Dengan cara ini, kita berani memutuskan mata rantai yang membelenggu jiwa pada kemarahan. Saat dekat dengan-Nya, Allah akan membantu kita berubah dan bertumbuh dalam cinta kasih.
Menerima diri. Banyak kerusakan yang disebabkan oleh kemarahan bersumber pada penolakan diri sendiri.Â
Kita tidak sanggup menerima diri dengan keadaan yang tidak kita harapkan (tinggi, berkulit putih, berambut lurus, kekar, langsing, dan sebagainya).
Saat tidak mampu menerima diri, saat itu kita mengembangkan kebencian pada diri dan orang lain, terlebih Allah sendiri. Kita akan marah pada Allah karena dicipta tidak sempurna (menurut pandangan kita).
Kita marah pada diris sendiri karena tidak sesuai dengan pandangan mata yang rakus. Kita melihat bahwa harga diri kita jatuh atau runtuh.Â
Semakin kita mampu mengakui dan menerima keterbatasan, semakin kita mampu menyingkirkan kemarahan yang merusak.Â
Menjadi pembawa berkat. Allah telah menunjukkan berkat-Nya kepada kita. Sebaliknya, kita pun perlu menunjukkan berkat kepada orang lain. Salah satunya adalah menerima kita dengan segala kelemahan dan ketidak-sempurnaan kita.
Demikian kiranya kita menerima orang lain, terlebih diri sendiri. Tidak menjadi marah oleh karenanya. Juga, kita membawa berkat bagi orang lain, bukannya kemarahan dan kekecewaan yang tak beralasan.
Selain menjadi pembawa berkat, kita perlu menjadi pendoa untuk kebutuhan orang lain di sekitar kita. Kita mengembangkan rasa empati yang besar bagi perasaan orang lain. Hal ini akan mencegah api kemarahan kita meletup.
Jika pikiran kita dipenuhi hal yang benar, mulia, adil, suci, santun, dan terhormat, perasaan dan pikiran yang marah akan tidak mendapat tempat dalam diri kita.
Oleh sebab itu sebelum rasa dan ekspresi kemarahan (yang destruktif) menggerogoti diri, alangkah lebih baik dan bijak bila kita bisa mengelola dan menahan diri untuk tidak terpancing marah.