Anak-anak sepertinya lebih betah berjam-jam memandangi layar HP atau televisi. Segala sesuatu yang berbau lokal, tradisional, primitif sepertinya tidak lagi menarik di mata mereka.
Masih adakah kesempatan bagi cerita Apai Aloi dan cerita rakyat lainnya untuk hidup kembali di tengah-tengah masyarakat pada zaman modern ini? Penulis hanya membayangkan di masa-masa pandemi ini, di mana anak-anak lebih banyak tinggal di rumah, rasanya menjadi kesempatan yang baik untuk menceritakan cerita Apai Aloi kepada mereka.
Kesempatan itu pasti ada, namun sepertinya memerlukan waktu untuk bisa diwujudnyatakakan. Di beberapa tempat memang sudah ada usaha dengan mendirikan Sekolah Adat. Sebuah usaha yang tentu saja memerlukan ketekunan dan kesabaran. Sebab, kehadiran teknologi, sekali lagi, telah perlahan-lahan menggerus ketertarikan anak-anak akan segala sesuatu yang berbau lokal dan tradisional.
Namun, penulis merasa optimis cerita-cerita rakyat, khususnya yang terdapat dalam suku Dayak, suatu saat bisa hidup kembali. Penulis sangat terinspirasi oleh tulisan Kompasianer Elvidayanty Darkasih tentang Merawat Dongeng Orang Rimba dengan Buku dan Drama Radio.Â
Penulis memiliki harapan bahwa apa telah dilakukan oleh Mbak Elvidayanty dkk suatu saat bisa juga diwujudkan agar seni dan budaya suku Dayak tidak tenggelam di telan zaman.
Penulis bukan orang yang anti-teknologi. Tulisan ini, sekali lagi, hanyalah sebuah bentuk kegelisahan dan kesedihan saat menyaksikan anak-anak tidak lagi marah, merengek-rengek karena tidak mendapatkan pelukan, belaian, kasih sayang yang hangat dari orangtua, tapi karena tidak dibelikan atau dilarang bermain handphone.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H