Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berada dalam Kerumunan sebagai Bentuk Kepalsuan Hidup: Sebuah Kritik Filosofis Soren Kierkegaard

28 Juli 2020   06:14 Diperbarui: 28 Juli 2020   06:18 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangannya, kita hanya dapat hidup otentik sebagai manusia melalui pilihan-pilihan yang bersifat menentukan hidup kita. Keberaniannya untuk memutuskan pertunangannya dengan Regina, meskipun sangat menyakitkan, memperlihatkan usahanya keluar dari kepalsuan agar bisa hidup secara otentik.

Untuk hidup otentik, orang harus berani menyatakan siapa dirinya lewat keputusan-keputusan yang dibuatnya. Kedirian (selfhood) seseorang akan terbentuk melalui pilihan hidup dan komitmen. Dengan demikian, eksistensi dan kedirian akan menjadi identik. 

Pendek kata, mengada, dalam arti hidup sejati, berarti menjadi menjadi suatu diri (to become a self), bukan sekedar 'ada' begitu saja atau hidup dalam rutinitas. Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard menekankan hasrat dan komitmen sebagai inti hidup batin.

Komitmen dan pilihan memiliki jalinan yang sangat erat. Sebuah pilihan, betapa pun bagus dan indah, tidak akan mampu bertahan, terasa membosankan, berat untuk dijalani bila tidak disertai oleh hasrat dan komitmen yang tinggi.

Relevansi
Sebagai sebuah filsafat eksistensialisme, pemikiran Kierkegaard tentu saja relevan dengan kehidupan manusia yang selalu berjuang tak kenal henti mencari makna dan kepenuhan hidup. 

Pandangannya bahwa untuk menjadi pribadi yang otentik orang harus berani memilih dan membuat keputusan merupakan pengalaman yang hampir selalu kita geluti dalam perjalan hidup sebagai manusia.  

Sekarang ini, di hadapan pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, kita juga dituntut untuk memilih dan membuat keputusan. Kita harus memilih: apakah tetap bertahan dan melanjutkan hidup atau mati sia-sia karena menyepelekan virus corona; selalu taat pada protokol kesehatan atau bersikap acuh tak acuh.

Sungguh memprihatinkan memang di mana masih banyak orang yang menyepelekan keberadaan virus corona. Bahkan ada yang sama sekali tidak percaya. Menganggap kalau virus ini tidak berbahaya karena itu tidak perlu menggunakan masker, mencuci tangan dan sebagainya.

Pandangan Kierkegaard bahwa berada dalam kerumunan merupakan bentuk kepalsuan hidup atau menghilangkan identitas diri barangkali tidak sesuai dengan budaya bangsa kita yang selalu menekankan kolektifitas, gotong royong dan sebagainya. 

Sebagian besar dari kita masih mengamini bahwa berkumpul bersama yang lain membuat kita semakin mampu menemukan jati diri kita sebagai pribadi. Kita masih teguh memegang falsafah hidup: "Mangan ora mangan sing penting ngumpul".

Nampaknya kehadiran pandemi Covid-19 ini memaksa kita untuk sejenak meninggalkan falsafah hidup tersebut. Kita mencoba berpaling pada pandangan Kierkegaard di mana kerumunan atau publik tidak selamanya mendatangkan kebaikan. Tinggal di rumah atau pun keluar rumah seperlunya saja, dengan demikian, menjadi sebuah keharusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun