perjuangan anak manusia untuk bertahan hidup, serta pengorbanan untuk menghidupi orang-orang terkasih.
Jika demikian, hemat saya, menjadikan ketiga hal tersebut sebagai simbol untuk menyindir, menyerang, meremehkan lawan politik sudah dengan sendirinya merendahkan martabat hidup manusia itu sendiri.
AIR PUTIH... Siapa dari kita yang berani menyangkal kalau air itu adalah sumber kehidupan. Di mana ada air, di situ ada kehidupan. Keberadaan air memberi banyak manfaat bagi hidup manusia. Begitu juga sebaliknya. Ketiadaannya mendatangkan banyak derita dan sengsara bagi umat manusia.
AIR SUSU... Air susu pun adalah sumber kehidupan. Berbicara tentang air susu kita akan langsung teringat pada sosok ibu. Sosok yang dengan sepenuh jiwa raga menghidupi anak-anaknya dengan air susunya. Dia tak pernah takut apalagi menyesal karena kehabisan air susu miliknya. Sebab baginya, kehabisan air susu merupakan kehidupan bagi anak-anaknya.
Andai saja mereka yang memainkan narasi-narasi tersebut menyadari betapa besar pengorbanan seorang ibu, pastilah air susu tidak akan dilibatkan dalam arena pertarungan yang tak jarang mempertontonkan atraksi politik yang sengit dan garang.
KOPI...Bahwa tidak semua orang suka minum kopi adalah kenyataan yang harus kita terima. Namun kenyataan tidak lalu membuat mereka yang suka ngopi memandang rendah mereka yang tidak menyukainya. Ada alasan-alasan tertentu yang harus kita hormati mengapa mereka tidak suka.
Kopi itu perekat kebersamaan dan persaudaraan. Dari sekian banyak pengalaman bersamanya,saya teringat suatu kali pernah berjalan-jalan di pasar. Seorang umat yang mengenali saya datang menghampiri. Lalu kami berdua pun berbagi kisah pengalaman hidup sambil menikmati kopi. Betapa hidup ini menjadi indah dan berharga dengan saling menyapa dan menerima satu sama lain.
Tapi, di balik kenikmatan rasanya itu, tersimpan perjuangan anak manusia (baca: para petani kopi) yang tak kenal lelah membanting tulang untuk bertahan hidup.
***
Bergulirnya narasi-narasi di atas seakan makin mempertegas kalau filosofi "Machiavelis" -- tujuan menghalalkan segala cara -- memang sudah menjadi roh dari sebuah kontestasi politik. Alhasil, berpolitik tidak lebih dari sekedar mendapatkan kekuasaan, pengaruh, kedudukan dan kekayaan. Berpolitik, dengan demikian, sudah menyimpang jauh dari tujuan utamanya: MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN UMUM.
Siapa yang patut disalahkan dengan bergulirnya narasi-narasi tersebut? Rasanya bukan persoalan ini yang perlu mendapat perhatian. Berkutat pada persoalan ini hanya akan semakin memperkeruh suasana, yang ujung-ujungnya bisa menimbulkan konflik horizontal.