Dari beberapa artikel yang sudah pernah saya tulis, tiga (3) di antaranya berbicara tentang kearifan berladang suku Dayak, secara khusus dalam subsuku Dayak Desa. Mengapa saya tertarik menulis tentang kearifan berladang dan suku Dayak, pertama-tama karena saya lahir dari rahim seorang peladang. Bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang masyarakatnya kebanyakan hidup sebagai peladang.
Hal lain yang membuat saya tertarik mengangkat tema tersebut karena saya yakin ada banyak nilai-nilai positif dari aktivitas berladang yang berfaedah untuk kehidupan bersama. Gotong royong, kerja sama, rela berbagi dan berkorban, solidaritas, kesetaraan gender, merupakan beberapa nilai yang signifikan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Alasan lain yang tak kalah penting ialah berkaitan dengan prasangka buruk terhadap para peladang di mana seringkali dituduh menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan. Padahal, sesungguhnya mereka turut berperan serta dalam menjaga dan merawat alam dengan mengolahnya secara bijaksana dan bertanggung jawab.
Dalam tulisan kali ini, saya hendak mengetengahkan sebuah elemen yang bisa dikatakan sangat penting dalam kehidupan para peladang, yakni peran suara burung dan mimpi. Sebelum sampai pada bagaimana suara burung dan mimpi memainkan perannya dalam proses perladangan, pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu konsep manusia Dayak tentang alam.
Konsep tentang Alam
Salah satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri ialah masyarakat Dayak hidup dalam dan bersama alam. Alam sebagai tempat mereka hidup dan mencari nafkah bukanlah benda mati. Karena itu, alam tidak boleh diperlakukan dengan sewenang-wenang.Â
Manusia harus menghargai dan menghormati alam agar hidup mereka penuh dengan berkat, bukan kutuk. Alam tidak hanya bisa mendatangkan bahagia, tetapi juga celaka. Contoh kecil ialah apa yang tertulis dalam doa permohonan berikut:
"Sak, dua, tiga, empat, limak, enam, tujuh,... Kami tuk kak kerja, nebas-nebang di tok. Kami suruh berkat, kami suruh selamat, isak nadai sipat rangau punai, tingang kayu besai, tacah isau simpai, telih beliung betangkai. Asa adai tai kak ngacau ngricau, teka kitap kah ngau sayap, kisai kah ngau langai, terapak kah ngau suak, renyok kah ngau patuk, mati kah ngau taji".
(Artinya: "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,... Kami ini mau bekerja, menebas-menebang di sini. Kami mohon berkat, kami minta selamat, agar jangan disimbat ranting kasar, ditimpa kayu besar, terluka pisau simpai, tertimpa kapak bertangkai. Kalau ada yang mau mengacau, kibas dengan sayap, libas dengan ekor, tabrak dengan tubuh, remuk dengan paruh, matikan dengan taji")
Bagian yang saya cetak tebal mau menunjukkan bahwa alam sungguh bisa mendatangkan sakit dan celaka bagi manusia. Lalu, bagaimana agar alam bisa selalu mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan? Tidak ada pilihan lain bagi warga selain memelihara dan merawatnya. Alam adalah bagian dari hidup mereka.Â
Alam mendatangkan banyak manfaat dan keuntungan bagi hidup mereka. Dari alam mereka bisa mencari bahan untuk membangun rumah, mereka bisa berladang, mendapatkan bahan anyaman, berburu serta kegiatan lainnya. Semua itu sudah tersedia dan tidak akan musnah sejauh manusia bijaksana dan tidak serakah.
Bagi masyarakat suku Dayak, alam tempat mereka hidup dan bergerak memiliki unsur mistis. Mereka tidak hidup sendiri di alam itu, ada juga penghuni lain yakni dewa-dewa atau roh-roh.Â
Kenyataan ini menghantar mereka pada kesadaran supaya berhati-hati dalam memperlakukan alam. Wujud-wujud yang tak nampak itu bisa mendatangkan sakit, luka dan celaka bila diabaikan dalam gerak hidup sehari-hari. Sebaliknya, mereka bisa mendukung usaha, mendatangkan selamat bila keberadaan mereka diakui, dihormati dan dihargai.
Dari penjelasan di atas kita bisa memahami mengapa suara burung dan mimpi memainkan peran yang penting dalam seluruh proses perladangan.
Peran Suara Burung
Sebagaimana pernah saya tulis, setidaknya ada delapan tahap yang harus dilalui dalam pengerjaan ladang. Tahap pertama, yakni memilih lokasi (mangul) boleh dikatakan menjadi penentu apakah lahan yang dipilih bisa mendatangkan hasil yang baik atau tidak.
Pemilihan lokasi ini tidak hanya berkaitan dengan kesuburan tanah, tapi juga berkaitan dengan keselamatan anggota keluarga, bahkan seluruh anggota masyarakat.
Di sinilah suara burung memainkan peranannya. Suara burung menjadi salah satu tanda alam yang sampai hari ini masih diyakini membawa pesan-pesan penting bagi kebaikan dan keselamatan warga. Oleh karena itu, warga tidak boleh mengabaikannya.
Masyarakat suku Dayak Desa meyakini ada beberapa jenis burung yang suaranya merupakan pertanda buruk. Sebab itu, saat mereka membuka sebuah lokasi untuk berladang dan terdengarlah oleh mereka suara-suara burung tersebut, maka mereka tidak boleh membuka lahan di situ. Kalau suara burung itu diabaikan dapat mendatangkan akibat yang fatal terutama bagi segenap anggota keluarga.
Setidaknya ada tujuh jenis burung yang suaranya harus diperhatikan saat berladang. Ketujuh burung ini disebut sebagai tujuh burung pamali: ketupung, beragai, bejampung, pangkas, embuas (ngemuas), papau dan nendak.
Suara-suara burung tersebut tidak hanya harus diperhatikan selama proses perladangan, tapi juga dalam keseharian hidup masyarakat subsuku Dayak Desa. Sebagai contoh, ketika burung bejampung masuk ke dalam rumah, ia membawa pesan kalau rumah tersebut akan mengalami kebakaran.
Saya juga pernah menjumpai di mana saat acara adat menjemput mempelai perempuan, tiba-tiba di tengah perjalanan terdengar suara burung yang diyakini membawa pertanda buruk. Sesuai dengan ketentuan adat, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, kedua mempelai tidak diperbolehkan untuk tinggal serumah terlebih dahulu. Setelah batas waktu yang ditentukan itu selesai dijalani, barulah mereka boleh hidup serumah.
Peran Mimpi
Mimpi juga memainkan faktor yang menentukan saat warga hendak mulai berladang. Mimpi diyakini sebagai sarana yang dipakai oleh leluhur untuk menyampaikan pesan. Karena itu, kalau seseorang mengalami mimpi buruk, maka pengerjaan ladang pada tempat yang telah dipilih tidak akan dilanjutkan.Â
Bahkan dari beberapa pengalaman yang pernah saya jumpai, warga akan menghentikan proses berladang, meski sudah pada tahap yang cukup jauh, ketika mereka mengalami mimpi buruk.
Dalam beberapa kesempatan, bila kasus ini terjadi, keluarga yang bersangkutan akan melakukan ritual dan mempersiapkan sesajen sesuai dengan apa yang dipesankan dalam mimpi.Â
Setelah ritual adat itu dibuat, barulah mereka bisa melanjutkan proses pengerjaan ladang. Namun, ada beberapa jenis mimpi yang harus ditaati oleh warga. Bila mengalami mimpi tersebut, maka mereka tidak boleh berladang di tempat tersebut.
Sama seperti dalam kasus suara burung, pengabaian terhadap mimpi juga bisa mendatangkan bencana atau penyakit. Bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi anggota masyarakat yang lain.
Ketergantungan hidup pada alam memunculkan sebuah kesadaran bahwa kerelaan untuk bekerja sama dalam menjaga dan merawat alam merupakan suatu keharusan. Manusia harus menjalin kerja sama dengan sesama, dengan alam dan dengan wujud-wujud yang tak kelihatan itu untuk memelihara alam.Â
Hidup sebagai peladang mengantar mereka untuk memiliki partisipasi pada alam semesta. Namun, partisipasi ini bukan sebagai partisipasi konsumtif, melainkan partisipasi aktif untuk bekerja sama.Â
Dalam alam pikir masyarakat Dayak Desa sebagai peladang, kebersamaan dimaknai sebagai kebersamaan untuk mencapai hasil bersama. Mereka tidak mengambil kekayaan alam untuk diri mereka sendiri, tetapi tetap memperhatikan kepentingan dan kebutuhan bersama.
Catatan: Tentang peran suara burung dan mimpi ini pernah saya tanyakan langsung kepada ayah tercinta. Selaku Ketua Adat tentu beliau mempunyai pengetahuan yang cukup tentang budaya dan adat-istiadat subsuku Dayak Desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H