Bahkan dari beberapa pengalaman yang pernah saya jumpai, warga akan menghentikan proses berladang, meski sudah pada tahap yang cukup jauh, ketika mereka mengalami mimpi buruk.
Dalam beberapa kesempatan, bila kasus ini terjadi, keluarga yang bersangkutan akan melakukan ritual dan mempersiapkan sesajen sesuai dengan apa yang dipesankan dalam mimpi.Â
Setelah ritual adat itu dibuat, barulah mereka bisa melanjutkan proses pengerjaan ladang. Namun, ada beberapa jenis mimpi yang harus ditaati oleh warga. Bila mengalami mimpi tersebut, maka mereka tidak boleh berladang di tempat tersebut.
Sama seperti dalam kasus suara burung, pengabaian terhadap mimpi juga bisa mendatangkan bencana atau penyakit. Bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi anggota masyarakat yang lain.
Ketergantungan hidup pada alam memunculkan sebuah kesadaran bahwa kerelaan untuk bekerja sama dalam menjaga dan merawat alam merupakan suatu keharusan. Manusia harus menjalin kerja sama dengan sesama, dengan alam dan dengan wujud-wujud yang tak kelihatan itu untuk memelihara alam.Â
Hidup sebagai peladang mengantar mereka untuk memiliki partisipasi pada alam semesta. Namun, partisipasi ini bukan sebagai partisipasi konsumtif, melainkan partisipasi aktif untuk bekerja sama.Â
Dalam alam pikir masyarakat Dayak Desa sebagai peladang, kebersamaan dimaknai sebagai kebersamaan untuk mencapai hasil bersama. Mereka tidak mengambil kekayaan alam untuk diri mereka sendiri, tetapi tetap memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Catatan: Tentang peran suara burung dan mimpi ini pernah saya tanyakan langsung kepada ayah tercinta. Selaku Ketua Adat tentu beliau mempunyai pengetahuan yang cukup tentang budaya dan adat-istiadat subsuku Dayak Desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H