Dari jagat dunia maya saya menemukan beberapa narasi yang akhir-akhir ini menghiasi ruang publik bumi Senentang (Kab. Sintang). Mari sejenak kita simak.
"Pemimpin yang lahir dari rakyat, tidak perlu lagi berpura-pura merakyat dan nongkrong di warung kopi. Sebab masalah rakyat tidak akan selesai dengan segelas kopi ataupun selfi".
"Semua manusia memerlukan air susu dan air putih karena itu adalah sumber kehidupan. Tapi tidak semua manusia minum kopi, karena kopi adalah bagian dari selera"
"Berani mempercayakan kelanjutan pembangunan Kabupaten Sintang pada anak-anak yang hanya minum air putih dan minum susu?"
Apa yang salah dengan air putih, air susu, dan kopi? Mengapa keberadaan mereka harus menjadi bulan-bulanan para perengkuh kekuasaan?
Mereka seolah-olah lupa bahwa kehidupan yang sedang mereka jalani sekarang ini tidak lepas dari peran penting air putih, air susu, dan kopi. Mereka bisa menikmati hidup sampai hari ini semua itu berkat air putih, air susu, dan kopi yang pernah dan selalu mereka teguk setiap harinya.
Narasi-narasi di atas mengandung muatan perendahan terhadap martabat manusia? Atau mungkin mengandung tindakan rasis terhadap suku tertentu, dalam hal ini suku Dayak?
Terhadap pertanyaan kedua jawabannya bisa ya, bisa tidak. TIDAK, bila air susu yang dimaksud adalah sungguh-sungguh Air Susu Ibu (ASI). YA, bila air susu yang dimaksud adalah tuak. Sebab, orang Dayak seringkali menyebut tuak dengan Susu Kalimantan.
Bagi sebagian orang, tuak mungkin hanya dipandang sebagai minuman yang memabukkan, merusak badan, menjadi sumber pertengkaran suami-istri, dll. Namun INGAT! Bagi orang Dayak, tuak memiliki nilai sakral yang sangat tinggi. Pesta, upacara dan ritual adat belumlah sempurna adanya bila tidak ada tuak.
Poin utamanya bukan terletak pada kesakralan tuak itu sendiri, melainkan pada manusia-manusia yang memproduksi dan mengonsumsinya. Jika memang dengan mengonsumsi tuak, putra-putri Dayak dipandang tidak mempunyai mutu dan kualitas untuk menjadi seorang pemimpin, tidakkah ini adalah sebuah bentuk pelecehan atau perendahan terhadap harkat dan martabat manusia?
Semoga saja tafsiran saya salah. Kalau pun benar adanya, biarlah nanti rakyat sendiri yang menentukan pemimpin mana yang sungguh tulus memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan sungguh menghormati martabat hidup manusia.