"Kita duduk dimasa depan dengan semangkuk mie instan hijau yang disajikan diatas meja, lengkap dengan bumbu berbahan sayur mayur nampak segar dan alami tuk disantap. Namun apakah mie instan dapat alami meskipun diproduksi dengan varian berwarna hijau?"
Pada tahun 1989, sekolompok ekonom lingkungan telah menyiapkan sebuah laporan untuk pemerintah inggris. Dalam tahapan perkembangan pemikiran, sebuah cetak biru laporan yang berjudul "untuk ekonomi hijau" mengemuka sebagai tawaran alternatif bagi kapitalisme tetapi bukan komunisme.Â
Sebagian menganggapnya sebagai upaya menengahi perdebatan yang masih berlangsung, sekaligus menantang neoliberalisme dengan paradigma ekonomi yang berbeda.
Perseteruan kapitalisme dan komunisme menyisahkan kekalahan bagi komunisme. Â Sebagai ideologi, Â komunisme nyaris punah di belahan dunia ini. Tampil dengan wajah baru, rezim kapitalisme dengan ornamen neoliberalisme telah mengokokohkan diri dipuncak prestasi. Ia bak penyihir yang tampil dengan mantra free trade. Abra cadabra! Ekonomi dunia membaik dengan prestasi-prestasi yang mencengangkan.
Lihat saja, pasca perang dunia II berbagai industri di barat telah mendorong peningkatan pemulihan ekonomi yang signifikan. Peristiwa dramatis ini, kemudian melahirkan optimisme dunia dengan manifestasi konkret bukan harapan yang mengecewakan dan menyedihkan melalui sepenggal mimpi indah: mendesain tatanan kehidupan tanpa kelas dan menihilkan hak milik. Bila keduanya diuji kelayakan, kapitalisme sudah tentu lebih teruji karena telah menjelma sebagai keniscayaan zaman.
Setelah kita menginjakan kaki di era Globalisasi, kesadaran terhadap dominasi kapitalisme kian mendebarkan. Walaupun, kita secara sadar mengakui bahwa dalam praktiknya, sistem perekonomian setiap negara telah berbaur dalam berbagai wujud ideologi. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan China, telah melakukan penyesuaian yang cukup signifikan.Â
Dalam perang ekonomi sekalipun, kepentingan keduanya tidak bisa dikatakan murni sebagai perang ideologi. Karena kecendrungan peperangan keduanya adalah kepentingan antara sesama kapitalis yang saling memperebutkan ruang koloni baru.
Saiful Arif dalam bukunya yang berjudul "Menolak Pembangunanisme" menuliskan bahwa kecendrungan mendominasi negara berkaitan dengan teori hegemoni Gramsci jika dilekatkan secara global. Bahwa hegemoni tidak hanya terjadi atas relasi rakyat versus negara, tapi hegemoni justru terjadi antara negara kaya versus negara miskin. Bila menilik maksudnya, lihat saja apa yang terjadi dengan perekonomian Timor Leste belakangan ini.
Dalam ruang etis, kapitalisme dilahirkan sebagai bentuk self-interest yang menjamin kebebasan dalam aktivitas ekonomi. Dalam ruang lingkup bernegera ideologi ini secara tegas menolak intervensi pemerintah. Namun bagaimana eksistensi dalam ruang praktis? Sebagai kendaraan dalam pembangunanan, kapitalisme menjelma mesin-mesin raksasa.Â
Dominasinya diberbagai lini kehidupan memicu self-interest yang berlebihan dan bersifat ekploitatif terhadap lingkungan. Apa bukti yang bisa ditawarkan? Sejenak kemanusiaan kita perlu menengok ke tingkap peradaban hari ini, tengoklah:
Terjadi perubahan iklim, bisa dilihat dari suhu rata-rata bumi yang meningkat sebesar 1,5 derajat farenheit dibandingkan beberapa abad lalu. Suhu ini diperkirakan akan naik lagi pada 100 tahun ke depan sebesar 0,5 sampai 8,6 derajat farenheit. Selain itu ada fakta lain yang menunjukan bahwa, sebelas persen (11%) dari semua emisi gas rumah kaca global yang disebabkan oleh manusia akibat deforestasi. Hal ini sebanding dengan emisi dari semua mobil dan truk di planet ini. Dan, ada sebelas persen (11%) Â populasi dunia, yakni sekitar 800 juta jiwa, kini rentan terdampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, gelombang panas, peristiwa cuaca ekstrem, dan kenaikan permukaan laut.
Isu lingkungan akibat aktivitas ekonomi yang berlebihan, telah didiskusikan dalam Konferensi Lingkungan Hidup Manusia PBB di Stockholm pada tanggal 5 Juni 1972. Meskipun tidak spesifik (abu-abu) karena beragamnya isu, seperti; limbah industri, polusi udara dan air, serta dampak ekologis pertumbuhan ekonomi. Dan pembahasan mengenai kelangkaan sumber daya dan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi di masa mendatang. Satu hal yang pasti, isu lingkungan bukanlah perbincangan baru di abad ini.
Tawaran Idealnya
Kabar baik datang dari The World Commission On Environment And Development pada tahun 1987. Konsep pembangunan berkelanjutan di tingkat global dicanangkan melalui dokumen laporan yang dikenal dengan "Brundland Report". Konsep tersebut diterima dan diimplementasikan sejak "Eart Summit" di Rio De Janeiro, Brazil, dari 3-14 Juni 1992.Â
Selama kurung waktu lebih dari 20 tahun, konsep tersebut dikaji dan dievaluasi terkait pelaksanaan penghapusan kemiskinan, pengurangan disparitas standar hidup, pola konsumsi dan produksi yang selaras dengan daya dukung ekosistem, pengelolaan secara berkelanjutan dari sumber daya terbarukan maupun cara yang disepakati untuk mencapai keberkelanjutan sumber daya terbarukan. Namun, hasilnya belum nyata.
Atas dasar itulah, konsep ekonomi hijau ditawarkan sebagai paradigma baru. Sebagai kendaraan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan, ekonomi hijau diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia tanpa mengakibatkan dampak lingkungan, kelangkaan ekologi maupun kesenjangan sosial.Â
Pada prinsipnya, ekonomi hijau bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memberi kesempatan yang adil dan meminimalkan kerusakan lingkungan dan pembangunan ekonomi yang sesuai dengan daya dukung lingkungan. Penerapan ekonomi hijau dapat lihat dalam pembangunan rendah karbon, efisiensi sumber daya alam, dan inklusif secara sosial.
Tidak seimbangnya Etika, Prinsip Dan Tujuan
Dunia hari ini bekerja atas dominasi kapitalisme yang didukung oleh etika antroposentris. Etika yang menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta dimana keberadaan alam hanya diperuntukan bagi hidup manusia dan sumber daya alam dieksploitasi untuk memenuhi keinginan manusia.Â
Di sisi lain, etika ekosentrisme atau deep ecology, menekankan semua makhluk merupakan fokus utama yang berkonflik dengan hubungan manusia yang berdampak pada lingkungan hidup.
Perbedaan mendasar antara antroposentrisme dan ekosentrisme adalah posisi manusia dalam pusat perhatian. Antroposentrisme mempercayai manusia sebagai makhluk yang paling penting, sedangkan ekosentrisme menyatakan bukan hanya manusia yang memiliki keistimewaan untuk menaklukkan alam.
Hal serupa juga dikemukakan oleh seorang aktivis Lingkungan hidup asal Amerika Serikat, pada tahun 1995. Judi Bari dalam artikelnya yang berjudul "Revolutionary Ecology" menuliskan bahwa kapitalisme pada dasarnya tidak sejalan dengan lingkungan hidup karena sistem tersebut tidak sesuai dengan prinsip biosentrisme (deep ecology) yaitu sebuah prinsip di mana alam tidak tercipta untuk manusia, dan justru manusia merupakan bagian dari alam.Â
Di masyarakat tradisional, tentunya konsep ini sudah tidak asing lagi. Namun, dalam kehidupan masyarakat modern dimana hampir seluruh masyarakat menjalankan sistem kapitalisme, biosentrisme tentunya merupakan sebuah konsep yang radikal dan menyerang sistem hingga ke dasarnya.
Dikutip dari medium.com, menurut John Bellamy Foster dan Fred Magdoff, dalam buku mereka yang berjudul "What Every Environmentalist Needs To Know About Capitalism" memaparkan bahwa ide akan kapitalisme dan lingkungan hidup secara berdampingan memiliki suatu masalah yang besar, yaitu tujuan dari kapitalisme itu sendiri.Â
Sistem kapitalisme yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan keuntungan, yang mana membawa kita pada transformasi berbagai hal menjadi sebuah komoditas yang dapat diberikan harga, tidak dapat berdampingan dengan lingkungan, karena pada dasarnya sistem kapitalisme tidak memiliki 'jiwa' ataupun cita-cita yang mengarah pada hal tersebut.
Faktanya, hubungan antara pertumbuhan ekonomi per kapita dengan kualitas lingkungan alam menjadi sebuah hipotesis yang selayaknya sering terjadi pada negara-negara di dunia. Hipotesis Environmental Kuznet Curve (EKC) menyatakan bahwa semakin tinggi nya Gross Domestic Product (GDP), maka kerusakan lingkungan yang akan diterima juga semakin tinggi.
Namun, pada titik tertentu tingkat kerusakan lingkungan akan mengarah kepada pengurangan walaupun tetap terjadi kenaikan pada pertumbuhan perkapita (GDP). Artinya, semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara, semakin tinggi juga resiko kerusakan lingkungan.
Solusi yang dibayangi Ilusi
Hipotesis EKC memicu sebuah keanehan dalam berbagai dokumen green economy. Anehnya, tidak ada aturan soal pertumbuhan ekonomi yang semestinya. Hipotesis tersebut, menghantarkan kita pada sebuah analogi:
 Jika GDP serupa timbangan yang mengukur keberhasilan suatu negara. Timbangan apa yang harus dipakai untuk mengukur keseimbangan ekonomi dan lingkungan dalam pembangunan sehingga negara-negara tersebut dikatakan berhasil? Bagaimana jika ukuran keberhasilan suatu negara diukur dari pertumbuhan ekonomi hijau?Â
Tentunya akan lebih fair dan nyata bagi posisi lingkungan, karena sejauh ini kita masih mengadakan mekanisme yang memungkinan praktik ekonomi terus mencemarkan lingkungan. Misalnya, memberlakukan izin untuk mencemari dan tukar guling atau Offsetting.
Kita tentunya memerlukan cara-cara yang berkesinambungan dan radikal yang berorientasi pada alam. Radikal secara etika, prinsip dan tujuan, lalu berkesinambungan pada praktiknya. Bukan mengkondisikan alam untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya.Â
Namun melakukan pengkondisian terhadap sistem ekonomi dan sosial agar kesejahteraan masyarakat diperoleh dari keseimbangan etika, prinsip dan tujuan antar kapitalisme dan lingkungan dalam suatu model pembangunan. Secara tegas, solusinya adalah keseimbangan, sedangkan ilusinya adalah peningkatan dan penurunan. Pertanyaannya, bagaimana model keseimbangan itu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H