Entah mengapa muncul kegelisahan dalam diri penulis menyaksikan fenomena di mana hampir segala aktivitas berbasis online gara-gara pandemi Covid-19 ini.
Apa yang menjadi kegelisahan penulis ialah berkaitan dengan eksistensi cerita rakyat yang sekarang ini hampir tidak pernah lagi terdengar - untuk tidak hendak mengatakan sudah punah - dalam kehidupan sehari-hari di kampung.Â
Salah satu cerita rakyat yang cukup populer di kalangan suku Dayak ialah cerita Apai (Apang) Aloi. Atau dikenal dengan nama Apai Saloi dalam kalangan suku Dayak Iban di Sabah dan Serawak. Kalau kita mau mengenal karakter Apai Aloi, nonton saja film Pak Pandir. Kurang lebih begitulah kira-kira tingkah-polah Apai Aloi.
Cerita rakyat Apoi Aloi selalu terlintas dalam ingatan terutama saat penulis teringat segala pengalaman yang berkaitan dengan ladang. Ya, cerita Apai Aloi-lah, selain cerita Keling dan Kumang, yang hampir setiap hari menemani penulis dan teman-teman saat beduruk mabau (gotong royong menyiangi rumput).
Aktivitas mabau tergolong pekerjaan yang cukup ringan bagi anak-anak seusia kami. Namun, bukan berarti juga tanpa kesulitan. Sebab, ada beberapa jenis rumput yang sukar untuk dicabut. Ditambah lagi teriknya sinar matahari yang tentu saja membuat rasa lelah tak terhindarkan. Tapi, berkat cerita Apai Aloi pekerjaan terasa menjadi lebih ringan dan mengasyikkan.
Belum puas di ladang, malam hari sebelum pergi tidur kami biasanya meminta Ibu untuk kembali bercerita tentang Apai Aloi. Bila Ibu menolak kadang kami akan merajuk sejadi-jadinya.Â
Begitu juga kalau Ibu sudah bersedia, kami pasti akan berebut untuk menjadi yang pertama duduk atau berbaring di samping Ibu. Selain agar bisa mendengar ceritanya dengan jelas, kami ingin merasakan betapa hangatnya pelukan seorang Ibu.
Sayangnya, cerita Apai Aloi sepertinya tidak lagi diminati. Di kampung tempat penulis lahir, penulis sendiri sudah lupa kapan terakhir kali cerita Apai Aloi dikisahkan. Apai Aloi memang terkenal dengan kebodohan dan ketololannya. Lain disuruh, lain pula yang dilakukannya. Biarpun demikian, Apai Aloi itu sesungguhnya orang yang hidup apa adanya, polos, jujur.
Barangkali melihat kebodohan, kelambanan berpikir, ketololan Apai Aloi, para orang tua tidak lagi menceritakannya kepada anak-anak. Mungkin mereka berpandangan bahwa watak Apai Aloi yang demikian tidak baik untuk perkembangan kepribadian anak.
Akan tetapi, nampaknya bukan itu yang menyebabkan tenggelamnya cerita Apai Aloi. Kemajuan teknologi sepertinya berada pada urutan pertama sebagai penyebab hilangnya daya tarik anak-anak pada cerita Apai Aloi.Â
Anak-anak sepertinya lebih betah berjam-jam memandangi layar HP atau televisi. Segala sesuatu yang berbau lokal, tradisional, primitif sepertinya tidak lagi menarik di mata mereka.
Masih adakah kesempatan bagi cerita Apai Aloi dan cerita rakyat lainnya untuk hidup kembali di tengah-tengah masyarakat pada zaman modern ini? Penulis hanya membayangkan di masa-masa pandemi ini, di mana anak-anak lebih banyak tinggal di rumah, rasanya menjadi kesempatan yang baik untuk menceritakan cerita Apai Aloi kepada mereka.
Kesempatan itu pasti ada, namun sepertinya memerlukan waktu untuk bisa diwujudnyatakakan. Di beberapa tempat memang sudah ada usaha dengan mendirikan Sekolah Adat. Sebuah usaha yang tentu saja memerlukan ketekunan dan kesabaran. Sebab, kehadiran teknologi, sekali lagi, telah perlahan-lahan menggerus ketertarikan anak-anak akan segala sesuatu yang berbau lokal dan tradisional.
Namun, penulis merasa optimis cerita-cerita rakyat, khususnya yang terdapat dalam suku Dayak, suatu saat bisa hidup kembali. Penulis sangat terinspirasi oleh tulisan Kompasianer Elvidayanty Darkasih tentang Merawat Dongeng Orang Rimba dengan Buku dan Drama Radio.Â
Penulis memiliki harapan bahwa apa telah dilakukan oleh Mbak Elvidayanty dkk suatu saat bisa juga diwujudkan agar seni dan budaya suku Dayak tidak tenggelam di telan zaman.
Penulis bukan orang yang anti-teknologi. Tulisan ini, sekali lagi, hanyalah sebuah bentuk kegelisahan dan kesedihan saat menyaksikan anak-anak tidak lagi marah, merengek-rengek karena tidak mendapatkan pelukan, belaian, kasih sayang yang hangat dari orangtua, tapi karena tidak dibelikan atau dilarang bermain handphone.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI