Sebagai makhluk sosial, berkumpul menjadi kebutuhan sekaligus kerinduan setiap orang. Dengan berkumpul, ikatan kekeluargaan bisa semakin diteguhkan. Beban hidup bisa terasa lebih ringan dengan bersenda gurau saat kita berkumpul. Dan masih banyak lagi faedah yang dapat kita peroleh lewat aktivitas yang namanya berkumpul.
Namun, sejak merebaknya pandemi Covid-19, fenomena berkumpul seakan berubah menjadi realitas yang menakutkan dan mengerikan. Pemerintah sungguh menyadari hal tersebut.Â
Karena itu, demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19, pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan, di antaranya: penutupan tempat-tempat ibadah, pusat perbelanjaan dan tempat keramaian lainnya, physical distancing, menggunakan masker, menjaga pola hidup bersih dengan rajin mencuci tangan, dan sebagainya. Dengan adanya peraturan tersebut diharapkan jumlah kasus Covid-19 bisa perlahan mengalami penurunan.
Sekarang kita sudah memasuki era New Normal. Banyak aktivitas sudah kembali seperti sedia kala. Tentu saja dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Dengan taat pada protokol kesehatan, harapannya kasus penularan tidak semakin menanjak.Â
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Pelonggaran aturan justru membuat jumlah kasus menanjak dari hari ke hari. Masih kurangnya kesadaran dan ketidakpatuhan masyarakat menjadi salah satu penyebabnya.
Bagaimana menyikapinya? Kita bisa melihatnya dari berbagai perspektif. Dalam tulisan ini, saya hendak mencoba menyikapinya dengan berangkat dari kritik Kierkegaard terhadap kerumunan.Â
Filsuf eksistensialis ini melontarkan kritik bahwa kerumunan merupakan bentuk dari sebuah kepalsuan hidup. Apa yang salah dengan kerumuman? Apa yang terjadi saat orang larut dalam kerumunan atau massa?
Kritik Kierkegaard ini kiranya sangat mengena di mana masih banyak orang yang masih suka berkerumun dan mengabaikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Kritik Kierkegaard terhadap Kerumunan atau Publik
Kritik Kierkegaard terhadap kerumunan atau publik harus selalu dipahami dalam bingkai kritikannya terhadap filsafat Hegel. Secara umum, Kierkegaard tidak sejalan dengan proyek filsafat yang digagas oleh Hegel.
Menurut Kierkegaard, Hegel hendak berusaha membangun sebuah sistem filsafat yang komprehensif. Sebuah sistem filsafat yang mencakup segala macam pengetahuan serta kebenaran yang telah ditemukan oleh manusia dalam sejarah.Â
Hegel, di mata Kierkegaard, hendak menjadikan filsafatnya sebagai rujukan utama dalam memahami sesuatu, termasuk eksistensi manusia. Hegel hendak menunjukkan bahwa segenap pergulatan, pergumulan, kepahitan hidup manusia dapat dipahami secara rasional.