"Sebelum rasa dan ekspresi kemarahan (yang destruktif) menggerogoti diri, alangkah lebih baik dan bijak bila kita bisa mengelola dan menahan diri untuk tidak terpancing"
Dampak kemarahan begitu luas dalam kehidupan ini. Ada yang sifatnya besar dan sifatnya sederhana atau kecil.Â
Penyebabnya juga demikian, ada karena hal-hal sepele (kesusahan sehari-hari dan frustrasi yang sementara).Â
Ada juga kemarahan yang disebabkan oleh hal-hal besar seperti diperlakukan dengan tidak santun, dihina, diancam, dan sebagainya.
Wajar saja, kita marah dan mengungkapkannya pada pihak lain (eksternal). Karena, kalau ditahan, kita sendiri akan kehabisan energi dan hari-hari hidup kita akan berlalu dengan perasaan kecewa, stres, dan frustrasi.
Akan tetapi, dalam dua tulisan terdahulu (a dan b), saya telah memaparkan alangkah baiknya rasa marah diungkapkan dengan cara yang benar, tepat, dan baik tanpa ada efek samping yang justru menyakiti orang lain dan menjadi boomerang untuk diri sendiri. Dengan kata lain, janganlah kita memuaskan kemarahan itu dengan cara dan sikap yang destruktif, menghancurkan.
Dalam tulisan ini, saya juga hendak menawarkan kepada kita beberapa hal sederhana kiranya membantu agar kita dapat dengan bijak dan tepat mengelola dan menahan diri untuk tidak sembrono dan semena-mena mengekspresikan amarah yang remeh-temeh dan destruktif.
Hal ini kiranya membantu, seperti iklan obat-obat "Lebih baik mencegah daripada mengobati".Â
Demikian pula kita lebih baik mencegah agar kemarahan jarang terpancing dan tersentil, daripada memperbaiki relasi, suasana, dan energi yang telah dirusak olehnya.
Memperkecil rasa stres
Semakin stres, tertekan, kecewa, dan frustrasi, semakin rentan kita terpancing untuk marah (besar).Â
Maka, poin pertama ini perlu dikurangi: yakni mudah untuk stres. Enam hal berikut kiranya dapat menuntun kita untuk tidak mudah stres.
Menghindari ketergesa-gesaan. Tidak dapat disangkal, bahwa terkadang kita bisa marah karena tergesa-gesa.Â
Kita ingin segala-galanya berlangsung cepat dan tanpa mengeluarkan banyak energi atau materi atau waktu.Â
Singkat cerita, kita ingin hal yang instan. Padahal, tidak semua hal bisa berlangsung dengan proses yang cepat. Memang, ada kalanya kita memiliki alasan logis agar sesuatunya berlangsung dengan cepat atau kita ingin bergegas. Dibutuhkan pengorbanan, energi, dan sebagainya.Â
Kalau apa yang kita inginkan tidak berjalan dengan mulus dan cepat, di situlah kita stres dan akhirnya marah atau marah dan kemudian stres.
Tim Hansel dalam When I Relax I Feel Guilty juga telah memberi ide yang senada:
Dunia tampak mabuk dengan ketergesa-gesaan, dibanjiri oleh topan hasrat untuk mempercepat masa depan. Ini mungkin menjadi salah satu dosa terburuk zaman ini. Dengan ketidaksabaran, kita membuat segala hal terjadi. Kita dengan kurang hati-hati melewatkan hal yang sangat penting. Tidak mengherankan bahwa kita telah kehilangan kemampuan untuk menikmati kesenangan sederhana dari dunia seperti: angin yang membelai wajah, bau sedap yang terhidup, dan rumput basah di telapak kaki.
Menurunkan harapan. Kita pasti memiliki target atau capaian yang gilang-gemilang dalam jumlah yang tak terkira baik harian, bulanan, atau tahunan. Ini adalah kecenderungan manusiawi.Â
Di sinilah kita perlu menahan diri untuk memberikan batasan dan menurunkan harapan pada apa yang tidak akan mungkin bisa tercapai dan terwujud. Kalau tidak, kita akan stres dan berakhir dengan marah.
Akan lebih menyenangkan dan dapat dipertanggungjawabkan apabila kita tahu batasan kemampuan, tenaga, materi, dan waktu untuk pelbagai hal yang tak dapat diraih.Â
Kita harus berani berkata "Tidak!" untuk hal yang tidak pasti baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Awalnya, kita akan merasa bersalah. Namun, kita akan lebih terbantu untuk tidak jatuh dalam buaian dan mimpi yang fana.
Mengakui kesalahan. Siapa pun orangnya, pasti pernah, sering, atau akan kesulitan mengatakan "Saya salah!". Sebab, kita tidak suka mengakui kekeliruan, kesalahan, dan kegagalan, serta dosa pada orang lain. Kita merasa kita tidak sempurna, lemah, dan sembrono.
Kita sulit juga mengakui daripada menutup kesalahan. Justru dengan menutupi kesalahan, kita akan membutuhkan energi yang lebih ekstra. Alih-alih mengakui, kita menggunakan kemarahan sebagai senjata ampuh untuk mempertahankan diri dan justru menyerang orang lain yang sebenarnya tidak terpaut pada kesalahan kita.
Salah satu cara yang pasti untuk mengurangi kadar amarah adalah dengan tulus mengakui ketidaksempurnaan dengan berkata: "Saya minta maaf!".
Banyak tertawa. Saat berada di ambang pintu kemarahan, mari kita mencoba untuk tertawa. Sebab, salah satu penangkal kemarahan adalah tawa dan tertawa.Â
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang (Amsal 17:22).
Hidup memang perlu serius, tetapi tidak dalam segala hal harus demikian. Kita butuh humor, canda, dan tawa.Â
Dengan ini, kita dapat hidup dengan relaks dengan sedikit marah walau harus serius di beberapa kesempatan.
Orang yang mampu menertawakan diri (sebelum marah) bukan berarti tidak mengalami kesulitan atau penderitaan. Justru, dengan tawa kita akan lebih mudah toleran dan bersuka cita dalam hidup.Â
Tawa adalah kipas untuk kemarahan. Tawa juga membantu kita menyembuhkan dan mengelola kemarahan yang bengis dan tak pandang batas normal.
Namun, awas jangan terlalu banyak atau sering tertawa tanpa alasan atau sebab, karena kita akan dianggap dalam gangguan jiwa. He he he.
Merawat diri. Poin ini berhubungan dengan kebugaran, kesehatan, dan stamina tubuh. Jika kita tidur, olah raga, makan makanan bergizi secukupnya, dan rekreasi sewajarnya, tubuh kita akan segar. Rasa marah pun akan semakin terkelola dengan baik.
Orang yang sehat jasmani dan psikis, tentu akan mudah mengendalikan rasa marah yang tidak perlu. Untuk itu, kita perlu merawat diri agar stres dan kemarahan bisa terkendali.
Mempelajari pemicu kemarahan. Kemarahan setiap orang bisa muncul dengan pelbagai alasan. Untuk itu, kita perlu memilah hal-hal apa saja yang begitu sensitif dan bisa membangkitkan gejolak diri untuk marah.
Misalnya, orang dengan kepribadian introvert lebih mudah marah jika mendapatkan interupsi dari pihak lain daripada kepribadian ekstrovert.
Akan sangat membantu jika kita bisa mengenali orang, tempat, hal, atau suasana yang dapat memproduksi kemarahan.Â
Bila perlu, kita dapat mencatat dan melakukan evaluasi atasnya.
Memang, akan ada saatnya hal-hal tertentu tidak dapat diprediksi dan menyulut api kemarahan kita. Akan tetapi, kita harus mengatasi dan mengelolanya agar kita terbantu menahan diri untuk tidak lekas marah karena hal-hal yang remeh-temeh dan sepele.
Memperbesar Allah (Tuhan)
Cara kedua untuk membebaskan diri dari kemarahan yang destruktif adalah memperbesar dampak dan masukan Allah dalam hidup ini. Artinya, kita menyerahkan diri pada-Nya. Mungkin, poin kedua ini terasa religius. Namun, hal religius pun dapat disatukan dengan hal ilmiah, sosial, dan kesehatan.
Mendekat pada Allah. Kita perlu percaya pada Allah atau Tuhan (seturut kepercayaan masing-masing). Dengan bersama Allah, kita menaruh seluruh hidup, mengakui dosa, dan berkomitmen untuk berubah atau bertobat, termasuk dalam hal kemarahan yang tidak teratur dan merusak cinta kasih sesama.
Allah telah mengampuni kita tanpa batas, walau kita sering berlaku tidak benar di hadapan-Nya. Demikian kita pun harus mengampuni orang, tempat, atau hal yang membuat kita marah.
Dengan cara ini, kita berani memutuskan mata rantai yang membelenggu jiwa pada kemarahan. Saat dekat dengan-Nya, Allah akan membantu kita berubah dan bertumbuh dalam cinta kasih.
Menerima diri. Banyak kerusakan yang disebabkan oleh kemarahan bersumber pada penolakan diri sendiri.Â
Kita tidak sanggup menerima diri dengan keadaan yang tidak kita harapkan (tinggi, berkulit putih, berambut lurus, kekar, langsing, dan sebagainya).
Saat tidak mampu menerima diri, saat itu kita mengembangkan kebencian pada diri dan orang lain, terlebih Allah sendiri. Kita akan marah pada Allah karena dicipta tidak sempurna (menurut pandangan kita).
Kita marah pada diris sendiri karena tidak sesuai dengan pandangan mata yang rakus. Kita melihat bahwa harga diri kita jatuh atau runtuh.Â
Semakin kita mampu mengakui dan menerima keterbatasan, semakin kita mampu menyingkirkan kemarahan yang merusak.Â
Menjadi pembawa berkat. Allah telah menunjukkan berkat-Nya kepada kita. Sebaliknya, kita pun perlu menunjukkan berkat kepada orang lain. Salah satunya adalah menerima kita dengan segala kelemahan dan ketidak-sempurnaan kita.
Demikian kiranya kita menerima orang lain, terlebih diri sendiri. Tidak menjadi marah oleh karenanya. Juga, kita membawa berkat bagi orang lain, bukannya kemarahan dan kekecewaan yang tak beralasan.
Selain menjadi pembawa berkat, kita perlu menjadi pendoa untuk kebutuhan orang lain di sekitar kita. Kita mengembangkan rasa empati yang besar bagi perasaan orang lain. Hal ini akan mencegah api kemarahan kita meletup.
Jika pikiran kita dipenuhi hal yang benar, mulia, adil, suci, santun, dan terhormat, perasaan dan pikiran yang marah akan tidak mendapat tempat dalam diri kita.
Oleh sebab itu sebelum rasa dan ekspresi kemarahan (yang destruktif) menggerogoti diri, alangkah lebih baik dan bijak bila kita bisa mengelola dan menahan diri untuk tidak terpancing marah.
Mari mencoba dan berlatih bersama.
Salam.
Suaviter, Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H