Mohon tunggu...
Gregorius Nyaming
Gregorius Nyaming Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Hanya seorang anak peladang

Seorang Pastor Katolik yang mengabdikan hidupnya untuk Keuskupan Sintang. Sedang menempuh studi di Universitas Katolik St. Yohanes Paulus II Lublin, Polandia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Rindu akan Cerita Rakyat

20 Juli 2020   13:39 Diperbarui: 20 Juli 2020   13:43 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nlb.overdrive.com

Entah mengapa muncul kegelisahan dalam diri penulis menyaksikan fenomena di mana hampir segala aktivitas berbasis online gara-gara pandemi Covid-19 ini.

Apa yang menjadi kegelisahan penulis ialah berkaitan dengan eksistensi cerita rakyat yang sekarang ini hampir tidak pernah lagi terdengar - untuk tidak hendak mengatakan sudah punah - dalam kehidupan sehari-hari di kampung. 

Salah satu cerita rakyat yang cukup populer di kalangan suku Dayak ialah cerita Apai (Apang) Aloi. Atau dikenal dengan nama Apai Saloi dalam kalangan suku Dayak Iban di Sabah dan Serawak. Kalau kita mau mengenal karakter Apai Aloi, nonton saja film Pak Pandir. Kurang lebih begitulah kira-kira tingkah-polah Apai Aloi.

Cerita rakyat Apoi Aloi selalu terlintas dalam ingatan terutama saat penulis teringat segala pengalaman yang berkaitan dengan ladang. Ya, cerita Apai Aloi-lah, selain cerita Keling dan Kumang, yang hampir setiap hari menemani penulis dan teman-teman saat beduruk mabau (gotong royong menyiangi rumput).

Aktivitas mabau tergolong pekerjaan yang cukup ringan bagi anak-anak seusia kami. Namun, bukan berarti juga tanpa kesulitan. Sebab, ada beberapa jenis rumput yang sukar untuk dicabut. Ditambah lagi teriknya sinar matahari yang tentu saja membuat rasa lelah tak terhindarkan. Tapi, berkat cerita Apai Aloi pekerjaan terasa menjadi lebih ringan dan mengasyikkan.

Belum puas di ladang, malam hari sebelum pergi tidur kami biasanya meminta Ibu untuk kembali bercerita tentang Apai Aloi. Bila Ibu menolak kadang kami akan merajuk sejadi-jadinya. 

Begitu juga kalau Ibu sudah bersedia, kami pasti akan berebut untuk menjadi yang pertama duduk atau berbaring di samping Ibu. Selain agar bisa mendengar ceritanya dengan jelas, kami ingin merasakan betapa hangatnya pelukan seorang Ibu.

Sayangnya, cerita Apai Aloi sepertinya tidak lagi diminati. Di kampung tempat penulis lahir, penulis sendiri sudah lupa kapan terakhir kali cerita Apai Aloi dikisahkan. Apai Aloi memang terkenal dengan kebodohan dan ketololannya. Lain disuruh, lain pula yang dilakukannya. Biarpun demikian, Apai Aloi itu sesungguhnya orang yang hidup apa adanya, polos, jujur.

Barangkali melihat kebodohan, kelambanan berpikir, ketololan Apai Aloi, para orang tua tidak lagi menceritakannya kepada anak-anak. Mungkin mereka berpandangan bahwa watak Apai Aloi yang demikian tidak baik untuk perkembangan kepribadian anak.

Akan tetapi, nampaknya bukan itu yang menyebabkan tenggelamnya cerita Apai Aloi. Kemajuan teknologi sepertinya berada pada urutan pertama sebagai penyebab hilangnya daya tarik anak-anak pada cerita Apai Aloi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun